Pages

Kamis, 22 Oktober 2015

Senja di Sudut Hening

Story by: Annisa Ayusaleha
XI-IIS 1

Aku berjalan lurus menatap senja. Hati ku kian hancur. Ku mencari cara hingga ku mendapati mata itu. Tersenyum dan tertawa jika senja menyapa. Selalu saja kudapati senyum itu jika ku berjalan mundur menuju sudut-sudut sepi.
Tapi aku tak perduli dengan senyuman itu. Aku ingin kembali ke kehidupan yang dahulu tanpa ada penghalang besi-besi tua ini. Tempat ini begitu bau dan kotor. Aku tak menyukainya. Sipir-sipir itu dengan gagahnya berjalan mengintari jeruji besi tua dengan garangnya. Penglihatan mereka seperti ingin memakan penghuni-penghuni di hotel prodeo ini.
Di antara sekian banyaknya mereka tak ada satu pun yang perduli dengan ku. Apakah karena kulitku yang hitam mengkilat sehingga mereka tak mau berteman denganku. Tapi semakin ku diam mereka semakin tak perduli padaku.
Disana, rupanya disana ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik ku, ingin ku menghampirinya tapi ku takut dia seperti mereka. Dengan ragu-ragu ku mendekati wanita tua itu.

“Mengapa kau melihat ku seperti itu” tanya ku. “Apakah ada yang salah dengan penampilanku wahai nenek tua. Aku tak suka kau melihatku dengan tatapan sinis seperti itu. Aku berada disini karena terpaksa”.
Wanita itu tertawa dan berlalu dari hadapanku tanpa ada satu jawaban yang keluar dari mulutnya. “Dasar gila” gumamku. Masih ada rupanya orang-orang aneh seperti dia, sama seperti mereka lainnya yang melihat hanya dari penampilan luar.
Aku tidak suka berada di tempat ini. Tempat ini lama-lama bisa membuatku gila. Huhu, aku merindukan teman-temanku di luar sana, walaupun sering berselisih paham dengan ku walau sering bertengkar karena masalah sepele tapi mereka baik padaku. Tak seperti mereka itu. Tapi ku mengingat kembali kejadian naas itu, ngapain aku merindukan seorang teman seperti dia. Dia musuh dalam selimut. Lalu aku berteriak dengan sekencang-kencangnya.
“Heiii, apakah karena kulitku hitam sehingga kalian tak mau berteman denganku, jawablah jeritku”. Seorang sipir mendekat padaku “Diamlah. Mengapa kau menjerit seperti itu. Kau sama gilanya seperti wanita tua itu” tunjuk sipir itu kepada seorang wanita tua. “Aku tak gila, aku masih waras dan aku tak perduli dengan wanita tua itu” jawabku pada sipir itu. “Hahahaa, kau menjerit-jerit seperti itu menandakan kau sama gilanya dengan wanita tua itu” jawab sipir. Aku terdiam lalu menjawab “Sudah aku katakan padamu aku tak perduli dengan wanita tua itu”. “Benarkah. Baiklah jika kau menjawab begitu” jawab sipir itu sambil berlalu. “Tunggulah” panggil aku. “Apa” jawab sipir itu. “Kau bilang wanita tua itu gila” tanyaku. “Ya dia gila karena setiap senja dia selalu menangis dan menjerit seperti orang gila, setelah dia menangis, dia tertawa lalu dia terdiam kembali” jawab sipir itu dengan senyum yang sinis. “Aku tak percaya kau bohong kan” jawabku. “Terserah jika kau tak percaya hei anak muda” jawab sipir itu berlalu.
Aku masih tak percaya jika wanita tua itu gila. Tapi.. ahh, sudahlah biarkan saja. Tapi lebih baik aku mendekatinya dan bertanya langsung padanya. Hei, mengapa aku bertanya kepada orang gila. Nanti aku ikut-ikut gila. Emm, tapi tak apalah.. aku penasaran mengapa wanita tua itu selalu bersedih jika senja menghampiri.
Dengan rasa takut aku mendekati wanita itu. “Hai nenek tua lagi apakah kau sekarang, mengapa ku perhatikan setiap senja kau selalu melamun, menangis, tertawa setelah itu kau terdiam kembali” tanyaku.
Wanita itu menatap tajam kepada ku. Lalu menarik napas dalam-dalam lalu berkata “aku mengingat anakku karena setiap senja datang dia sangat bahagia. Dia menari kesana kemari menikmati senja nan indah itu. Apalagi disertai dengan rintikan hujan. Aku merindukannya”. “Kemana anakmu” Tanya ku. “Anakku sudah tiada” jawabnya singkat. “Oh maafkan aku, aku tak tahu jika anakmu sudah tiada jawabku”.
Wanita itu tak menjawab pertanyaanku lagi.
“Dia adalah anak kebanggaanku, namanya Aira. Karena penyakit yang dideritanya dia mati” jawab wanita tua itu. Aku membalikkan badan karena jawabannya tadi. “Aku tak punya biaya untuk membiayai pengobatannya, aku mencuri perhiasan temanku sehingga ku berada disini. Aku terpaksa melakukan itu. Kemiskinan yang membuatku begini” jawabnya dengan sesunggukkan. “Aku dilaporkan sahabatku sendiri padahal aku sudah meminta maaf padanya dan memintanya untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Tapi dia tak mau. Dan akhirnya aku membunuhnya dengan tak sengaja. Dahulu aku adalah orang kaya, dengan kekayaan yang ku miliki ku bisa mendapatkan semuanya. Karena kekikiranku, karena kesombonganku Tuhan menurunkan azabnya padaku sehingga ku menjadi miskin” kata wanita tua itu lagi.
Mendengar kata-katanya ku menjadi terdiam. Aku terhanyut dengan pikiran-pikiranku. “Aku juga sama seperti mu wahai nenek tua kataku. Tapi aku disini karena dijebak oleh temanku sendiri karena mereka menginginkan kekayaanku. Aku dilaporkan karena masalah yang sangat sepele”.
“Masalah sepele apa itu” tanya wanita tua itu. “Ada, yang pasti hanya aku yang tahu” jawabku lagi. “Lalu kemana suamimu nenek tua” tanya ku. “Suamiku menikah lagi, suamiku tak mau mempunyai seorang istri seperti ku. Karena menurut dia sudah berkali-kali dia menasehatiku tapi aku tak mau mendengarnya” jawab wanita tua itu.
“Kasihan sekali kau nenek tua, anakmu baru saja meninggal dunia dan suamimu menikah lagi. Tapi kau begitu karena tuntutan ekonomi. Bagaimana perasaanmu sekarang. Tak adakah seorang kerabat yang kau punya” tanya ku.
“Sudahlah lupakan saja kisah ku dahulu yang pasti sekarang aku mau mempertanggung jawabkan kelakuanku di hadapan hukum”.
“Kau sudah tua, apakah tak ada keringanan buat nenek tua sepertimu” tanya ku. “Tua muda sama saja jika mereka bersalah pastilah dapat hukuman” jawabnya.
“Baiklah jika begitu. Istirahatlah ini sudah malam. Pembicaraan ini besok kita lanjutkan lagi” jawabku sambil berlalu dari hadapannya. Aku berjalan meyisiri lorong-lorong tua itu dengan sejuta pertanyaan. “Kemana kerabat nenek tua itu, masih adakah yang perduli padanya” gumamku.
Kata-kata nenek tua itu masih terbayang-bayang di pikiranku. Demi anaknya dia rela mencuri. Mencuri adalah hal yang buruk, itu adalah jalan satu-satunya. Setelah itu dia membunuh sahabatnya sendiri. Pikiran gila, harusnya nenek tua itu memikirkan akibat di kemudian hari.
Anak sudah tiada suami menikah lagi, sungguh kisah yang haru. Apa mau dikata semua sudah terjadi. Saat ini nenek tua itu berada di lorong hitam. Seperti kehidupanku saat ini. Lihatlah aku, betapa tersiksanya aku disini. Perlahan namun tak bisa diterka apa dan kapan ku bisa keluar dari semua ini. Kini ku terjebak di dalam lubang hitam yang sewaktu-waktu menghisapku ke ruangan yang tak bertepi. Bertahan, namun tak bisa. Seperti ombak sedikit demi sedikit dapat mengikis batu karang di pantai yang dapat melukai siapapun sewaktu-waktu. Tajam dan sakit, seperti mata pisau yang ditancapkan di dada.
“Sometimes life is hard to guess what will, sometimes also sadness was dissolved in the oceans. and now I walk the steep climb my life … I could not find my way through .. I ask where are my feet must tread … Without my intent to run for the meaning of the world. With gold piece that has no meaning” gumamku. Ah, mengapa ku memikirkan kehidupan nenek tua itu, lebih baik ku tidur sekarang karena jika ku kesiangan pastilah sipir-sipir gila itu akan mengeluarkan taringnya. Baiklah aku tidur, aku tak bisa melakukan dan memikirkannya. Lama-lama ku bisa gila seperti nenek tua itu.
Keesokan harinya ketika ku bangun dari tidurku dan berjalan santai menuju pintu itu, ku lihat ada seseorang menyapa padaku dan menghampiriku. “Bagaimana tidurmu anak muda sepertinya kau tak bisa tidur semalaman” tanya. Rupanya nenek tua itu lagi gumamku dalam hati. “Ya nenek tua, aku tak bisa tidur semalaman” jawabku. “Mengapa” tanya nenek tua itu lagi. “Aku memikirkan kata-katamu nenek tua. Kau begitu tegar menghadapi semua ini. Anakmu sudah tiada, suamimu menikah lagi. Apakah tak ada rasa sedih di hatimu nenek tua” tanyaku.
“Apa yang harus aku tangisi anak muda. Semua telah terjadi jawabnya dengan tersenyum. Sudahlah, lihat para sipir itu sudah memperhatikan kita sedari tadi bak harimau yang sedang kelaparan dan siap-siap mencabik-cabik mangsanya. Ayolah” ajaknya. “Baiklah nenek tua” jawabku lalu ku mengikuti langkah nenek tua itu.
“Hei kau nenek tua kerja dengan benar jangan asala-asalan begitu” bentak sipir itu dengan garangnya. “Baiklah bu, maklumlah aku sudah tua” jawab nenek tua itu. “Jika kau merasa sudah tua mengapa kau berada disini, ayo cepat kau kerjakan itu dan kau anak muda yang kulit hitam lebam kau bersihkan taman disana” tanya sipir itu dengan lantangnya dan jarinya menunjuk padaku. “Baiklah” jawabku dengan malas. “Dasar sipir gila” gumamku.
Aku lalu membersihkan tempat yang ditunjuk oleh sipir itu. Pandanganku mengadap nenek tua itu. Nenek tua itu tersenyum padaku.
Gila aku disini. Sipir-sipir itu tak ada ramah-ramahnya. Mereka hanya marah, marah dan marah. Aku kasihan melihat nenek itu. Pastilah nenek itu kecapekan. Ingin ku membantunya tapi mereka memperhatikanku dari tadi. Sudahlah lebih baik aku melanjutkan pekerjaanku saja.
Andai aku tak berada di tempat ini, aku sudah menikmati pemandangan di Bali. Aku merindukan masa-masa itu. Liburan bersama keluargaku dan pacarku Reno. Menikmati pantai Kuta berdua. Bahagia, kecewa. Sudahlah, teman-temanku pastilah sudah menertawakan keadaanku saat ini. Gara-gara mereka aku disini. Awas kalian semua akan aku balas perbuatan kalian gumamku dengan nada marah.
“Jangan membalas api dengan api, tapi lawanlah api dengan air” jawab seseorang yang sedari tadi berada di belakang ku. Aku tersadar dari lamunanku. “Oh, kau rupanya nenek tua. Kau mengkagetkanku saja” jawabku dengan sedikit terbata-bata. “Apa yang sedang kau lamunkan anak muda” tanyanya. “Aku sedang melamunkan jika aku tak disini pastilah aku sudah bersenang-senang dengan keluarga dan pacarku”.
“Daripada kau melamun tak menentu lebih baik kita menikmati segelas teh hangat ini, aku sudah membuatkan buat kau dan aku” jawabnya sambil menyodorkan segelas teh hangat padaku. “pekerjaan telah usai sedaritadi anak muda. Kau asik dengan lamunanmu sehingga kau tak mendengar sipir-sipir itu berkata. Sekarang waktunya istirahat. Ayolah, kita kembali ke kamar. Kita lanjutkan perbincangan kita yang tadi malam yang sempat terputus. Ayolah kau bangkit dari dudukmu. Ikuti aku” ajak nenek tua itu. Aku bangkit dari tempat yang aku duduki tadi dan megikuti langkah nenek tua itu.
“Tunggu nenek tua mau kemanakah kita” tanyaku. “Kita mau ke kamar masa mau ke pasar aneh kau ini” jawabnya dengan tertawa. “Tapi disana kamarku bukan disana” tunjukku pada sebuah kamar. “Kita mau ke kamar ku anak muda” jawabnya lagi. “Oh baiklah” kataku sambil mengikutinya.
“Bagus sekali kamarmu nenek tua tak seperti kamarku yang pengap dan dihuni puluhan orang yang tak mau perduli dengan ku. Apakah kau tinggal sendiri” tanyaku pada nenek tua itu. “Tak ada yang mau sekamar dengan ku anak muda, mereka bilang aku hanya wanita tua yang gila. Mereka bilang setiap senja ku selalu menatap langit kadang ku menangis, kadang ku tertawa dan kadang pula ku terdiam kembali. Mereka takut ketularan gila. Hahahaha, mereka tak mengetahui hal yang sebenarnya mengapa ku melakukan semua itu” jawab nenek tua itu sambil tertawa. “Mengapa kau tak takut padaku wahai anak muda” tanyanya padaku. “aku” jawabku tertahan. “Aku apa” tanyanya lagi. “Karena aku penasaran melihat tingkahmu saat senja menyapa” jawabku. “Oh rupanya begitu” kata wanita tua itu lagi.
“Oya, kita belum berkenalan namaku Aini” kata wanita tua itu memperkenalkan namanya padaku. “aku Rosa” jawabku menyebutkan namaku. “Oh, nama yang bagus anak muda. Aku wanita tua yang malang. Sesungguhnya aku hanyalah wanita tua yang ditinggalkan oleh anak dan suamiku. Saat ini masa tuaku ku habiskan di balik jeruji besi ini. Tak ada seorang pun yang mengetahui jejak-jejak kehidupanku di tempat ini. Mereka hanya mengetahui bahwa aku hanyalah seorang wanita tua yang sudah membunuh sahabatnya sendiri” jawabnya lagi.
“Aku sempat tak percaya kau melakukan itu nenek tua. Bagaimana kau bisa melakukan semua itu” tanyaku. Belum sempat wanita tua itu menjawab seorang sipir mendatangi kamar wanita tua ini. “Rupanya kau disini anak muda ku mencari kau di kamarmu kau tidak ada” tanya sipir itu. “Ada apa kau mencariku” tanyaku pada sipir itu. “Ada yang mencari cepatlah” kata sipir itu lagi. “Siapa” tanyaku lagi. “Jangan banyak bicara cepatlah kau temui orang itu” kata sipir itu sambil berlalu. “Baiklah” jawabku singkat.
Aku mengikuti langkah sipir bertubuh tambun itu. “Itu dia orangnya, cepatlah kau berjalan jangan seperti nenek-nenek tua” jawab sipir tambun itu sambil menunjuk seseorang. Aku menemui orang yang dimaksud.
“Ada apa kau menemuiku disini tanyaku” pada orang itu. “Maafkan aku Raina aku menyesal telah membuatmu sengsara di tempat ini. Tempat ini begitu menjijikan” kata orang itu lagi. “Menyesal? Kau bilang menyesal argghh aku tak percaya kau mengatakan demikian kepada ku” jawabku ketus. “Aku menyesal Raina aku ingin membebaskanmu dari tempat ini” katanya lagi.
“Sudahlah, tak usah repot-repot kau mengeluarkan ku dari tempat ini. Harusnya kau bahagia Jiny, kau sudah memasukanku ke jeruji besi ini” jawabku. “Kau bebas menikmati semua harta-hartaku. Kau bebas pergi kemanapun kau mau tanpa aku. Itu kan yang kau mau” jawab ku kesal. “Tidak Raina, kau salah. Aku menyesal. Aku telah terhasut oleh omongan-omongan yang tidak benar. Aku sadar aku telah salah menilai mereka” jawab Jiny dengan nada menangis. “Buang semua air mata palsu iti Jiny, kau bilang kau sadar. Kemana saja kau selama ini. Sudah dari awal ku katakan padamu aku tak bersalah. Aku dijebak dengan mereka semua. Tapi kau tak pernah mendengar ucapanku. Sudahlah, pulanglah kau. Aku sudah mulai menyukai tempat ini” kataku.
“Aku menyukainya, karena ada seorang wanita tua yang mau mendengarkan keluh kesahku. Tidak seperti kau yang mengaku sahabatku. Walaupun hanya seorang wanita tua, kehidupannya penuh dengan lika liku penderitaan. Cobalah kau pikir, demi kesembuhan anaknya dia rela melakukan apapun sampai-sampai suaminya menikah lagi. Dahulu wanita tua itu adalah wanita yang sombong tetapi sekarang wanita itu berubah menjadi wanita yang tegar, baik dan rajin beribadah” kataku pada Jiny.
“Ayolah Raina, demi your big family and your someone” jawab Jiny.
“Sudah ku katakan tidak ya tidak, pergi kau dari sini jangan sampai kesabaranku habis. Cepatlah, jangan banyak bicara lagi” jawabku dengan nada kesal.
“Baiklah Raina, aku akan pergi. Tapi satu hal yang harus kau ketahui bagaimanapun juga aku akan membebaskanmu dari hotel prodeo” ini jawab Jiny.
“Aku tak perduli” kataku lagi. “Pulanglah, aku mau istirahat” jawabku sambil berlalu dari hadapannya.
Jiny pergi meninggalkan hotel prodeo ini tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Dasar kau keras kepala gumam Jiny.
Aku sudah menemui orang itu, aku ingin kembali ke kamarku lagi. “Bukakanlah pintu ini” kataku pada seorang sipir.
“Baiklah” jawab sipir itu sambil membuka pintu.
Aku berjalan pelan menuju kamar wanita tua itu. Ku lihat dari kejauhan wanita tua itu melakukan kebiasaaan yang selalu dia lakukan. Menatap senja dengan tatapan kosong. Kadang ia menangis, kadang ia tertawa kadang pula ia langsung terdiam kembali.
Ku coba menerka-nerka apa yang saat ini ada di pikiran nenek tua itu.
Aku mengahampirinya. “Sedang apa kau lakukan disini nenek tua” tanya ku. “Oh rupanya kau Raina, aku sedang melakukan apa yang bisa aku lakukan” jawabnya. “Melakukan hal gila itu lagi” tanyaku. Wanita tua itu tertawa lepas.
“Mengapa kau tertawa nenek tua, apakah ada yang lucu dengan jawabanku, sungguh aku tak menyukainya” jawabku kesal.
“Jawabanmu sungguh lucu anak muda, kau sudah tau kebiasaanku seperti ini mengapa kau bertanya kembali” jawab nenek tua itu. “Kadang aku menangis, kadang aku tertawa, kadang pula aku terdiam karena aku merasakan semua itu. Tahukah kau anak muda, aku hanya mengenang masa-masa bersama anakku” jawab nenek tua itu lagi.
“Apakah dengan kau menangis, apakah dengan kau tertawa lalu kau terdiam kau bisa mengenangnya. Itu adalah hal gila yang pernah aku dengar nenek tua” jawabku dengan kesal.
Nenek tua itu kembali tertawa.
“Ingin kukatakan lagi bahwa yang selama ini kau terka adalah benar adanya” kata nenek tua itu lagi.
“Sudahlah, lebih baik aku kembali. Tak ada gunanya ku melanjutkan perbincangan ini. Bisa-bisa aku ikutan gila sepertimu” kataku sambil berlalu dari hadapannya.
“Hei anak muda, janganlah kau merajuk, aku hanya melepaskan beban yang ada di hatiku. Kau menganggap aku gila, semuanya menganggap ku gila. Hahahaa, aku memang sudah gila. Aku hanya wanita tua yang gila” jawab wanita tua itu.
“Kau memang nenek tua yang gila. Aku ngantuk, aku tidur dulu, selamat tidur nenek tua. Mudah-mudahan esok kau tak segila hari-hari kemarin” kataku.
“Aku bisa gila berbincang-bincang dengan nenek tua itu” gumamku sambil berjalan menyusuri lorong-lorong tua ini. Tempat ini sama tuanya seperti nenek tua gila itu. Esok akan ku pikirkan lagi bagaimana menghadapi wanita gila itu. Selanjutnya terserah padanya.
Aku memandang kosong ke arah suatu ruangan. “Sial!!! kamarku bukan ini. Ini tempat apa” gumamku dengan nada kesal. Gara-gara nenek tua itu aku menjadi tersesat begini. “Oya, dimana kamarku”. Mataku sudah tak tahan lagi ingin tidur. Sebentar lagi fajar datang. “Sial, benar-benar sial aku hari ini”.
Lebih baik aku diam saja. Diam itu emas. Daripada ku berbicara tak ada satu pun yang aku mengerti, apalagi perkataan nenek tua itu.


Komentar:
Cerita yang menarik, anti-mainstream. Coba dirapikan lagi paragrafnya, dan cermati tanda bacanya. Dengan sedikit olahan kata-kata yang tepat, cerita kamu benar-benar bisa menghanyutkan pembaca. Selamat, Annisa!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar