Pages

Kamis, 22 Oktober 2015

Apa Maksudmu?


Story by: Sekarmastuti Aureldina Putri
XI IIS 1

Ini bukan pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini. Dingin, ketakutan, semua gelap. Tak ada jalan keluar. Aku berteriak. Percuma, tak ada yang mendengar. Sepi, seberkas cahayapun tak ada. Berlari tak bisa. Sungguh ketakutan yang sangat mendalam.
“Flo, bangun! Di sekolah, lagi pelajaran, kok sempet-sempetnya tidur. Keringet semua lagi.” seru Gaby, teman sebangkuku.
“Gila. Barusan aku mimpi buruk. Serius deh.”
“Lebay. Siang bolong mimpi buruk. Makannya jangan galau terus.”
“Ah bodo amat. Aku cuci muka dulu, ah!”
Aku segera ijin ke toilet untuk menyegarkan wajahku setelah ketiduran di dalam kelas. Saat aku berjalan menuju toilet aku bertemu Leo, aku segera berusaha menghindar. Dia memang pacarku, namun kita sedang mengalami konflik yang entah bagaimana akan selesai. Aku tidak menatapnya sedetikpun, begitu juga dia. Hubungan kita ini hanya menggantung, entah harus diperbaiki atau justru diakhiri.
~

            Saat pulang sekolah, aku sudah berjanji dengan Gaby untuk menemaninya mencari dress di salah satu pusat perbelanjaan. Langsung saja kami ke tempat tersebut agar tidak membuang waktu.
“Flo! Jangan gila, deh. Nyetirmu kenapa jadi ugal-ugalan gini, sih! Mau jadi preman?”
Aku hanya diam, membiarkan Gaby terus berceloteh yang hanya membuatku mempercepat gerak mobil ini.
“Kamu tuh orangnya aneh. Gak mau cerita. Kesel, kesel sendiri. Marah, marah sendiri. Sedih, sedih sendiri. Tapi orang lain kena getahnya nih.”
“Aku bingung, Gab! Bete, tau gak!”
“Makannya cerita!”
~
            Lalu, sampailah kita di pusat perbelanjaan, aku dan Gaby segera mengambil dompet sembari merapikan diri, mengoles sedikit lip gloss di bibir agar tidak teriat kumel. Kami memasuki setiap toko pakaian yang memiliki koleksi dress anak muda jaman sekarang.
            Selesai kami berbelanja, kami kembali ke mobil.
“Eh, aku nginep rumahmu dong, Flo.”
“Boleh-boleh aja sih, traktir makan dulu ya tapi hehe.”
Aku dan Gaby memang sangat dekat. Dia teman dekatku dua tahun ini, sejak pertama aku masuk SMA hingga sekarang aku kelas 2 SMA. Setiap hari selalu ada hal yang kita bahas dan ceritakan satu sama lain, mulai dari yang menyenangkan hingga yang menyedihkan. Mulai dari yang penting hingga yang tidak penting dibicarakan sama sekali. Namun diantara kita berdua, akulah yang paling tertutup. Aku jarang menceritakan sesuatu yang aku alami yang memang aku anggap dia tidak perlu begitu tau masalah ini.
“Makan di Wizard Café aja, yuk. Belum pernah nyobain nih, Gab.”
“Terserah, pokoknya jangan mahal-mahal, ya.”
Gaby sepertinya selalu bahagia, dia tak pernah terlibat masalah percintaan yang rumit, dia memiliki banyak kesamaan denganku, rambut lurus di bawah bahu, berkulit terang, tinggi sekitar 158 cm, mata besar, dan lesung pipi. Namun kita sama sekali tidak memiliki kesamaan dalam hal percintaan. Dia dekat dengan banyak lelaki atau biasa dibilang ‘gebetan’ namun ia tetap membiarkan itu mengalir, sedangkan aku memiliki seorang pacar yang menurut penilaiannya Leo itu tampan, badan ideal, mapan, baik, tinggal nikah aja. Namun hubunganku harus tergantung, sekali gantungan itu dibiarkan lepas, sama saja dengan bunuh diri dan selesailah semuanya.
            Sesampainya di Wizard Café, kami segera turun dan memesan makanan. Gaby memesankan kami chicken steak dan vanilla late. Seleraku sama dengan dia, sehingga kita tak perlu repot memikirkan makanan.
“Eh ceritain, dong. Kok kamu galau terus, Flo?” tanya Gaby dengan raut sok polos.
“Apaan, sih? Ya gitu, deh. Pokoknya aku mikir Leo deket sama cewek lain dan ada buktinya, aku baca dari hand phonenya sendiri.”
“Ha? Serius?”
“Iya, namanya Vanny. Mereka deket banget gitu, deh.”
“Yakin udah klarifikasi?”
“Udah. Masak katanya gak ada apa-apa, gak ada apa-apa kok chat tiap hari, kepo-kepoan, pergi bareng, free call, skype. Gak sadar kali ya punya pacar.”
“Yang mana anaknya?”
“Kelas MIA 3, pokoknya aku gak suka aja.”
“Jangan over protective, Flo.”
“Sebenernya aku masih sayang, Gab. Aku bingung jelasin ke dia. Dia gak minta maaf atau jelasin keadaannya. Chatnya aja berasa act like everything is okay.”
“Eh, makanannya udah dateng. Lanjut nanti.”
Kami segera menyantap makanan kami. Setelah selesai makan Gaby membayar makanan kami sesuai janjinya dan kami segera pulang ke rumahku.
            Saat memarkir mobil di dalam rumah, aku melihat mobil Leo berhenti. Aku sangat panik. Gaby mencoba menenangkanku dan memberi saran agar kita bertemu baik-baik. Aku masih tak bisa menatap matanya. Masih terasa sakit dan entah bagaimana ini akan pudar. Aku memutuskan untuk segera masuk rumah dan menyuruh Gaby menemui pacarku mengatakan kepadanya bahwa aku belum bisa bertemu dengan dia.
            Setelah beberapa lama menunggu di dalam kamar, akirnya Gaby kembali dengan membawa setenteng paper bag.
“Buat kamu, Flo.” sembari menyodorkan tentengan tersebut.
“Dari siapa?”
“Masih tanya? Ya dari Leo lah. Romantis yaaaaaa.”
Tanpa menggubris perkataan Gaby aku segera membukanya. Ternyata itu hanya jaketku yang pernah tertinggal di mobilnya.
“Romantis, ya? Kesini cuma mau kembaliin jaket ha ha ha.”
“Flo, gak boleh gitu. Dia kan udah ada usaha buat ketemu kamu.”
“Iya kali, ketemu kan cuma mau ngasih ini.”
“Kamu aja terlalu garang gitu. Dia kan jadi males mau ngobrol.”
Aku memutar otak, benar apa yang dikatakan Gaby. Atau mungkin aku terlalu tepramental?
~
            Tepat pukul 7 malam Vero, sahabat laki-lakiku semasa SMP datang ke rumah. Kita memang dekat, sangat dekat.
“Woi! Akhirnya muncul lagi.” Tuturku sambil berjalan mendekati ruang tamu.
“Hai, Flo.” Wajahnya membuatku penasaran, kita memang sering berkomunikasi namun akhir-akhir ini sikapnya berubah, entah kenapa.
“Ada apa, Ver? Tumben-tumbenan, katanya ngajak main, tapi gak jadi-jadi. Omong doang hahaha.”
“Jalan, yuk Flo.”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Gaby nginep rumahku, nih. Ntar dia sendiri.”
“Floooo! Tinggal aja! Aku habis ini mau pergi sama Alfa.” Sahut Gaby dari ruang keluarga.
“Yaudar, Ver. Aku ganti baju bentar.”
            Entah kemana mobil ini terarah. Benar-benar berbeda. Vero menyetir mobil dengan memelankan lagu. Biasanya justru lagu diputar keras dan kita bernyanyi bersama. Entah mengapa malam ini justru terasa menyeramkan. Musik pelan, hening, tanpa ada percakapan.
            Tibalah kami di daerah atas perkotaan dimana dari sini kita bisa melihat keindahan kelap-kelip keramaian kota. Sampai di tempat itupun kita masih terdiam dengan musik pelan.
“Flo”
“Yoi?”
“Aku gak tau kenapa tiba-tiba jadi gini.”
“Plissss jangan berubah jadi serigala, ini bukan waktu yang tepat! Hahahaha.”
“Serius, Flo.”
“Cie. Vero galau? Liatin tuh pemandangannya cantik. Di nikmatin suasana tempatnya biar gak galau.”
“Kamu lebih cantik dari pemandangan itu.”
Seketika aku semakin bingung. Apa yang baru saja menyambar pikirannya? Kita dulu bahkan seperti kucing dan tikus, tak ada henti bertengkar, menjaili satu sama lain, bergurau, jarang dan bahkan hampir tidak pernah ia memujiku.
“Apa, sih? Gak lucu wekk.”
“Flo, kamu bisa gak sih gak bercanda? Kali ini aja aku ngomong serius sama kamu.”
Dalam benakku langsung terbesit. Mungkikah Vero memiliki penyakit akut yang akan merenggut nyawanya sehingga harus berbicara seperti ini kepadaku.
“Oke. Ngomong aja, Ver.”
“Tolong jangan marah, jangan tinggalin aku, jangan terlalu cepet nyimpulin hal ini.”
Otakku semakin berputar.
“Iya, iya.”
“Aku ada perasaan sama kamu, Flo.”
Aku bahkan masih merasa biasa saja.
“Perasaan apa?”
“Perasaan yang indah banget dan aku bingung ngungkapinnya di samping aku tau kamu ternyata masih pacaran sama Leo.”
Setelah ia berbicara detail, jantungku berdegup. Lelaki yang sangat mengasyikan, bertubuh tinggi, berhidung mancung ini membuatku pusing.
“Terus tujuan kamu ngomong ini apa?”
“Aku gak tau apa yang bakal terjadi di depan nanti antara kamu sama Leo. Dan aku gak berharap hal jelek teradi di antara kalian. Tapi aku tetep ada di sini nungguin kamu. Kapanpun itu.”
Gila, aku bingung banget gak tau harus jawab apa. Suasana indah ini sangat mendukung di saat-saat seperti ini. Aku, orang yang paling tidak bisa serius dengannya harus dihadapi kenyataan seperti ini.
“Gak usah kamu jelasin sekarang. Udah, yang penting aku udah lega. Sekarang aku anter kamu pulang.”
~
            Sesampainya di rumah aku segera membaringkan diri di atas kasur, tak tau apa yang harus aku pikirkan. Aku tak bisa menggantungkan semuanya tanpa kejelasan. Mungkin memang seharusnya aku menjelaskan kejanggalanku pada Leo. Aku masih menyayangi Leo, sangat. Bahkan aku tak bisa menerima Vero lebih dari sahabat.
~
            Esok harinya aku mengajak Leo untuk makan siang bersama. Aku menyadari antusiasnya.
            Jam 12.30 dia menjemputku, berpakaian rapi dan tetap memaparkan karismanya yang selalu membuatku kagum memiliki lelaki seperti dia. Aku segera masuk ke mobilnya dan kita berangkat.
“OVO bistro ya.”
Aku memilih tempat yang pas untuk makan siang, tidak terlalu ramai, dan nyaman untuk mengobrol.
            Sesampainya di OVO bistro kami segera memesan makanan dan duduk berhadapan sambil saling menatap. Nyaris saja aku melupakan permasalahan yang sedang terjadi.
“Boleh tanya sesuatu gak?”
“Anything for you, Flo.”
“Kamu jujur aja ya. Aku udah gak marah lagi. Kok kamu deket banget sama Vanny, dan deketnya bahkan udah berasa ada hubungan khusus. Setiap hari kalian chat, bahkan free call, skype.”
“Apa sih maksudmu? Jadi 5 hari ini nyuekin aku gara-gara masalah itu? Justru aku kira kamu punya selingkuhan. Sahabatmu Vero itu.”
“Ya pacar mana yang gak cemburu kalo cowoknya ngelakuin hal special juga ke cewek lain. Oh iya, aku sama sekali gak ada apa-apa sama Vero, aku gak bisa jatuh cinta sama orang lain di samping hati ini masih terus berpihak sama orang yang emang bener-bener aku sayang.”
“Kamu bisa gak bersikap lebih dewasa?”
“Kamu capek sama aku? Iya? Mau ngomong itu kan? Aku aja gak pernah capek sama kamu. Aku nyuekin kamu karena aku pingin kamu peka sama perasaan aku.”
“Orang peka ada ketentuannya kali. Gak bisa peka dengan cara dicuekin dan diperlakuin gitu. Dewasa dikit dong, sayang.”
Seketika suasana menjadi sangat panas dan aku sendiri sangat bingung harus beradu argumen dengan Leo yang sangat membuatku bingung dan tidak tau harus menjawab apa. Bagaimana bisa ia memutarbalikkan fakta.
“Oke. Kalo gitu sekarang tolong kamu jelasin hubunganmu sama Vanny udah sejauh apa?”
“Jauh? Kita deket banget malah.”
“Tuh kan. Aku sayang banget sama kamu, sampe aku tega sakitin perasaan sahabat aku sendiri. Aku perjuangin kamu. Eh, kamunya malah tega ngomong gini ke aku.”
            Seorang pelayan yang sedari tadi hendak mengantarkan makanan pesanan kami justru bingung mendengar cekcok kami yang tak berhenti-henti. Dengan wajah kebingungan dan kurang enak, pelayan tersebut mendatangi meja kami dan mengantarkan makanan lalu segera meninggalkan meja kami. Bukannya menyantap makanan, kami tetap beradu argumen tentang masalah ini.
“Aku bakal jelasin ke kamu, sayang. Semuanya.”
Aku jelas berfikir, apa lagi yang perlu dia jelaskan setelah dengan teganya ia mengatakan seperti itu padaku.
“Silakan. Semoga bermanfaat ya penjelasannya.”
Dengan wajah sangat murung aku mencoba tetap tenang mendengarkan penjelasan yang akan ia utarakan.
“Aku sayang banget sama kamu. Bahkan kalo aku udah sukses, mampu ngehidupin kamu sekarang, dan bisa nikahin kamu, aku nikahin kamu lulus dari SMA nanti. Aku gak main-main. Aku selalu nyoba berfikiran dewasa, tapi percuma kalo kamunya gak mau berfikiran dewasa. Coba deh kalo ada permasalahan kayak Vanny itu kamu klarifikasiin dulu. Vanny itu saudara aku, sayang. Saudara gak mungkin juga kan pacaran, nikah apa lagi. Makannya jangan kebawa emosi sama negative thinking gitu.”
Aku hanya melotot dan diam setelah mendengar semua pembicaraan itu. Dengan mulut kurang enak aku memulai memakan makanan yang tersedia tanpa basa-basi dan hanya berdiam.


Komentar:
Oke, Sekar. Sebenarnya menarik, tetapi kok kesannya belum selesai ya? Memang sih ada ending yang menggantung. Tetapi ending yang seperti itu memang menyerahkan pada pembaca, bagaimana selanjutnya. Nah, kata-kata kamu itu menunjukkan masih ada bagian selanjutnya. Diteruskan dong! Ibu penasaran nih! Oke!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar