Pages

Minggu, 18 Oktober 2015

Kembalilah Cinta

Story by: Patricia G
XI-IIS 2

Bella. Seorang gadis cantik bersuara emas yang sekarang telah lulus SMA dan memutuskan melanjutkan studinya ke perguruan tinggi favorit di Yogyakarta. Ia memiliki kisah cinta yang sangat misterius. Berawal dari pertemuannya dengan Bima, cowok humoris dan multitalent yang berhasil membuatnya jatuh cinta saat ia duduk di bangku SMP. Saat itu Bella kelas 8A, sedangkan Bima kelas 8B. Ya, kelas mereka bersebelahan, ditambah Bella ternyata memiliki sahabat yang kebetulan juga sekelas dengan Bima, yaitu Jessi. Tak heran jika setiap hari, setiap istirahat, dan setiap pulang sekolah Bella selalu menghampiri Jessi di kelas 8B.
Suatu saat ketika jam istirahat, Bella masuk ke kelas Jessi untuk mengajaknya ke kantin. Di situ Jessi ternyata sedang berlatih untuk penilaian seni musik bersama kelompoknya. Salah satu anggota kelompok Jessi adalah Bima. Bella terkejut sekaligus terpana melihat Bima dengan jarinya yang lihai memainkan gitar.

“Kamu satu kelompok sama Bima?” bisik Bella ke telinga Jessi, memastikan.
“Iya.” balas Jessi.
“Nyanyi dong, Bel” celetuk Jessi tiba-tiba, sambil mendorong Bella.
“Apaan sih, Jess? Ngnggak mau ah.”
“Ayo..” minta Jessi memelas.
“Ya udah. Mana teksnya?” Jessi pun memberikan teks lagunya.
Bella dengan malu-malu akhirnya bernyanyi. Bella sangat mendalami lagu tersebut hingga tak menyadari keberadaan sosok Bima yang sedang memperhatikannya. Pujian dari teman-teman Jessi pun berhamburan, tapi tidak dengan Bima. Bima seperti tak peduli dengan penampilan yang barusan terjadi, ia cuek dan kembali asyik tertawa-tawa dengan grupnya.
Sejak kelas 8 Bella tidak pernah sekalipun berbicara dengan Bima. Jangankan berbicara, berkenalan secara resmi pun tidak pernah. Perasaannya pada Bima kala itu masih sejauh mengagumi permainan gitar Bima yang luar biasa. Hingga pada saat kenaikan kelas 9, ia melihat pengumuman kelas barunya. Deg. Jantungnya serasa berpisah dengan organ lainnya. Bella benar-benar tidak menyangka. Ia mencoba membaca dan memastikan kembali namanya yang ada di kelas 9D, apakah benar tertera juga nama Bima disana? Ya, ternyata ia ditakdirkan sekelas dengan Bima. Hatinya sangat senang dan masih belum percaya. Ia berharap bisa akrab dengan Bima nantinya.
Awal-awal masuk di kelas 9, wali kelas 9D memutuskan peraturan bahwa setiap dua minggu sekali ada pergantian tempat duduk serta pasangan dalam sebangku dan di dalam sebangku harus terisi laki-laki dan perempuan. Penentuan pasangan tersebut melalui undian.
Sehingga suatu ketika, di akhir bulan November sudah waktunya untuk berganti tempat duduk. Saat itu, pengambilan undian diambil oleh anak laki-laki seperti layaknya perempuan dipilih oleh laki-laki. Giliran Bima untuk mengambil kertas undian lalu ia membukanya, kertas itu bertuliskan “Bella”. Tak menyangka untuk kedua kalinya. Mungkin ini akan menjadi awal perkenalan Bella dengan Bima.
Tiba hari pertama Bella duduk sebangku bersama Bima, ia berpikir Bima telah datang terlebih dahulu, tapi kenyataannya bangkunya masih kosong. Hingga saat bel berbunyi pun Bima tak kunjung datang. Pupus harapannya untuk menjadikan hari itu sebagai awal ia berbicara dengan Bima. Selang tiga menit setelah bel berbunyi tadi, ternyata sosok Bima yang Bella dambakan akhirnya muncul dengan  muka cemas berkeringat akibat berlarian menghindari keterlambatan. Bima langsung mengambil posisi duduk di sebelah Bella, dengan tergesa-gesa ia mengeluarkan bukunya dari dalam tas. Bella diam-diam memperhatikan tingkah Bima yang lucu.
“Eh udah ngerjain pr ekonomi belum?” tanya Bima mengagetkan. Bella yang tadinya sedang asyik memperhatikan Bima pun terkejut seperti ketahuan telah mencuri sandal di masjid.
“Mmm, udah.” jawab Bella kikuk..
“Boleh pinjem?”
“Boleh kok, nih.” Sambil menyodorkan buku ekonomi miliknya ke Bima.
Thanks ya.” balas Bima dengan senyum indahnya.
Bima yang ia pikir sebelumnya adalah cowok cuek ternyata bisa ramah dan sesopan ini padanya. Bella bergumam dalam hati. Sulit dipercaya. Bella juga banyak mendengar dari teman-temannya termasuk sahabatnya, Jessi, bahwa Bima adalah sosok yang pandai melawak. Tapi Bella belum pernah menemui sosok Bima itu. Saat itu juga entah mengapa Bella ingin tahu bagaimana kemampuan Bima melawak.
Hari-hari berikutnya Bella mulai akrab dengan Bima. Ia sering bercerita apapun pada Bima, layaknya ia berbicara dengan Jessi, tanpa malu, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Walau saat-saat tertentu terlihat dari raut wajah Bima yang bosan dengan cerita Bella, tapi Bima selalu mencoba menanggapi Bella dengan senyum dan anggukan. Bella juga telah membuktikan dan hampir setiap hari ia menemui sosok Bima yang suka melawak atau berceloteh mengeluarkan lelucon dan cukup membuat perut Bella sakit akibat tertawa berlebihan. Terkadang perselisihan kecil pun terjadi diantara mereka. Pernah suatu kali, Bella malas sekali berbicara dengan Bima karena hari sebelumnya Bima dilanda sensi berlebih hingga puncaknya ia marah besat dan berkata kotor. Bella berniat untuk mendiamkan Bima satu hari penuh. Belum masuk siang hari saja, Bella tak tahan ingin berbicara dengan Bima. Tapi pada akhirnya Bima yang memulai pembicaraan.
“Pinjem penghapus dong, Bell.”
Sial, batin Bella. Ia pikir Bima akan menanyakan alasannya diam dari tadi.
“Nih.” sahut Bella ketus, sambil memberikan penghapusnya.
Sorry soal kemarin, aku tahu aku kelewat batas sampai harus ngomong begitu. Entah, kemarin aku lagi kesel aja. Aku nggak ada niat untuk nyakitin, Maaf ya.”
“Iya, biasa aja deh.” balas Bella lalu memalingkan kepalanya menghindar dari Bima.
“Jadi dari tadi diem terus itu gara-gara… Hmm dasar alay!.” Bima yang awalnya duduk sekarang sudah berjongkok di sebelah bawah Bella, bermaksud untuk menatap mata Bella.
“Apaan sih? Udah ah, minggir. Kamu tuh yang alay! Ew.” ejek Bella sambil memukul bahu Bima. Bella pun pergi ke toilet menghindar dari Bima yang barusan menggodanya. Selama perjalanannya ke toilet, Bella senyum-senyum sendiri memikirkan Bima yang dengan manisnya meminta maaf dan menggodanya tadi.
Mulai saat itu mereka berdua sering memanggil satu sama lain dengan sebutan “Alay”. Hingga teman-teman sekelas tahu dan mulai ikut-ikut mengejek Bella dengan sebutan “Ratu Alay” sedangkan Bima sebagai “Raja Alay”. Tapi anehnya setiap Bella memanggil dengan sebutan itu pada Bima, ia tak bisa menahan senyumnya. Begitu sebaliknya Bima. Keduanya mengolok-olok sambil bersenyum-senyuman, dan keduanya merasakan senyuman yang mereka lontarkan terasa berbeda dari senyuman-senyuman biasa.
Bella banyak mengerti tentang Bima. Bima yang memiliki banyak bakat. Mulai dari lihai bermain gitar, melawak, pintar dalam pelajaran akademik dan berolahraga. Termasuk satu bakat yang sama dengannya yaitu menyanyi. Bella semakin menyukai Bima, setelah tahu Bima memiliki suara indah yang cocok untuk bergetar di kedua telinganya. Tak hanya bakat, Bella pun tahu cita-cita Bima kelak. Dan ini yang membuatnya dilanda kegalauan sangat besar. Cita-cita Bima adalah menjadi seorang Pastur. Disitu Bella merasa takut dan belum siap jika suatu saat nanti ia akan berpisah bahkan akan kehilangan Bima, laki-laki yang mulai ia sayangi. Bukan kehilangan dirinya tapi kehilangan cintanya. Ia berpikir bahwa Pastur adalah pekerjaan yang suci, Pastur dilarang menikah, kita sebagai perempuan harus sadar diri agar tidak menjadi penggoda, batin Bella. Satu fakta yang benar-benar membuatnya kaget, disaat remaja seusianya mulai berpacaran, Bima tidak ingin berpacaran dan sebelumnya pun ia tidak pernah berpacaran. Ternyata sama halnya dengan Bella yang belum pernah berpacaran sama sekali. Betapa lucunya mereka.
Mengerti cita-cita Bima yang ingin menjadi seorang Pastur, Bella merasa semakin takut kehilangan Bima maka mulai detik itu ia berusaha untuk selalu dekat dengan Bima, selagi masih ada waktu, pikirnya. Bima memang secara fisik jauh dari laki-laki di luar sana yang memiliki kulit putih, badannya berisi, dan tampan seperti artis Hollywood. Tapi jujur, selama ini hanya Bima yang mengisi relung hati Bella. Bima yang bisa membuat Bella nyaman ketika ia berada di dekat Bima.  Ia berharap pergantian tempat duduk kali ini wali kelasnya lupa, sehingga ia masih bisa berlama-lama di dekat BimaKarena berada di dekat Bima, ia merasa sangat nyaman, tak pernah dirasakan Bella sebelumnya keadaan seperti itu. Harapannya pun terkabul, ia duduk bersama Bima hampir satu bulan lebih.
Perasaan yang awalnya hanya sekedar mengaggumi, sekarang menjadi perasaan yang lebih terhadap Bima. Cinta? Bella pun tak mengerti. Tetapi yang jelas semakin mencintai Bima, Bella akan semakin merasa kehilangan Bima, Terbukti saat kenaikan kelas ke SMA, Bella dan Bima tidak satu sekolah lagi. Bella menutupi kesedihannya pada semua orang, termasuk Jessi. Tapi Jessi mengetahui itu. Oh ya, Jessi satu SMA dengan Bima, ternyata.
“Aku titip Bima ya, jangan diapa-apain. Jangan cerita kalo aku nyimpen rasa sama dia.” pinta Bella pada Jessi.
“Oke siap, Bos!”
“Kenapa kamu nggak ungkapin rasa itu sekarang? Daripada direbut orang lain. Kamu tahu kan Prisca & Ana juga suka sama Bima?” lanjut Jessi.
“Aku tahu kok, Jess dan aku masih belum siap. Karna aku pikir semua ada waktunya, ini terlalu cepet. Makasih ya sebelumnya.” ucap Bella.
Satu, dua bulan berlalu. Bella masih berhubungan baik dengan Bima walau tidak secara langsung. liburan natal saat kelas 10 pun masih ia sempatkan untuk pergi bersama Bima, Jessi, dan teman-temannya yang lain. Saat itu mereka memutuskan untuk menonton film The Hobbit. Tak heran jika keadaan bioskopnya sepi, karena film tersebut hampir dihilangkan jadwal mainnya. Sebelumnya Bella memang belum pernah berpergian dengan Bima, di dalam bioskop ia kembali duduk bersebelahan. Itu membuatnya teringat masa-masa saat ia duduk sebangku dulu. Awalnya mereka saling membisu, setelah film diputar, Bima mulai sedikit berbicara. Bella mengeluarkan sebungkus camilan dan membaginya dengan teman-temannya, termasuk yang terakhir ia bagikan ke Bima. Mata mereka bertemu, Bella merasakan darahnya mengalir begitu cepat.
“Makasih ya.” ucap Bima agak berbisik, setelah mengambil camilan dari dalam bungkus dan memasukannya ke mulut.
“Iya sama-sama.” balas Bella.
“Kamu denger suara aneh nggak? kayak suara dengkuran dari arah sana.” lanjut Bella membuka topik dan mengarah pada sisi kanan tempat duduknya.
“Mana suaranya? Aku belum denger apapun dari tadi.” Kata Bima sambil mengerutkan kening.
“Tunggu, coba dengerin baik-baik, Bim.”
“Oh iya, bener. Ada yang tidur. Gila banget tuh orang.” kata Bima sambil berdecak, Bella terkekeh kecil.
“Kamu tahu orangnya yang lagi tidur, Bell?” tanya Bima. Bella menjawab dengan menggelengkan kepalanya.
“Tuh orangnya.”  sambil menujuk bapak-bapak yang tertidur mendongak, tempat duduknya berada di bagian kanan dari posisi duduk mereka. Keduanya tertawa keras hingga membuat bapak tersebut bangun. Itu termasuk ke dalam kenangannya bersama Bima.
Sekolah Bima bukanlah sekolah santai seperti sekolah Bella. Jadi wajarlah jika lama-kelamaan, hubungan mereka mulai mengendur bahkan saat mereka dipertemukan dengan kelas lamanya, mereka hanya saling membisu. Bulan-bulan berikutnya Bima seperti menghilang dari kehidupan Bella begitu saja. Apa yang ditakutkan Bella terjadi, ia mulai kehilangan Bima, kehilangan cintanya. Bella membiasakan hari-harinya tanpa Bima. Sangat sulit. Ada suatu kala, Bella memiliki niat untuk move on. Ia mencoba menyibukkan diri dengan mengikuti banyak kegiatan sekolah demi mendapat teman-teman baru yang mungkin dapat menghiburnya dan membantunya melupakan Bima.
Satu tahun sampai empat tahun berangsur baik, tanpa Bima. Sampai pada suatu hari, Bella mendapat pesan dari salah satu temannya yang merupakan teman sekelas Bima saat di SMA. Pesan itu bertuliskan “Halooo” yang tak lain dan tak bukan itu adalah Bima sendiri. Ya, Bima yang mengirim. Apakah cintanya akan kembali lagi? Sekian lama Bima menghilang, Bella berpikir Bima pasti sudah melanjutkan sekolahnya di seminari, yaitu sekolah yang dikhususkan untuk calon Pastur. Bella hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya dan Bima. Jika Bima ditakdirkan untuk menjadi Pastur, ia dengan besar hati akan merelakannya, dan jika Bima kelak tidak menjadi Pastur, Bella berharap semoga cintanya yang hilang akan kembali lagi dengan Bima dan masih berharap bahwa Bima lah takdirnya.


Komentar:

Oke, bagus! Mengambil sudut pandang cita-cita yang menarik sekali dan berbeda dari orang kebanyakan. Kalau bisa ditambah lagi, misal, apa cita-cita si Bella tokoh utama atau apakah si Bima berhasil menjadi Pastur atau malah beralih profesi. Secara keseluruhan ceritanya bagus sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar