Story by: Sekarmastuti Aureldina Putri
XI IIS 1
Ini
bukan pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini. Dingin, ketakutan, semua
gelap. Tak ada jalan keluar. Aku berteriak. Percuma, tak ada yang mendengar.
Sepi, seberkas cahayapun tak ada. Berlari tak bisa. Sungguh ketakutan yang
sangat mendalam.
“Flo, bangun! Di
sekolah, lagi pelajaran, kok sempet-sempetnya tidur. Keringet semua lagi.” seru
Gaby, teman sebangkuku.
“Gila. Barusan aku
mimpi buruk. Serius deh.”
“Lebay. Siang bolong
mimpi buruk. Makannya jangan galau terus.”
“Ah bodo amat. Aku cuci
muka dulu, ah!”
Aku segera ijin ke
toilet untuk menyegarkan wajahku setelah ketiduran di dalam kelas. Saat aku
berjalan menuju toilet aku bertemu Leo, aku segera berusaha menghindar. Dia
memang pacarku, namun kita sedang mengalami konflik yang entah bagaimana akan
selesai. Aku tidak menatapnya sedetikpun, begitu juga dia. Hubungan kita ini
hanya menggantung, entah harus diperbaiki atau justru diakhiri.
~
Saat pulang sekolah, aku sudah berjanji dengan Gaby untuk
menemaninya mencari dress di salah satu pusat perbelanjaan. Langsung saja kami
ke tempat tersebut agar tidak membuang waktu.
“Flo! Jangan gila, deh.
Nyetirmu kenapa jadi ugal-ugalan gini, sih! Mau jadi preman?”
Aku hanya diam, membiarkan
Gaby terus berceloteh yang hanya membuatku mempercepat gerak mobil ini.
“Kamu tuh orangnya
aneh. Gak mau cerita. Kesel, kesel sendiri. Marah, marah sendiri. Sedih, sedih
sendiri. Tapi orang lain kena getahnya nih.”
“Aku bingung, Gab!
Bete, tau gak!”
“Makannya cerita!”
~
Lalu, sampailah kita di pusat perbelanjaan, aku dan Gaby
segera mengambil dompet sembari merapikan diri, mengoles sedikit lip gloss di
bibir agar tidak teriat kumel. Kami memasuki setiap toko pakaian yang memiliki
koleksi dress anak muda jaman sekarang.
Selesai kami berbelanja, kami kembali ke mobil.
“Eh, aku nginep rumahmu
dong, Flo.”
“Boleh-boleh aja sih,
traktir makan dulu ya tapi hehe.”
Aku dan Gaby memang
sangat dekat. Dia teman dekatku dua tahun ini, sejak pertama aku masuk SMA
hingga sekarang aku kelas 2 SMA. Setiap hari selalu ada hal yang kita bahas dan
ceritakan satu sama lain, mulai dari yang menyenangkan hingga yang menyedihkan.
Mulai dari yang penting hingga yang tidak penting dibicarakan sama sekali.
Namun diantara kita berdua, akulah yang paling tertutup. Aku jarang
menceritakan sesuatu yang aku alami yang memang aku anggap dia tidak perlu
begitu tau masalah ini.
“Makan di Wizard Café
aja, yuk. Belum pernah nyobain nih, Gab.”
“Terserah, pokoknya
jangan mahal-mahal, ya.”
Gaby sepertinya selalu
bahagia, dia tak pernah terlibat masalah percintaan yang rumit, dia memiliki
banyak kesamaan denganku, rambut lurus di bawah bahu, berkulit terang, tinggi
sekitar 158 cm, mata besar, dan lesung pipi. Namun kita sama sekali tidak
memiliki kesamaan dalam hal percintaan. Dia dekat dengan banyak lelaki atau
biasa dibilang ‘gebetan’ namun ia tetap membiarkan itu mengalir, sedangkan aku
memiliki seorang pacar yang menurut penilaiannya Leo itu tampan, badan ideal,
mapan, baik, tinggal nikah aja. Namun hubunganku harus tergantung, sekali
gantungan itu dibiarkan lepas, sama saja dengan bunuh diri dan selesailah
semuanya.
Sesampainya di Wizard Café, kami segera turun dan memesan
makanan. Gaby memesankan kami chicken steak dan vanilla late. Seleraku sama
dengan dia, sehingga kita tak perlu repot memikirkan makanan.
“Eh ceritain, dong. Kok
kamu galau terus, Flo?” tanya Gaby dengan raut sok polos.
“Apaan, sih? Ya gitu,
deh. Pokoknya aku mikir Leo deket sama cewek lain dan ada buktinya, aku baca
dari hand phonenya sendiri.”
“Ha? Serius?”
“Iya, namanya Vanny.
Mereka deket banget gitu, deh.”
“Yakin udah
klarifikasi?”
“Udah. Masak katanya gak
ada apa-apa, gak ada apa-apa kok chat tiap hari, kepo-kepoan, pergi bareng,
free call, skype. Gak sadar kali ya punya pacar.”
“Yang mana anaknya?”
“Kelas MIA 3, pokoknya
aku gak suka aja.”
“Jangan over protective,
Flo.”
“Sebenernya aku masih
sayang, Gab. Aku bingung jelasin ke dia. Dia gak minta maaf atau jelasin
keadaannya. Chatnya aja berasa act like everything is okay.”
“Eh, makanannya udah
dateng. Lanjut nanti.”
Kami segera menyantap
makanan kami. Setelah selesai makan Gaby membayar makanan kami sesuai janjinya
dan kami segera pulang ke rumahku.
Saat memarkir mobil di dalam rumah, aku melihat mobil Leo
berhenti. Aku sangat panik. Gaby mencoba menenangkanku dan memberi saran agar
kita bertemu baik-baik. Aku masih tak bisa menatap matanya. Masih terasa sakit
dan entah bagaimana ini akan pudar. Aku memutuskan untuk segera masuk rumah dan
menyuruh Gaby menemui pacarku mengatakan kepadanya bahwa aku belum bisa bertemu
dengan dia.
Setelah beberapa lama menunggu di dalam kamar, akirnya
Gaby kembali dengan membawa setenteng paper bag.
“Buat kamu, Flo.”
sembari menyodorkan tentengan tersebut.
“Dari siapa?”
“Masih tanya? Ya dari
Leo lah. Romantis yaaaaaa.”
Tanpa menggubris
perkataan Gaby aku segera membukanya. Ternyata itu hanya jaketku yang pernah
tertinggal di mobilnya.
“Romantis, ya? Kesini
cuma mau kembaliin jaket ha ha ha.”
“Flo, gak boleh gitu.
Dia kan udah ada usaha buat ketemu kamu.”
“Iya kali, ketemu kan
cuma mau ngasih ini.”
“Kamu aja terlalu
garang gitu. Dia kan jadi males mau ngobrol.”
Aku memutar otak, benar
apa yang dikatakan Gaby. Atau mungkin aku terlalu tepramental?
~
Tepat pukul 7 malam Vero, sahabat laki-lakiku semasa SMP
datang ke rumah. Kita memang dekat, sangat dekat.
“Woi! Akhirnya muncul
lagi.” Tuturku sambil berjalan mendekati ruang tamu.
“Hai, Flo.” Wajahnya
membuatku penasaran, kita memang sering berkomunikasi namun akhir-akhir ini
sikapnya berubah, entah kenapa.
“Ada apa, Ver?
Tumben-tumbenan, katanya ngajak main, tapi gak jadi-jadi. Omong doang hahaha.”
“Jalan, yuk Flo.”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Gaby nginep rumahku,
nih. Ntar dia sendiri.”
“Floooo! Tinggal aja!
Aku habis ini mau pergi sama Alfa.” Sahut Gaby dari ruang keluarga.
“Yaudar, Ver. Aku ganti
baju bentar.”
Entah kemana mobil ini terarah. Benar-benar berbeda. Vero
menyetir mobil dengan memelankan lagu. Biasanya justru lagu diputar keras dan
kita bernyanyi bersama. Entah mengapa malam ini justru terasa menyeramkan.
Musik pelan, hening, tanpa ada percakapan.
Tibalah kami di daerah atas perkotaan dimana dari sini
kita bisa melihat keindahan kelap-kelip keramaian kota. Sampai di tempat itupun
kita masih terdiam dengan musik pelan.
“Flo”
“Yoi?”
“Aku gak tau kenapa
tiba-tiba jadi gini.”
“Plissss jangan berubah
jadi serigala, ini bukan waktu yang tepat! Hahahaha.”
“Serius, Flo.”
“Cie. Vero galau?
Liatin tuh pemandangannya cantik. Di nikmatin suasana tempatnya biar gak galau.”
“Kamu lebih cantik dari
pemandangan itu.”
Seketika aku semakin
bingung. Apa yang baru saja menyambar pikirannya? Kita dulu bahkan seperti
kucing dan tikus, tak ada henti bertengkar, menjaili satu sama lain, bergurau,
jarang dan bahkan hampir tidak pernah ia memujiku.
“Apa, sih? Gak lucu
wekk.”
“Flo, kamu bisa gak sih
gak bercanda? Kali ini aja aku ngomong serius sama kamu.”
Dalam benakku langsung
terbesit. Mungkikah Vero memiliki penyakit akut yang akan merenggut nyawanya
sehingga harus berbicara seperti ini kepadaku.
“Oke. Ngomong aja,
Ver.”
“Tolong jangan marah,
jangan tinggalin aku, jangan terlalu cepet nyimpulin hal ini.”
Otakku semakin
berputar.
“Iya, iya.”
“Aku ada perasaan sama
kamu, Flo.”
Aku bahkan masih merasa
biasa saja.
“Perasaan apa?”
“Perasaan yang indah
banget dan aku bingung ngungkapinnya di samping aku tau kamu ternyata masih
pacaran sama Leo.”
Setelah ia berbicara
detail, jantungku berdegup. Lelaki yang sangat mengasyikan, bertubuh tinggi,
berhidung mancung ini membuatku pusing.
“Terus tujuan kamu
ngomong ini apa?”
“Aku gak tau apa yang
bakal terjadi di depan nanti antara kamu sama Leo. Dan aku gak berharap hal
jelek teradi di antara kalian. Tapi aku tetep ada di sini nungguin kamu.
Kapanpun itu.”
Gila, aku bingung
banget gak tau harus jawab apa. Suasana indah ini sangat mendukung di saat-saat
seperti ini. Aku, orang yang paling tidak bisa serius dengannya harus dihadapi
kenyataan seperti ini.
“Gak usah kamu jelasin
sekarang. Udah, yang penting aku udah lega. Sekarang aku anter kamu pulang.”
~
Sesampainya di rumah aku segera membaringkan diri di atas
kasur, tak tau apa yang harus aku pikirkan. Aku tak bisa menggantungkan
semuanya tanpa kejelasan. Mungkin memang seharusnya aku menjelaskan
kejanggalanku pada Leo. Aku masih menyayangi Leo, sangat. Bahkan aku tak bisa
menerima Vero lebih dari sahabat.
~
Esok harinya aku mengajak Leo untuk makan siang bersama.
Aku menyadari antusiasnya.
Jam 12.30 dia menjemputku, berpakaian rapi dan tetap
memaparkan karismanya yang selalu membuatku kagum memiliki lelaki seperti dia.
Aku segera masuk ke mobilnya dan kita berangkat.
“OVO bistro ya.”
Aku memilih tempat yang
pas untuk makan siang, tidak terlalu ramai, dan nyaman untuk mengobrol.
Sesampainya di OVO bistro kami segera memesan makanan dan
duduk berhadapan sambil saling menatap. Nyaris saja aku melupakan permasalahan
yang sedang terjadi.
“Boleh tanya sesuatu
gak?”
“Anything for you,
Flo.”
“Kamu jujur aja ya. Aku
udah gak marah lagi. Kok kamu deket banget sama Vanny, dan deketnya bahkan udah
berasa ada hubungan khusus. Setiap hari kalian chat, bahkan free call, skype.”
“Apa sih maksudmu? Jadi
5 hari ini nyuekin aku gara-gara masalah itu? Justru aku kira kamu punya
selingkuhan. Sahabatmu Vero itu.”
“Ya pacar mana yang gak
cemburu kalo cowoknya ngelakuin hal special juga ke cewek lain. Oh iya, aku
sama sekali gak ada apa-apa sama Vero, aku gak bisa jatuh cinta sama orang lain
di samping hati ini masih terus berpihak sama orang yang emang bener-bener aku
sayang.”
“Kamu bisa gak bersikap
lebih dewasa?”
“Kamu capek sama aku?
Iya? Mau ngomong itu kan? Aku aja gak pernah capek sama kamu. Aku nyuekin kamu
karena aku pingin kamu peka sama perasaan aku.”
“Orang peka ada
ketentuannya kali. Gak bisa peka dengan cara dicuekin dan diperlakuin gitu.
Dewasa dikit dong, sayang.”
Seketika suasana
menjadi sangat panas dan aku sendiri sangat bingung harus beradu argumen dengan
Leo yang sangat membuatku bingung dan tidak tau harus menjawab apa. Bagaimana
bisa ia memutarbalikkan fakta.
“Oke. Kalo gitu
sekarang tolong kamu jelasin hubunganmu sama Vanny udah sejauh apa?”
“Jauh? Kita deket
banget malah.”
“Tuh kan. Aku sayang
banget sama kamu, sampe aku tega sakitin perasaan sahabat aku sendiri. Aku
perjuangin kamu. Eh, kamunya malah tega ngomong gini ke aku.”
Seorang pelayan yang sedari tadi hendak mengantarkan
makanan pesanan kami justru bingung mendengar cekcok kami yang tak
berhenti-henti. Dengan wajah kebingungan dan kurang enak, pelayan tersebut
mendatangi meja kami dan mengantarkan makanan lalu segera meninggalkan meja kami.
Bukannya menyantap makanan, kami tetap beradu argumen tentang masalah ini.
“Aku bakal jelasin ke
kamu, sayang. Semuanya.”
Aku jelas berfikir, apa
lagi yang perlu dia jelaskan setelah dengan teganya ia mengatakan seperti itu
padaku.
“Silakan. Semoga bermanfaat
ya penjelasannya.”
Dengan wajah sangat
murung aku mencoba tetap tenang mendengarkan penjelasan yang akan ia utarakan.
“Aku sayang banget sama
kamu. Bahkan kalo aku udah sukses, mampu ngehidupin kamu sekarang, dan bisa
nikahin kamu, aku nikahin kamu lulus dari SMA nanti. Aku gak main-main. Aku
selalu nyoba berfikiran dewasa, tapi percuma kalo kamunya gak mau berfikiran
dewasa. Coba deh kalo ada permasalahan kayak Vanny itu kamu klarifikasiin dulu.
Vanny itu saudara aku, sayang. Saudara gak mungkin juga kan pacaran, nikah apa
lagi. Makannya jangan kebawa emosi sama negative thinking gitu.”
Aku hanya melotot dan
diam setelah mendengar semua pembicaraan itu. Dengan mulut kurang enak aku
memulai memakan makanan yang tersedia tanpa basa-basi dan hanya berdiam.
Komentar:
Oke, Sekar. Sebenarnya menarik, tetapi kok kesannya belum selesai ya? Memang sih ada ending yang menggantung. Tetapi ending yang seperti itu memang menyerahkan pada pembaca, bagaimana selanjutnya. Nah, kata-kata kamu itu menunjukkan masih ada bagian selanjutnya. Diteruskan dong! Ibu penasaran nih! Oke!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar