Story by: Lailatul Muniroh
XI-IIS 2
Dari jauh aku melihat sesosok tubuh
tinggi tegap menghadap ke arahku. Dia menerjang orang yang lalu lalang
menghalangi langkahnya, terkadang sambil berjinjit-jinjit menyela diantara
kerumunan manusia. Aku tak tahu, ada gerangan apa dia datang menemuiku. Ah,
mungkin ini hanya halusinasi. Ekspektasi yang melebihi kenyataan telah
menguasai pikiran, membuatku mengandai-ngandai kehadirannya. Namun, semakin
lama, jarak antara aku dan dia semakin dekat. Tak sekalipun dia mengalihkan
pandangannya dariku. Aku tidak yakin bahwa ia akan menghampiriku. Namun
dugaanku salah. Beberapa langkah lagi ia pasti sudah dihadapanku. Hatiku
berdegup kencang, tubuhku bergetar hebat, keringat dingin mulai membasahi
sekujur tubuhku yang panas.
Dan benar saja, sekarang ia sudah
berada di depan kedua mataku. Detak jantungku mulai tak beraturan, aliran
darahku mengalir begitu cepat. Dan itu berlangsung sangat lama. Tapi, entah
mengapa tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Hanya sebuah garis
lengkung ke atas yang bertengger di wajahnya. Aku menunggu kata-kata yang
hendak terucap dari bibirnya yang tersenyum lebar. Hening. Saat itu juga, aku
merasa hanya ada aku dan dia di tempat seramai ini. Aku mencoba untuk sadar, aku
melihat sekelilingku untuk memastikan apakah dia benar-benar tersenyum
kepadakan. Dan ternyata, dia memang tersenyum manis kepadaku. Aku ingin
membalas senyumnya. Namun sulit rasanya untuk membentuk sebuah garis lengkung
seperti apa yang dilakukannya. Akhirnya, dengan sekuat tenaga aku menarik ujung-ujung
bibirku agar tercipta sesungging senyum.
“Hi…” sapanya ramah kepadaku setelah
beberapa saat tersenyum.
Detik
itu juga, bersamaan saat ia menyapaku, detak jantungku yang tadinya sudah mulai
reda, kembali bergejolak. Suara beratnya bagaikan gelegar gemuruh yang
menyambar otakku. Tiba-tiba saja aku merasa oksigen di sekitarku mulai menipis.
Aku merasakan sesak yang teramat sangat. Aku berusaha menghirup udara yang
sedalam-dalamnya. Ingin aku segera membalas sapanya. Tapi, apa boleh buat, bibirku
malah tertutup rapat. Setelah mengatur nafas, aku berusaha menelan ludah, lalu
dengan tergagap-gagap aku balas menyapa “He-hel-lo…”
Ia
kembali melontarkan senyum ke arahku. Senyuman yang tak kalah lebarnya dari
yang pertama. Oh, Tuhan! Berikanlah aku kekuatan agar aku bisa menghadapi
mahkluk seperti dia! Dengan segala daya dan upaya, aku akhirnya bisa
mengendalikan emosiku.
“Bolehkah
aku minta contact salah satu dari
kalian?” tanyanya kepadaku dengan melirik ke arah teman-temanku yang sedang
duduk santai di deratan kursi food court
JCO.
“Oh, tentu saja. Akan kuberi nomor
telephonku.”, aku menjawab dengan lancar tanpa rintangan yang menghalangi
ucapanku. Tanpa ragu aku menyebutkan nomor handphoneku. Dengan cekatan dia
mengetik nomor yang kusebutkan di atas layar touch screen smartphone miliknya.
Tak beberapa lama setelah itu, dia tersenyum lagi kepadaku.
“Oke,
terima kasih.”, katanya kemudian setelah mendapat nomor dariku. Lagi-lagi dia mendaratkan
senyumnya di mataku. Aku pun menjawab “Iya, sama-sama.”.
“Aku
pergi dulu ya, bye..!” katanya kepadaku sambil melambaikan tangan setelah
mendapat jawaban dariku.
“Bye-bye..!”
aku balas mengucapkan kata perpisahan. Untuk yang ke-lima kalinya dia membuang
senyum yang terakhir untukku. Ah, bodohnya aku. Kenapa aku membiarkannya pergi
begitu saja? Andai saja aku tak terlalu jatuh dalam surga senyumnya, pasti aku
sudah mengajaknya berbincang-bincang. Sekarang, aku hanya bisa memandang punggung
gagahnya dari kejauhan yang lama-kelamaan hilang di pelupuk mata.
***
Jumat,
11 Mei 2013
Langit fajar yang kemerah-merahan
dengan semburat warna merah jingga dari sang surya menghiasi cakrawala Ibu Kota
Indonesia. Terlihat mentari di ufuk timur Jakarta mengintip dari balik dedaunan
dengan malu-malu. Udara yang sebelumnya belum pernah aku rasakan mengisi penuh paru-paruku.
Suara debuman kendaraan terdengar memekakakkan telinga setiap orang yang
mendengarnya. Sungguh suasana yang berbeda dengan Ibu Kota Jawa Tengah.
Baru
beberapa menit yang lalu, aku dan teman-temanku tiba di Jakarta. Tujuan utama
kami kesini bukan untuk piknik atau rekreasi, melainkan mengikuti seminar dan
pameran perusahaan muda tingkat nasional. Setelah turun dari kereta eksekutif
yang kami tumpangi, tak jauh dari tempat kami berada, sudah disuguhi
pemandangan gedung pencakar langit di sekeliling Stasiun Gambir. Kulirik jam
tangan merk Alexandre Christine yang
kupasang di tangan kiriku, waktu menunjukkan pukul 05.33 WIB. Segera kami turun
ke halaman stasiun untuk mencari taksi. Setelah mendapat taksi, kami meneruskan
perjalanan menuju apartement tempat kami menginap. Kulihat berbagai kendaraan sudah
ramai berlalu lalang di jalanan Ibu Kota pukul 05.45 WIB. Anak-anak sekolah dan
karyawan berjejal-jejalan mengantri di halte Trans Jakarta. Di kanan-kiri jalan
berdiri dengan megah gedung-gedung perkantoran. Tak lepas dari gedung
perkantoran, berjejer rapi mall-mall besar sebagai tujuan wisata para penghuni
kota terpadat di Indonesia.
Setelah
beberapa menit di dalam taksi, kami turun tepat di depan lobby apartement. Dari bawah aku melihat gedung yang menjulang
tinggi keatas, menandakan apartemen ini terdiri dari berpuluh-puluh lantai. Tak
ingin membuang-buang waktu, kami segera menuju ke lift yang membawa kami ke
kamar. Kami melewati lobby yang nyaman, sederhana, dan tidak terlalu besar,
disana kami menemui receptionist untuk
mengambil kunci kamar yang telah dipersiapkan.
Setelah
berkeliling mencari nomor apartement, akhirnya sampai juga di apartemen nomor
31 AC2. Ternyata ruangannya tidak begitu besar, namun cukup nyaman untuk
ditinggali. Dari lantai 31 kita bisa melihat hamparan kota Jakarta yang
berkelap-kelip saat malam menjelang hingga pagi menyingsing. Segera kami
meletakkan koper dan tas yang penuh muatan di ruang tengah yang digabung dengan
ruang makan dan dapur.
Aku
segera mengguyur tubuhku dengan air hangat. Otot-otot yang tegang menjadi
rileks. Kusempatkan mencuci rambutku yang gatal karena ketombe. Beberapa menit
kemudian, aku sudah selesai dengan urusan mandiku. Sekarang saatnya
beristirahat kemudian check-area stand dan seminar. Aku memilih merebahkan
tubuhku di sofa ruang tamu yang empuk, disusul dengan teman-temanku yang
berebutan tidur di kamar yang hanya ada dua.
Aku
membayangkan bagaimana acara seminar besok dan apakah stand kami akan ramai dikunjungi banyak orang. Aku sudah tidak
sabar untuk memulai hari esok, menyaksikan berbagai kejadian yang tentunya
belum pernah aku saksikan. Lamat-lamat mataku semakin berat, hembusan pendingin
ruangan yang ada di sudut kamar merambati tubuhku. Aku semakin terkantuk-kantuk
ditambah suara televisi yang menyenandungkan lagu sendu. Semakin dalam aku
masuk ke khayalanku, semakin aku melupakan sesaat tentang penatnya kehidupan di
dunia.
*
Suara adzan subuh dari masjid membangunkan
para penghuni apartemen 31 AC2. Terdengar suara gemericik air dari dalam kamar
mandi. Aku memastikan apakah temanku sudah ada yang bangun atau belum. Ah,
ternyata Riri sudah bangun.
“Ah, segarnya…”, gumamnya seraya
mengusap-ngusapkan handuk di kepalanya. “Oh Lyla, tumben udah bangun. Jam
berapa nih?”
“Ih… memang yang bisa bangun pagi
cuma situ doang?” balasku sewot tanpa menjawab pertanyaannya.
“Biasanya juga gimana mbak…”, jawab
Riri sambil tertawa tak mau kalah. “Bangunin yang lain, gih!” perintah Riri
kepadaku.
“Enak aja, memang kau siapa?
Seenaknya memerintah orang.” jawabku menolak perintahnya.
“Huh, dasar anak marmut, nggak bisa
disuruh.”, gersah Riri mendengar jawabanku. Aku tertawa dan segera masuk kamar
mandi sambil menyambar handuk sebelum Riri melemparkan bantal guling kearahku.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan
pukul 07.40 WIB. Kita harus segera menuju mall tempat seminar dilaksanakan. Butuh
waktu kira-kira 15 menit dengan berjalan kaki untuk menuju Napoleon Mall dari
Gunidra Apartement. Setelah semua siap, kami bergegas keluar apartement. Dua
puluh menit kemudian, kami telah sampai di lantai tiga Napoleon Mall. Ternyata
disana sudah banyak orang yang mengisi deretan kursi di depan padahal seminar
baru dimulai pukul 08.30 WIB. Karena kami berangkat telat, alhasil kami
mendapat bagian duduk di belakang. Seminar pun dimulai. Sambutan demi sambutan
dari para president directur atau vice president perusahaan terkemuka menandakan dimulainya acara. Menteri
Perekonomian Indonesia, Bapak Sofyan Djalil memberikan petuah kepada young entrepreneurs di Indonesia.
*
Seminar berjalan kira-kira selama
dua setengah jam. Setelahnya, kami diberi kesempatan untuk menata stand tempat mengenalkan produk yang
dihasilkan setiap perusahaan muda. Tak terasa sudah jam 11.00 WIB kami menghias
booth stand yang disediakan. Sekarang
saatnya beraksi untuk menarik para pengunjung mall agar membeli produk kami.
Dengan sigap kami berpromosi di tengah kerumunan pengunjung yang
berlalu-lalang. Kami ber-enam bergantian menjaga stand.
Karena jam sudah mengarahkan
jarumnya ke angka sembilan, sekarang sudah saatnya kami memberesi aneka
properti stand untuk hari selanjutnya. Kami tidak ingin berlama-lama di mall,
setelah selesai dengan urusan stand, kami langsung kembali ke apartement dengan
berjalan kaki lagi tentunya. Baru sehari, kami sudah berhasil menjual delapan
produk dengan pendapatan Rp 1.020.000,00. Wah, jika dua puluh produk yang kami
bawa berhasil ludes, kami dapat membawa pulang uang sekitar Rp 3.000.000,00
tanpa ada diskon.
Setelah melewati lorong-lorong
apartement, sampailah di depan kamar 31 AC2. Kami melangkahkan kaki ke dalam
dan meletakkan barang-barang di ruang tamu. Tanpa berkata apa-apa teman-temanku
dengan gesit merebahkan tubuhnya di atas spring
bed.
“Idih… Iva seharian nggak mandi
langsung main tidur aja.”, celotehku melihat Iva yang sudah mendengkur di atas
kasur di kamar utama. Iren dan Tantri juga ikut-ikutan tak mau kalah naik ke
atas kasur.
“Yang penting dapat jatah kasur.
Daripada kamu tidur paling akhir, dapat jatahnya tidur di luar. Aduh, kasihan
banget sih, Lyl”, Tantri membenarkan apa yang dilakukannya. Tapi
ngomong-ngomong benar juga apa yang dikatakan Tantri. Kalau aku mandi dulu,
pasti aku tidur di sofa lagi. Dengan cepat aku melongok ke kamar sebelah, dan
ternyata kasur yang lebih kecil dari kamar utama telah diisi dua orang yang
sudah tak sadarkan diri. Yah kalau begini, mandi atau tidak sama saja, tetap
tidur di sofa ruang tamu. Tanpa berpikir lama aku masuk ke kamar mandi, mengguyur
tubuhku untuk menghilangkan pegal.
Tak lama kemudian aku sudah selesai dengan
mandi malamku. Kalau sudah begini, aku tidak bisa langsung tidur karena mata
yang tadinya lelah kembali fresh
setelah dibasuh air. Aku memutuskan untuk mengunjungi teras sempit yang hanya
bisa diisi mesin cuci dan jemuran. Aku mengedarkan pandanganku ke jalanan di
bawah apartement. Ternyata dunia malam di Jakarta seperti siang hari, tiada
hari tanpa macet. Kemacetan ibu kota memang tak kenal siang atau malam. Tetapi
di kejauhan, kerlap-kerlip lampu yang memancar dari kendaraan atau gedung juga terlihat
indah.
Setelah bosan dengan apa yang kuperhatikan,
aku mengalihkan pandangan ke arah kamar diseberang apartemenku. Kamar itu masih
memancarkan cahaya terang diantara gelapnya apartemen disekitarnya, yang
menandakan penghuninya masih terjaga. Aku penasaran apa yang sedang dilakukan pemilik
kamar itu di jam 10 malam seperti ini. Aku tidak melepaskan pandanganku dari
kamar itu. Lamat-lamat aku melihat bayangan dari dalam semakin besar dan
akhirnya menampakkan wujud aslinya keluar di balkon rumahnya. Kulihat dia juga
mencari udara segar dan ingin menikmati pemandangan setelah seharian lelah
bekerja. Mataku sibuk memerhatikan gerak-geriknya. Tanpa sadar, dia sudah
memandang ke arahku setelah bosan melihat langit malam Jakarta. Aku yang tidak
siap dengan kehadirannya terkejut hingga kopi panas di dalam cangkir hampir
mengotori bajuku. Dia tidak melepaskan pandang dari arahku setelah mendapatiku
kepergok mengintainya. Aku baru sadar ternyata dia sudah sejak tadi
mengamatiku. Dan sekarang laki-laki itu malah melambaikan tangannya padaku. Ah,
setelah kuamati ternyata dia Dandi. Aku semakin ketakutan, sepertinya besok
pagi dia akan melabrakku. Akan dengan mudah dia menemukan kamarku karena kamar
kami berada di tower yang sama dan saling berseberangan.
“Mampus
lah kau, Lyla”, umpatku dalam hati. Tanpa pikir panjang aku segera masuk dan
menutup pintu rapat-rapat tanpa memedulikan dia yang masih keheranan melihatku.
Aku berlari menuju sofa dan mencoba tidur untuk melupakan kejadian memalukan
yang baru saja terjadi. Namun bagaimanapun juga, walau mataku terpejam tapi
jiwaku masih terjaga. Aku tidak bisa tidur akibat acara kepergok tadi. Bukannya
aku ingin memata-matai orang lain sebenarnya, tetapi aku ingin mencari
kesibukan agar bisa lekas tidur. Eh, malah tidak bisa tidur jadinya. Tapi
setelah kupikir-pikir, aku tidak melihat kemarahan di wajahnya. Yang kulihat
malah lambaian sapa kepadaku. Ah, mungkin dia ingin memastikan apa aku sedang
memandangnya atau tidak. Ah, kenapa aku tadi bertingkah seperti orang ketakutan,
bisa-bisa Dandi mengetahui raut wajahku yang ketakutan, lalu dia akan
melabrakku besok.
“Aaarghh…”,
memikirkannya saja sudah membuat otakku lelah. Mataku ingin istirahat, tetapi
hatiku masih berkata tidak. Aku pusing memikirkan hal bodoh yang baru saja
kulakukan, hingga alam bawah sadar membawaku ke alam mimpi.
*
Bangun-bangun aku merasakan sakit
kepala. Aku segera sadar dengan kejadian tadi malam yang menimpaku. Aku berlari
menuju jendela dapur dan menyibakkan korden pelan-pelan untuk melihat sesuatu
diseberang sana. Ternyata masih fajar, matahari belum menyinarkan cahayanya.
Ah, masih belum ada tanda-tanda kehidupan, lampu di dalam rumah itu masih
menyala. Aku baru sadar jika lampu di balkon rumahku mati, pasti dia tidak bisa
melihat jelas wajahku. Begitu beruntungnya aku.
Hari ini adalah hari ketiga kami di
Jakarta. Agenda kami hari ini adalah menjaga stand seperti kemarin dan berpromosi. Kami berangkat lebih awal,
pukul 07.30 kami sudah keluar dari apartement. Setiba kami disana, belum ada perusahaan
lain yang datang. Tapi tak apa lah, kami bisa bersantai saat yang lainnya sibuk
memperbaiki stand mereka.
Kami kembali melancarkan aksi,
mengundang para pengunjung mall untuk memenuhi booth stand kami. Baru pukul 16.00 WIB produk kami tersisa dua
buah. Kali ini kami akan pulang lebih awal, tidak seperti kemarin harus menunggu
jam kerja mall tutup. Anggota perusahaan lain juga mengunjungi stand-stand dari berbagai perusahaan di
Indonesia, begitu juga kami. Berbagai produk inovatif dan kreatif dipamerkan di
ajang ini.
Sekarang,
sudah saatnya untuk membereskan perkakas yang kami gunakan untuk menghias stand. Pukul 19.00 WIB kita sudah
diperbolehkan kembali ke apartement. Sebenarnya aku masih ingin di sini.
Cita-citaku untuk berbincang dengan seseorang yang telah mengganggu pikiranku
selama di Jakarta belum tercapai. Namun apa dayaku yang hanya seorang
perempuan, mana mungkin mengajak ngobrol lebih dulu. Harga diri memang tidak
bisa dikalahkan dengan apapun. Aku mencoba mencari-cari dimana keberadaanya.
Namun hingga waktu menginjak pukul 19.30 WIB, batang hidungnya tak kunjung
nampak. Aku mengurungkan niatku menemuinya, lalu beralih untuk membantu
teman-temanku memasukkan perlengkapan stand
ke kardus yang telah kami siapkan untuk dibawa pulang. Sebelum aku sampai mengulurkan
tangan untuk melepas properti, mataku terhenti pada sebuah titik dimana aku
seperti mengenali titik itu. Aku memicingkan mata untuk melihat lebih jelas
siapa sebenarnya titik tersebut. Dari jauh aku melihat sesosok tubuh tinggi tegap
menghadap ke arahku. Dia semakin mendekat dan akhirnya berhenti di depan
tubuhku. Dandi, seorang yang selama tiga hari terakhir ini mengganggu
pikiranku. Seorang Dandi akhirnya membisikkan kata-katanya kepada Lyla.
Kata-kata yang akan selalu terngiang di kepalaku. Kata-kata penuh mantra yang
membuatku tersihir. Dandi, seorang yang pernah singgah dalam hidupku.
*
Setelah
puas empat hari di Jakarta, kami kembali ke Semarang dengan membawa banyak
pesanan produk yang harus segera kami selesaikan. Kuliah disambi bekerja memang
terasa berat, tapi juga menyenangkan karena kami tidak perlu meminta uang jajan
pada orang tua. Apalagi ini adalah akhir semester dua, orang tua pasti juga
akan mengirim uang untuk biaya mengisi KRS semester tiga. Bapak ibuku hanya mengirim
uang semester dan uang kost saja, karena dari hasil kami mendirikan perusahaan
kecil, bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari selama berbulan-bulan. Aku
bersyukur bisa menjadi bagian dari perusahaan ini.
Setelah
pulang dari Jakarta, kehidupanku kembali seperti semula. Aku mulai melupakan
Dandi yang hanya menjadi angan-angan bagiku. Nyatanya sampai satu bulan dia
tidak menghubungiku walau dia menyimpan nomorku. Aku sadar bahwa dia hanya
khayalan belaka yang akan merusak mimpi-mimpi indahku.
***
Rabu,
23 Oktober 2015
Tak
terasa beberapa bulan lagi aku akan menghadapi skripsi. Sebelum gila dengan
skripsi, aku ingin menikmati waktu liburanku di kota central seni Jawa.. Aku telah mempersiapkan liburanku dengan matang.
Koper besar kuisi dengan baju santai, baju renang, topi pantai, serta baju yang
aku gunakan untuk meet up dengan
teman-temanku dari Jogja. Tak lupa alat make
up sederhana yang juga masuk dalam koperku. Hotel dan daftar tempat wisata
sudah aku boking sejak seminggu yang
lalu. Sekarang aku sudah siap dengan semuanya. Bersama dengan temanku, Riri,
kami berangkat dari Semarang menggunakan bus patas. Waktu yang ditempuh cukup
empat jam saja. Pukul sebelas siang kami sudah sampai di terminal Gimawang.
Tetapi kami masih harus meneruskan perjalanan ke Hotel yang kami pilih. Rock
Garden Hotel berada di Kabupaten Gunung Kidul. Butuh waktu kira-kira dua jam menggunakan
taksi menuju tempat kami menginap. Tak jauh dari hotel, terdapat surga tersembunyi
yang memikat hati dan menantang nyali. Belum banyak orang yang mengenal pantai
ini karena tempatnya yang tersembunyi dibalik dua bukit karang.
Setiba
kami di hotel, kami memutuskan untuk beristirahat dahulu, setelah itu kami
langsung meluncur menuju Pantai Pok Tunggal. Pukul empat sore kami berangkat
menggunakan mobil yang kami sewa untuk mengantar kami melewati jalan bebatuan
diantara bukit karang sepanjang dua kilometer yang sempit berkelak-kelok dan
agak terjal. Sekejap adrenalin kami berdesir ketika melewati tikungan dengan
karang besar yang menjorok di atas kepala. Lepas dari perjalanan mendebarkan,
sebuah pemandangan cantik terbentang di depan mata. Hamparan pantai pasir putih
dengan ombak biru menjadi penawar lelah setelah melewati perjalanan
mendebarkan.
Kami
segera memasang tenda yang sudah kami persiapkan dari hotel untuk kami bermalam
di sini. Riri sudah siap dengan acara meet
up dengan kekasihnya yang kuliah di Jogja. Aku tak enak hati jika ikut
bergabung bersama mereka, rasanya aku seperti anak kecil yang menguntit orang
tuanya. Kuputuskan untuk berjalan menyusuri lembutnya pasir putih dan ombak yang
menyentuh kakiku. Jejak-jejak yang kuciptakan tak akan bertahan lama karena
ombak yang menerjang dari samudra. Aku sesekali menghindar dari sapuan ombak
dingin sambil menenteng sandal. Setelah aku lelah berkeliling, aku duduk di
gazebo untuk menanti sunset yang aku tunggu-tunggu. Sesaat ingatanku kembali
terbayang tentang kehadiran seseorang yang pernah singgah di hatiku.
Cepat-cepat aku membuang prasangka itu, aku tak ingin mengingatnya lagi. Ini
adalah liburan untuk bersenang-senang.
Tak
lama kemudian, langit semakin jingga, mentari mulai singgah ke peraduan
melukiskan bayang-bayang oranye di tengah laut. Dibawah langit yang semakin
merah aku melihat sebuah siluet hitam di hadapanku menghalangi pemandangan yang
semakin memanjakan mata. Ingin rasanya aku memarahinya, namun aku tidak ingin
merusak moodku.. Aku memilih berjalan
ke tempat lain dan akhirnya aku menemukan pohon yang sepertinya asik untuk
menemaniku yang seorang diri. Aku duduk bersila dibawah naungan pohon itu
sambil kembali menikmati indahnya mentari yang ditelan cakrawala. Sayup-sayup
aku mendengar suara memanggil namaku, suara itu berasal dari samping kanan.
Ternyata seseorang sudah duduk tidak jauh dariku. Aku terkejut setengah mati
setelah sadar siapa yang ada di sampingku. Dia, seseorang yang pernah singgah
dalam hidupku kembali menampakkan wujudnya dihadapanku.
“Lyla,
sudah lama aku tidak melihatmu sejak pertama kali kita bertemu. Aku tidak
menyangka kita akan bertemu saat ini, di tempat ini.”, Dandi membuka percakapan
seraya melemparkan senyum ke hamparan ombak yang menari-nari. Ia meneruskan
kata-katanya, “Kamu tidak berubah, masih seperti dulu. Dari kejauhan aku sudah
tahu bahwa itu kau.”.
“Masih
seperti dulu? Maksudnya? Dari mana kau tahu kalau aku tidak berubah?”, aku
balik bertanya karena tidak paham dengan apa yang diucapkannya.
“Kau
masih seperti dulu, masih menungguku. Aku pun juga masih seperti dulu,
menunggumu.” Ia berhenti sejenak, lalu menghela nafas, “Aku pikir kau akan
berubah, jadi aku berusaha melupakanmu sepulang dari Jakarta. Namun hingga saat
ini aku masih merasakan keberadaanmu di hatiku. Kau masih tersimpan jauh di lubuk
hatiku yang paling dalam, tak akan ada seorangpun yang mampu menggantikan
posisimu. Bagaimanapun perasaanku padamu, tapi takdir berkata sebaliknya. Maafkan
aku, Lyla karena baru sekarang aku berani mengatakannya. Cinta memang tidak
harus saling memiliki. Kau sudah pernah menjadi bagian hidupku saja aku sudah
bahagia. Kau harus menemukan seseorang yang mampu membuatmu tersenyum, karena
aku tidak mungkin bisa. Seseorang telah memilikiku selama kau pergi, Lyla. Setelah
kupikir-pikir mungkin dia memang jodoh yang Tuhan berikan padaku, karena aku
mengira kau sudah dimiliki.”, dia menjelaskan panjang lebar tanpa kuminta. Kalimatnya
bagai petir dan kilat yang menyambar-nyambar di kepalaku.
“Terima
kasih untuk semuanya. Terima kasih karena kau sudah pernah hadir dalam kehidupanku.”,
ucapku sebelum bulir-bulir kristal mengalir dari sudut mataku. Aku tak kuasa
membendung air mata. Aku tidak mau terlihat lemah di depannya. Tanpa berkata
apa-apa lagi, aku berjalan meninggalkan Dandi yang masih duduk termenung. Dia
tidak melarangku atau mengejarku agar tidak pergi, kupikir ini memang sudah
saatnya untuk melupakan Dandi. Terima kasih Tuhan, Engkau tidak membiarkanku mengenal
Dandi dan Engkau tidak membiarkan Dandi mengenalku lebih dekat.
Aku
berjalan menuju tenda yang letaknya lumayan jauh dari pohon itu. Hembusan angin
malam menusuk hingga ke tulang menambah nyeri di dada. Ombak ganas yang
bergulung-gulung hendak menerkam kakiku yang tak kuat lagi berjalan. Aku
terseok-seok ke tepian dan terduduk lemas di gundukan pasir putih yang masih
hangat. Ku tatap langit yang sekarang sudah dihiasi sang bulan. Bintang-bintang
bertebaran menemani bulan yang sendirian. Seakan-akan langit dan bumi menjadi
saksi bisu kisah cinta kita berdua.
Masih
kuingat kata-katanya, “Cinta memang tidak harus saling memiliki. Kau sudah
pernah menjadi bagian hidupku saja aku sudah bahagia.”. Benar apa katanya,
cinta memang tidak harus saling memiliki. “Terima kasih untuk semuanya. Terima
kasih karena kau sudah pernah hadir dalam kehidupanku”.

Lyla
Komentar:
Sungguh,
karya kamu sangat bagus dan membuat Ibu terharu. Cerita pendekmu diketik sesuai
dengan instruksi Ibu. Terima kasih, ya. Semoga kamu bisa membuat cerita pendek
lain yang juga menarik. Ibu rasa kamu bisa mengirimkannya pada media massa. Semangat,
L!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar