Story by: Patricia G
XI-IIS 2
Bella. Seorang gadis
cantik bersuara emas yang sekarang telah lulus SMA dan memutuskan melanjutkan
studinya ke perguruan tinggi favorit di Yogyakarta. Ia memiliki kisah cinta
yang sangat misterius. Berawal dari pertemuannya dengan Bima, cowok humoris dan
multitalent yang berhasil membuatnya jatuh cinta saat ia duduk di bangku SMP.
Saat itu Bella kelas 8A, sedangkan Bima kelas 8B. Ya, kelas mereka
bersebelahan, ditambah Bella ternyata memiliki sahabat yang kebetulan juga
sekelas dengan Bima, yaitu Jessi. Tak heran jika setiap hari, setiap istirahat,
dan setiap pulang sekolah Bella selalu menghampiri Jessi di kelas 8B.
Suatu saat ketika jam
istirahat, Bella masuk ke kelas Jessi untuk mengajaknya ke kantin. Di situ
Jessi ternyata sedang berlatih untuk penilaian seni musik bersama kelompoknya.
Salah satu anggota kelompok Jessi adalah Bima. Bella terkejut sekaligus terpana
melihat Bima dengan jarinya yang lihai memainkan gitar.
“Kamu satu kelompok
sama Bima?” bisik Bella ke telinga Jessi, memastikan.
“Iya.” balas Jessi.
“Nyanyi dong, Bel”
celetuk Jessi tiba-tiba, sambil mendorong Bella.
“Apaan sih, Jess? Ngnggak
mau ah.”
“Ayo..” minta Jessi
memelas.
“Ya udah. Mana
teksnya?” Jessi pun memberikan teks lagunya.
Bella dengan malu-malu
akhirnya bernyanyi. Bella sangat mendalami lagu tersebut hingga tak menyadari
keberadaan sosok Bima yang sedang memperhatikannya. Pujian dari teman-teman
Jessi pun berhamburan, tapi tidak dengan Bima. Bima seperti tak peduli dengan
penampilan yang barusan terjadi, ia cuek dan kembali asyik tertawa-tawa dengan
grupnya.
Sejak kelas 8 Bella
tidak pernah sekalipun berbicara dengan Bima. Jangankan berbicara, berkenalan
secara resmi pun tidak pernah. Perasaannya pada Bima kala itu masih sejauh
mengagumi permainan gitar Bima yang luar biasa. Hingga pada saat kenaikan kelas
9, ia melihat pengumuman kelas barunya. Deg. Jantungnya serasa berpisah dengan
organ lainnya. Bella benar-benar tidak menyangka. Ia mencoba membaca dan
memastikan kembali namanya yang ada di kelas 9D, apakah benar tertera juga nama
Bima disana? Ya, ternyata ia ditakdirkan sekelas dengan Bima. Hatinya sangat
senang dan masih belum percaya. Ia berharap bisa akrab dengan Bima nantinya.
Awal-awal masuk di
kelas 9, wali kelas 9D memutuskan peraturan bahwa setiap dua minggu sekali ada
pergantian tempat duduk serta pasangan dalam sebangku dan di dalam sebangku
harus terisi laki-laki dan perempuan. Penentuan pasangan tersebut melalui
undian.
Sehingga suatu ketika,
di akhir bulan November sudah waktunya untuk berganti tempat duduk. Saat itu,
pengambilan undian diambil oleh anak laki-laki seperti layaknya perempuan
dipilih oleh laki-laki. Giliran Bima untuk mengambil kertas undian lalu ia
membukanya, kertas itu bertuliskan “Bella”. Tak menyangka untuk kedua kalinya.
Mungkin ini akan menjadi awal perkenalan Bella dengan Bima.
Tiba hari pertama Bella
duduk sebangku bersama Bima, ia berpikir Bima telah datang terlebih dahulu,
tapi kenyataannya bangkunya masih kosong. Hingga saat bel berbunyi pun Bima tak
kunjung datang. Pupus harapannya untuk menjadikan hari itu sebagai awal ia
berbicara dengan Bima. Selang tiga menit setelah bel berbunyi tadi, ternyata
sosok Bima yang Bella dambakan akhirnya muncul dengan muka cemas berkeringat akibat berlarian
menghindari keterlambatan. Bima langsung mengambil posisi duduk di sebelah
Bella, dengan tergesa-gesa ia mengeluarkan bukunya dari dalam tas. Bella
diam-diam memperhatikan tingkah Bima yang lucu.
“Eh udah ngerjain pr
ekonomi belum?” tanya Bima mengagetkan. Bella yang tadinya sedang asyik
memperhatikan Bima pun terkejut seperti ketahuan telah mencuri sandal di masjid.
“Mmm, udah.” jawab
Bella kikuk..
“Boleh pinjem?”
“Boleh kok, nih.”
Sambil menyodorkan buku ekonomi miliknya ke Bima.
“Thanks ya.” balas Bima dengan senyum indahnya.
Bima yang ia pikir
sebelumnya adalah cowok cuek ternyata bisa ramah dan sesopan ini padanya. Bella
bergumam dalam hati. Sulit dipercaya. Bella juga banyak mendengar dari
teman-temannya termasuk sahabatnya, Jessi, bahwa Bima adalah sosok yang pandai
melawak. Tapi Bella belum pernah menemui sosok Bima itu. Saat itu juga entah
mengapa Bella ingin tahu bagaimana kemampuan Bima melawak.
Hari-hari berikutnya
Bella mulai akrab dengan Bima. Ia sering bercerita apapun pada Bima, layaknya
ia berbicara dengan Jessi, tanpa malu, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Walau
saat-saat tertentu terlihat dari raut wajah Bima yang bosan dengan cerita
Bella, tapi Bima selalu mencoba menanggapi Bella dengan senyum dan anggukan.
Bella juga telah membuktikan dan hampir setiap hari ia menemui sosok Bima yang
suka melawak atau berceloteh mengeluarkan lelucon dan cukup membuat perut Bella
sakit akibat tertawa berlebihan. Terkadang perselisihan kecil pun terjadi
diantara mereka. Pernah suatu kali, Bella malas sekali berbicara dengan Bima
karena hari sebelumnya Bima dilanda sensi berlebih hingga puncaknya ia marah
besat dan berkata kotor. Bella berniat untuk mendiamkan Bima satu hari penuh.
Belum masuk siang hari saja, Bella tak tahan ingin berbicara dengan Bima. Tapi
pada akhirnya Bima yang memulai pembicaraan.
“Pinjem penghapus dong,
Bell.”
Sial, batin Bella. Ia
pikir Bima akan menanyakan alasannya diam dari tadi.
“Nih.” sahut Bella
ketus, sambil memberikan penghapusnya.
“Sorry soal kemarin, aku tahu aku kelewat batas sampai harus ngomong
begitu. Entah, kemarin aku lagi kesel aja. Aku nggak ada niat untuk nyakitin,
Maaf ya.”
“Iya, biasa aja deh.”
balas Bella lalu memalingkan kepalanya menghindar dari Bima.
“Jadi dari tadi diem terus
itu gara-gara… Hmm dasar alay!.” Bima yang awalnya duduk sekarang sudah
berjongkok di sebelah bawah Bella, bermaksud untuk menatap mata Bella.
“Apaan sih? Udah ah,
minggir. Kamu tuh yang alay! Ew.” ejek
Bella sambil memukul bahu Bima. Bella pun pergi ke toilet menghindar dari Bima
yang barusan menggodanya. Selama perjalanannya ke toilet, Bella senyum-senyum
sendiri memikirkan Bima yang dengan manisnya meminta maaf dan menggodanya tadi.
Mulai saat itu mereka
berdua sering memanggil satu sama lain dengan sebutan “Alay”. Hingga
teman-teman sekelas tahu dan mulai ikut-ikut mengejek Bella dengan sebutan
“Ratu Alay” sedangkan Bima sebagai “Raja Alay”. Tapi anehnya setiap Bella
memanggil dengan sebutan itu pada Bima, ia tak bisa menahan senyumnya. Begitu
sebaliknya Bima. Keduanya mengolok-olok sambil bersenyum-senyuman, dan keduanya
merasakan senyuman yang mereka lontarkan terasa berbeda dari senyuman-senyuman
biasa.
Bella banyak mengerti
tentang Bima. Bima yang memiliki banyak bakat. Mulai dari lihai bermain gitar,
melawak, pintar dalam pelajaran akademik dan berolahraga. Termasuk satu bakat
yang sama dengannya yaitu menyanyi. Bella semakin menyukai Bima, setelah tahu
Bima memiliki suara indah yang cocok untuk bergetar di kedua telinganya. Tak
hanya bakat, Bella pun tahu cita-cita Bima kelak. Dan ini yang membuatnya
dilanda kegalauan sangat besar. Cita-cita Bima adalah menjadi seorang Pastur.
Disitu Bella merasa takut dan belum siap jika suatu saat nanti ia akan berpisah
bahkan akan kehilangan Bima, laki-laki yang mulai ia sayangi. Bukan kehilangan
dirinya tapi kehilangan cintanya. Ia berpikir bahwa Pastur adalah pekerjaan
yang suci, Pastur dilarang menikah, kita sebagai perempuan harus sadar diri
agar tidak menjadi penggoda, batin Bella. Satu fakta yang benar-benar
membuatnya kaget, disaat remaja seusianya mulai berpacaran, Bima tidak ingin
berpacaran dan sebelumnya pun ia tidak pernah berpacaran. Ternyata sama halnya
dengan Bella yang belum pernah berpacaran sama sekali. Betapa lucunya mereka.
Mengerti cita-cita Bima
yang ingin menjadi seorang Pastur, Bella merasa semakin takut kehilangan Bima
maka mulai detik itu ia berusaha untuk selalu dekat dengan Bima, selagi masih
ada waktu, pikirnya. Bima memang secara fisik jauh dari laki-laki di luar sana
yang memiliki kulit putih, badannya berisi, dan tampan seperti artis Hollywood.
Tapi jujur, selama ini hanya Bima yang mengisi relung hati Bella. Bima yang
bisa membuat Bella nyaman ketika ia berada di dekat Bima. Ia berharap pergantian tempat duduk kali ini
wali kelasnya lupa, sehingga ia masih bisa berlama-lama di dekat BimaKarena
berada di dekat Bima, ia merasa sangat nyaman, tak pernah dirasakan Bella sebelumnya
keadaan seperti itu. Harapannya pun terkabul, ia duduk bersama Bima hampir satu
bulan lebih.
Perasaan yang awalnya
hanya sekedar mengaggumi, sekarang menjadi perasaan yang lebih terhadap Bima. Cinta?
Bella pun tak mengerti. Tetapi yang jelas semakin mencintai Bima, Bella akan
semakin merasa kehilangan Bima, Terbukti saat kenaikan kelas ke SMA, Bella dan
Bima tidak satu sekolah lagi. Bella menutupi kesedihannya pada semua orang,
termasuk Jessi. Tapi Jessi mengetahui itu. Oh ya, Jessi satu SMA dengan Bima,
ternyata.
“Aku titip Bima ya,
jangan diapa-apain. Jangan cerita kalo aku nyimpen rasa sama dia.” pinta Bella
pada Jessi.
“Oke siap, Bos!”
“Kenapa kamu nggak ungkapin
rasa itu sekarang? Daripada direbut orang lain. Kamu tahu kan Prisca & Ana
juga suka sama Bima?” lanjut Jessi.
“Aku tahu kok, Jess dan
aku masih belum siap. Karna aku pikir semua ada waktunya, ini terlalu cepet.
Makasih ya sebelumnya.” ucap Bella.
Satu, dua bulan
berlalu. Bella masih berhubungan baik dengan Bima walau tidak secara langsung. liburan
natal saat kelas 10 pun masih ia sempatkan untuk pergi bersama Bima, Jessi, dan
teman-temannya yang lain. Saat itu mereka memutuskan untuk menonton film The
Hobbit. Tak heran jika keadaan bioskopnya sepi, karena film tersebut hampir
dihilangkan jadwal mainnya. Sebelumnya Bella memang belum pernah berpergian
dengan Bima, di dalam bioskop ia kembali duduk bersebelahan. Itu membuatnya teringat
masa-masa saat ia duduk sebangku dulu. Awalnya mereka saling membisu, setelah
film diputar, Bima mulai sedikit berbicara. Bella mengeluarkan sebungkus
camilan dan membaginya dengan teman-temannya, termasuk yang terakhir ia bagikan
ke Bima. Mata mereka bertemu, Bella merasakan darahnya mengalir begitu cepat.
“Makasih ya.” ucap Bima
agak berbisik, setelah mengambil camilan dari dalam bungkus dan memasukannya ke
mulut.
“Iya sama-sama.” balas
Bella.
“Kamu denger suara aneh
nggak? kayak suara dengkuran dari arah sana.” lanjut Bella membuka topik dan
mengarah pada sisi kanan tempat duduknya.
“Mana suaranya? Aku
belum denger apapun dari tadi.” Kata Bima sambil mengerutkan kening.
“Tunggu, coba dengerin
baik-baik, Bim.”
“Oh iya, bener. Ada
yang tidur. Gila banget tuh orang.” kata Bima sambil berdecak, Bella terkekeh
kecil.
“Kamu tahu orangnya
yang lagi tidur, Bell?” tanya Bima. Bella menjawab dengan menggelengkan
kepalanya.
“Tuh orangnya.” sambil menujuk bapak-bapak yang tertidur
mendongak, tempat duduknya berada di bagian kanan dari posisi duduk mereka.
Keduanya tertawa keras hingga membuat bapak tersebut bangun. Itu termasuk ke
dalam kenangannya bersama Bima.
Sekolah Bima bukanlah
sekolah santai seperti sekolah Bella. Jadi wajarlah jika lama-kelamaan,
hubungan mereka mulai mengendur bahkan saat mereka dipertemukan dengan kelas
lamanya, mereka hanya saling membisu. Bulan-bulan berikutnya Bima seperti
menghilang dari kehidupan Bella begitu saja. Apa yang ditakutkan Bella terjadi,
ia mulai kehilangan Bima, kehilangan cintanya. Bella membiasakan hari-harinya
tanpa Bima. Sangat sulit. Ada suatu kala, Bella memiliki niat untuk move on. Ia mencoba menyibukkan diri
dengan mengikuti banyak kegiatan sekolah demi mendapat teman-teman baru yang
mungkin dapat menghiburnya dan membantunya melupakan Bima.
Satu tahun sampai empat
tahun berangsur baik, tanpa Bima. Sampai pada suatu hari, Bella mendapat pesan
dari salah satu temannya yang merupakan teman sekelas Bima saat di SMA. Pesan
itu bertuliskan “Halooo” yang tak lain dan tak bukan itu adalah Bima sendiri.
Ya, Bima yang mengirim. Apakah cintanya akan kembali lagi? Sekian lama Bima
menghilang, Bella berpikir Bima pasti sudah melanjutkan sekolahnya di seminari,
yaitu sekolah yang dikhususkan untuk calon Pastur. Bella hanya bisa berdoa yang
terbaik untuknya dan Bima. Jika Bima ditakdirkan untuk menjadi Pastur, ia
dengan besar hati akan merelakannya, dan jika Bima kelak tidak menjadi Pastur,
Bella berharap semoga cintanya yang hilang akan kembali lagi dengan Bima dan
masih berharap bahwa Bima lah takdirnya.
Komentar:
Oke, bagus! Mengambil
sudut pandang cita-cita yang menarik sekali dan berbeda dari orang kebanyakan.
Kalau bisa ditambah lagi, misal, apa cita-cita si Bella tokoh utama atau apakah
si Bima berhasil menjadi Pastur atau malah beralih profesi. Secara keseluruhan
ceritanya bagus sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar