Pages

Minggu, 18 Oktober 2015

Si Miskin Menggapai Cita-cita


Story by: Adies Caesarian 
XI-IIS 1

Pagi yang cerah di halaman sekolah. Kicauan burung yang merdu indah bersaut-sautan, dengan hembusan angin sejuk di pagi hari membuat suasana kian menyenangkan untuk belajar.  Ada hal yang berbeda hari ini, aku merasakan semangat yang luar biasa karena jam pertama ini nanti Bu Endang mengajar Bahasa Indonesia. Aku sangat menyukai beliau karena selain pintar Bu Endang juga baik hati dan asyik untuk diajak berdiskusi.
Dari Bu Endang aku banyak mendapatkan pengalaman berharga. Di tengah arus globalisasi yang menghancurkan moralitas bangsa, Bu Endang selalu mengingatkan kepada murid-muridnya untuk tetap menjaga mental sebagai bangsa timur dengan menghindari sikap individualistis. Generasi saat ini mulai meninggalkan prinsip gotong royong dan tolong menolong. Dari situ aku mempunyai penilaian jika Bu Endang memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan menginginkan murid-muridnya tetap menjadi generasi yang bisa menjaga adat ketimuran

Suasana pagi ini sangat senyap, suara Bu Endang memecahkan kesunyian.
“Anak anak hari ini kita akan membahas tentang cita-cita.” Ucap Bu Endang.
“Tuliskan apa yang kalian cita-citakan beserta  alasan mengapa kalian ingin menjadi seperti itu. Apakah dimengerti?”
            Kami semua mengangguk. Aku mengambil selembar kertas dan menuliskan cita-citaku dan alasanku. Aku ingin menjadi seorang hakim di pengadilan. Alasanku menjadi seorang hakim; pertama, hakim adalah seorang penegak hukum. Kedua, Tuhan memberikan pahala yang besar bagi hakim-hakim yang adil dan bijaksana. Ketiga, hakim mendapat kehormatan yang tinggi di masyarakat. Kendala menjadi hakim di Indonesia pasti tidak ringan, tapi aku tidak peduli bagaimana komentar orang tentang situasi keadilan di negeri ini, aku akan terus berjuang menjadi hakim yang adil.

Cukup sudah aku menulis. Aku membaca lagi tulisanku di secarik kertas putih ini dan tersenyum puas. Insya Allah suatu saat nanti, keinginanku menjadi hakim akan terwujud. Selesai, aku segera mengumpulkan kertas itu pada Bu Endang.

Dua hari berikutnya, bu Endang memasuki kelasku pada jam pelajaran Bahasa Indonesia, beliau membagikan lembaran-lembaran kertas yang berisi cita-cita itu pada kami.
“Astuti.” panggil bu Endang.
Dengan senyum yang lebar, aku berjalan mantap ke arah beliau, dan mengambil secarik kertas milikku. Tapi, betapa terkejutnya aku saat melihat sebuah goresan tinta merah di bawahnya.

“Cita-citamu terlalu tinggi, Astuti. Jangan kamu lupa, kamu anak seorang pemulung, menjadi seorang hakim? Mana mungkin?” aku menelan ludahku sendiri. Wajah guru itu kutatap tajam, guru yang sangat aku hormati. Sebegitunya beliau? Layakkah Pantaskah seorang pendidik merendahkan impian muridnya? Tidak layakkah seorang anak miskin, anak pemulung seperti aku bercita-cita sebagai seorang hakim?

“Pola pikirmu harus dirubah, Astuti! Kamu tumbuh di kampung kumuh di antara orang-orang miskin. Sekolah saja tanpa biaya, mana bisa membayar mahal untuk kuliah hukum?” hardik Bu Endang, sekali lagi ia merendahkanku.

Sontak aku menendang meja di depanku, keras sekali, aku lari menghambur keluar kelas. Aku tidak butuh guru macam itu!
“Suatu hari nanti, lihat saja, aku akan buktikan kalau aku bisa menjadi seorang hakim! Dengan izin Allah, orang miskin seperti aku akan mampu menjadi hakim!”

Memang, aku terlahir di sebuah rumah reyot di tengah-tengah lingkungan kumuh, aku terlahir di antara puluhan puluhan tetangga yang lusuh, bahkan ratusan manusia yang kurang beruntung. Inilah nasib kaum marjinal. Tidak banyak orang peduli dan hanya melihatku dengan sebelah mata.

Pelecehan yang dilakukan orang semacam bu Endang sebetulnya sudah sering kuhadapi, kekecewaan yang menjadi kemarahan di kelas tadi karena aku malu dan kecewa. Kalimat yang menyakitkan keluar dari mulut seseorang yang aku kagumi – ternyata aku salah menilainya.

Ayahku sering berpesan padaku 5 hal untuk mengejar cita-citaku; pertama, lakukan yang terbaik yang aku bisa saat ini dan tidak boleh menunda pekerjaan yang mampu dilakukan; kedua, aku harus sabar karena kesuksesan perlu proses karena tidak ada yang instan di dunia ini; ketiga, percayalah pada kemampuan diri sendiri dan jangan membandingkan apa yang sudah dimiliki orang lain; keempat, jangan berpikir negatif; dan yang kelima, harus selalu fokus pada pada tujuan dan cita cita kita.

Perjalanan manusia tidak pernah sama – aku selalu sadar. Inilah hidupku yang senyatanya kuhadapi sehari-hari. Sepulang sekolah membantu di lapak ayah dan bergelut dengan barang-barang rongsok, sore hari membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah dan malam membantu adik-adik belajar.

Mereka bukan aku, aku tidak seperti mereka. Aku tidak bisa dengan seenaknya minta uang ayah untuk membeli barang-barang yang tidak diperlukan, jalan-jalan ke mal belanja ini dan itu. Kedua orangtuaku hidup dengan segala keterbatasan ekonomi, mengirim anak-anaknya sekolah dengan perjuangan berkeringat dan mengalir air mata. Tapi aku tetap bersyukur memiliki orangtua yang bijaksana dan penuh cinta kasih.
                                          
Komentar bu Endang tentang cita-citaku tadi, aku berjanji akan membayarnya lunas dengan kerja kerasku yang akan menjadikan aku seorang hakim! Tidak ada yang boleh mengejekku! Tidak ada yang boleh merendahkan impianku! Akan aku buat semua orang yang meremehkanku menyesal telah melakukan itu padaku! Aku berjanji!

------- **** ------

Sore ini langit sangat biru cerah mengiring tenggelam mentari yang hangat dan penuh kelembutan. Tetangga sebelahku sedang menerima kunjungan seorang dokter karena ia sakit keras. Aku menjenguknya mewakili ayahku yang sibuk di lapaknya. Ia seorang kakek tua yang baik hati, dalam keterbatasan fisiknya terpancar jiwa yang penuh kedamaian. Namanya Mbah Ridwan, ia dulu sangat kuat dan sering membagi-bagikan makanan pada para tetangga termasuk keluargaku. Kami sangat akrab dengannya.

Mbah Ridwan memiliki 3 orang anak, kabarnya anak-anaknya sangat sukses kehidupannya. Yang pertama laki-laki sekarang menjadi seorang perwira polisi di Jakarta, yang kedua putri menjadi pengajar universitas negeri di Bandung dan yang terakhir menjadi dokter yang praktek di beberapa rumah sakit di kota ini. Aku masih ingat betul dokter yang sedang memeriksa Mbah Ridwan adalah putranya sendiri, kalau tidak salah namanya Om Ahmad.

Setelah selesai memeriksa Mbah Ridwan, dokter Ahmad duduk di ruang tamu tepat berada di depanku. Beliau tersenyum padaku, “Astuti kan? Kamu sekarang sudah besar ya” begitu sapanya ramah. “Iya Om Ahmad” jawabku dan balik bertanya, “Apa kabar Oom? Kok jarang nengok Mbak Ridwan?”
“Iya, aku baru saja pulang dari pengabdian di luar pulau. Aku baru saja kembali setelah mengajukan surat pindah, Alhamdulillah sejak minggu ini aku bisa nunggu bapak yang sedang sakit,” tutur Om Ahmad.

Aku penasaran dengan putra putri Mbah Ridwan yang sangat sukses kehidupannya, aku mencoba bertanya pada Om Ahmad. Beliau memandangku dengan mata yang berkaca dan menceritakan masa kecilnya padaku.

“Kamu pasti ingat, Astuti, kami dulu hidup melarat. Ibu kami meninggal saat kami bertiga masih kecil, Mbah Ridwan adalah tulang punggung keluarga. Beliau pegawai rendahan di kantor pos dan sepulang sekolah kami bertiga berjualan.” ceritanya. “Kedua kakakku berjualan gorengan di depan rumah ini, Alhamdulillah laris sekali. Dan aku membantu Pak Haji depan kampung itu mengantar minyak tanah pesanan para pelanggannya. Kami menabung semua penghasilan untuk biaya sekolah, sedang gaji bapak untuk biaya makan sehari-hari,” tutur Om Ahmad termangu-mangu memandang foto-foto keluarga yang terpampang di dinding rumahnya.

“Bagaimana Om Ahmad dan kedua kakaknya sampai bisa sukses seperti sekarang ini?” tanyaku. “Bapak mengajari kami untuk selalu gigih mengejar cita-cita, tidak boleh cengeng dan putus asa. Kami belajar di malam dan pagi hari dan selalu berdoa. Sampai pada saatnya kami menyelesaikan studi dan sekarang kami bisa membantu bapak,” jelasnya bersungguh-sungguh. Kupikir ini kesempatan yang baik untuk bertanya pada orang sukses seperti Om Ahmad, “Om Ahmad, apa pada saat berjuang mengejar cita-citanya ada pihak-pihak yang melecehkan atau meremehkan?” Beliau memandang mataku dengan tajam, “Astuti..., tidak ada hal yang mudah di dunia ini. Saat kami masih sekolah dan kekurangan biaya, banyak dari keluarga bapak dan ibu tidak mau membantu malah melecehkan,” ungkap Om Ahmad sambil menghela napas dalam-dalam. “Tapi yakinlah Tuhan selalu bersama orang-orang tabah yang senang bekerja!” lanjut beliau.

Jika saja aku tidak malu, pasti aku akan menangis terharu mendengar penuturan Om Ahmad. Dokter muda yang mengawali semuanya dari bawah – minus bahkan. Aku malu terhadap diriku sendiri, mengapa aku harus marah ketika Bu Endang menghinaku di depan kelas. Aku tidak akan sekali-kali marah atau mengeluh jika ada orang yang melecehkan, karena aku punya martabat dan yakin Tuhan akan menolongku.

Insya Allah aku tetap mengejar cita-citaku menjadi hakim penegak keadilan di negeri ini, dan kelak jika berhasil aku akan mencontoh kesederhanaan Mbah Ridwan. Dengan uang kiriman dari putra putrinya, Mbah Ridwan tetap hidup sangat sederhana sampai menolak ajakan putra putrinya untuk pindah ke perumahan real estat mewah. Beliau tetap nyaman hidup di kampung kumuh bersama-sama kami.

Adzan maghrib telah berkumandang, tidak terasa obrolanku dengan Oom Ahmad sudah lebih dari 1 jam. Hari mulai gelap, aku pun pamit dan mencium tangan beliau. Aku berjalan menuju rumah dengan banyak hal di benakku, Om Ahmad membuat aku termotivasi. Sesampai di rumah, aku melihat ayahku duduk bersantai bersama ibu di ruang tamu kecil. Mereka menemani adik-adikku belajar.

Shalat maghrib telah usai kutunaikan, segera aku duduk bersama adik-adikku dan ikut belajar bersama mereka. Dengan senyum penuh kasih, ayah dan ibu menepuk bahuku seraya berkata, “Selamat belajar, Nak!”


------- **** ------

Komentar:
Cerita kamu bagus, Adies. Sarat dengan pesan-pesan kehidupan. Tetapi ini seperti bagian awal saja, dan belum selesai. Menggantung sekali, apakah cita-cita Astuti tercapai atau tidak? Hmm, Ibu rasa kamu perlu menyelesaikannya hingga tuntas dan mengirimkannya ke media, mungkin. Kenapa tidak? Semangat, ya! Terima kasih sudah mengetik dengan rapi :)

1 komentar:

  1. Halo, awal cerita bisa dibilang mirip dengan karya saya yang berjudul "Impian Seorang Gadis Miskin" yang diterbitkan via cerpenmu.com tahun 2015 😊 tapi tidak apa2. Semangat berkarya.

    BalasHapus