Pages

Kamis, 22 Oktober 2015

The Notebook

Story by: Tama Eggy
XI-IIS 1

Apakah kamu pernah berpikir soal takdir? Seolah-olah kamu merasa bahwa kamu harus melakukan sesuatu? Mesipun hal itu terlihat mustahil, atau jauh di luar kebiasaan kita? Aku pernah mengalami kejadian seperti itu. Maukah kamu mendengar kisahku?
20 Desember
Hari ini hari terakhir sekolah sebelum libur Natal. Murid-murid lain sudah pulang, jadi tinggal aku sendiri di kelas. Tadi aku membantu anak-anak OSIS beres-beres lapangan sehabis class meeting. Entah bagaimana aku berhasil dibujuk oleh temanku, Melinda, sang wakil ketua OSIS, untuk membantunya
Nah, balik lagi ke topik yang tadi. Saat itu aku sedang bersiap-siap untuk pulang, ketika aku melihat sebuah buku tulis tergeletak di atas meja.Aku tidak tahu kenapa buku tulis itu dapat menarik perhatianku. Pertama-tama, buku tulis itu hanya sebuah buku tulis murahan yang bisa dibeli di koperasi sekolah dengan harga tiga ribuan. Buku itu dilapisi sampul kertas cokelat polos. Tidak ada apapun di bagian luar buku itu yang dapat memberitahuku siapa pemiliknya.
Karena ingin tahu, kubuka buku itu. Betapa terkejutnya ketika melihat bahwa buku itu ternyata adalah sebuah buku harian. Kenapa ada orang yang meninggalkannya di sini? Kan, salah-salah aibnya bisa bisa ketahuan semua tuh.
Terlintas di benakku untuk membawanya pulang, jadi setidaknya nggak bakalan dibaca sembarang orang. Namun aku tidak merasa terlalu enak dengan pilihan itu, mungkin karena ini barang milik orang itu pribadi dan bukan untuk dilihat orang lain. Lalu terpikir olehku untuk menaruhnya di lemari kelas, setidaknya supaya buku ini aman. Namun si pemilik mungkin akan menghadapi kesulitan dalam menemukannya kembali. Atau lebih parah lagi, bisa-bisa ada orang lain yang mengambilnya. Pada akhirnya, kuputuskan untuk membawanya pulang. Entah kenapa…

23 Desember
Di rumah lagi sibuk, sesibuk-sibuknya. Mama dan Papa sedang pontang-panting menyiapkan hadiah-hadiah Natal. Lisa, Kakakku, sedang sibuk menyiapkan kue-kue kering untuk keluarga dan teman-temannya (tapi, kurasa yang terbaik nanti dia kasih buat pacarnya). Adik kembarku, Toni, sedang sibuk latihan gitar di kamarnya buat mengisi acara keluarga di Bandung nanti. Aku juga nggak ketinggalan sibuk. Aku ditugaskan untuk membuat kartu-kartu ucapan untuk semua anggota keluarga yang akan hadir di Bandung. Lumayan, lah, buat buang-buang waktu.
Saat itu, aku sedang membuat sebuah kartu untuk saudaraku yang datang  jauh-jauh dari Cina, ketika pandanganku jatuh pada buku tulis yang kutemukan tiga hari yang lalu.
Sejak menemukannya, aku belum pernah membukanya lagi. Mungkin karena aku sedang sibuk, dan juga karena aku merasa nggak enak sama pemiliknya. Tapi saat ini, aku tidak dapat menghentikan rasa ingin tahuku. Pada akhirnya, aku meletakkan pensilku dan membuka buku itu sekali lagi. Di halaman pertama terdapat sebuah paragraf yang ditulis dengan rapi.
28/9/xxxx
Halo,
Sebaiknya aku memperkenalkan diriku, cuma nggak seperti akan ada orang lain yang membaca buku ini selain aku, jadi nggak usah, saja. Aku nulis buku harian ini gara-gara disuruh sama Pak Eko. Katanya ini untuk membantuku melepas stres. Memangnya orang tua sok itu tahu apa? Memangnya dia tahu rasanya dianggap tidak ada? Memangnya dia pernah diabaikan hingga orang lain sampai lupa bahwa dia ada di ruangan yang sama dengan mereka sejak awal? Dia bilang dia tahu apa yang kurasakan, tapi menurutku itu hanya kebohongan belaka. Dia tidak tahu apa-apa.
Sebaiknya aku berhenti di sini untuk sekarang. Entah kapan lagi aku akan menulis lagi.

Yah, itu sangat informatif. Belum-belum sudah ngomel. Hm… kalau nggak salah, Pak Eko itu guru BK di sekolah. Kalau sama dia, mungkin aku bisa sedikit mengerti kenapa dia marah-marah begini. Jarang ada orang yang datang ke Pak Eko, kecuali kalau lagi jam pelajaran BK. Kira-kira siapa  ya  yang ketemu sama dia?
Setelah kulihat-lihat, hanya ada tujuh halaman yang terisi, sisanya masih kosong. Sepertinya anak ini jarang nulis.
Kututup buku itu dan meletakannya dengan rapi  dan tersembunyi di rak bukuku. Halaman-halaman yang lain akan kubaca lain kali saja. Untuk sekarang, sebaiknya aku selesaikan tugas yang sudah ada.
27 Desember
Beberapa hari ini aku sibuk sekali. Biasa, lah, pergi ke rumah para saudara. Dan tambah lagi pesta keluarga. Kemarin baru saja pulang dari Bandung.
Bisa dibilang acara hari itu sukses besar. Mama dan Papa berhasil menyelesaikan belanja natal tepat waktu, dan segunung hadiah yang terbungkus dengan rapi telah berada di bawah pohon Natal nenekku di Bandung. Berlusin-lusin kue kering yang lezat telah dibuat oleh kakak, namun dia salah hitung, jadi jumlahnya kebanyakan. Aku juga berhasil membuat seluruh kartu ucapan dengan baik, meskipun aku harus membuat hampir dua ratus kartu ucapan, tapi aku berhasil dengan bantuan Toni. Nah, ngomong-ngomong soal Toni… yah, pertunjukannya lumayan. Kalau ada yang mendengarnya. Seluruh orang seolah-olah tidak tahu dia ada di atas panggung. Tapi itu sudah biasa, entah kenapa.
Nah, karena sekarang aku sudah nggak dikejar-kejar deadline, aku jadi bingung mau ngapain.Semua orang di rumah seolah-olah sudah sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Papa lagi nongkrong di depan TV paling nggak lagi nonton siaran ulang pertandingan sepak bola. Mama lagi pergi bareng teman-teman kerjanya  katanya pada ke kafe yang baru buka di dekat kantor. Kakak lagi ke rumah teman paling-paling mau ketemuan sama pacarnya. Si Toni lagi ngurung diri di kamar seperti biasa entah apa yang dia lakukan di dalam situ, dia nggak mau kasih tahu.
Bisa dibilang, hari ini aku sangat bosan.Padanganku lalu jatuh pada rak bukuku. Di antara buku-buku cetakku, terselip buku harian misterius itu. Yah, aku juga nggak ada kerjaan, jadi nggak ada salahnya aku membacanya, kan?
Kali ini bukan bukan tulisan, melainkan sebuah gambar yang memenuhi halaman ini. Gambar ini cukup bagus, meskipun tidak terlalu rapi. Gambar itu dibuat dengan sebuah pensil dan sepertinya terlihat seperti bangunan sekolahku. Namun, ada bentuk-bentuk hitam yang keliaran di depannya. Mungkin itu orang?
Lalu aku membuka halaman selanjutnya. Halaman ini juga ada gambarnya. Kali ini adalah sebuah gambar sekumpulan bunga lilip. Tidak seperti gambar sebelumnya, gambar ini diberi warna  latar belakangnya diberi warna hijau dan mahkota bunganya diberi warna oranye kemerah-merahan.
Sepertinya si pemilik buku ini pintar menggambar.Di halaman selanjutnya tidak ada sebuah gambar, melainkan sebuah paragraf seperti di halaman pertama.



13/11/xxxx
Hari ini Putra mendorongku jatuh dari tangga. Kita tadi bertengkar sebelumnya, tapi nggak harus mendorong segala, kan? Kayaknya aku salah jatuh, soalnya pergelangan tanganku sakit. Apakah dia membenciku? Padahal dia satu-satunya temanku. Satu-satunya alasan aku masih bisa bangun pagi dan menghadapi hari itu. Kalau dia membenciku…  Apa yang akan kulakukan?
Aku nggak percaya dengan apa yang barusan kubaca. Putra salah satu teman baikku. Setahuku, dia orang yang konyol, kekanak-kanakan, dan meskipun dia sedikit menjengkelkan, dia adalah orang yang baik. Rasanya untuk membayangkannya mendorong seseorang hingga jatuh dari tangga hampir mustahil. Dan soal Putra menjadi satu-satunya teman si penulis ini, mungkin itu sedikit terlalu ekstrem. Dia pasti punya teman-teman lain?
Sebelum aku sempat mebuka halaman selanjutnya, Papa memanggilku untuk menyuruh Toni keluar dari kamarnya buat makan siang.
Kukembalikan buku harian itu ke tempat persembunyiannya yang semula dan melangkah keluar kamar. Kamar Toni berada tepatdi seberang kamarku, namun dia jarang sekali keluar. Satu-satunya cara untuk mengeluarkannya adalah jika aku yang memanggilnya.
“Hoi, bego! Waktunya makan siang tau!” Kusahut sambil mengetuk pintunya dengan keras.
Mungkin kamu berpikir aku berkelakuan sedikit kasar terhadap kemabrku ini. Namun, kamu nggak usah khawatir atau salah sangka. Saling kata-kataan seperti ini sudah biasa di antara aku dan dia. Paling nggak, dia bakal balas.
“Berisik, kampret!” Balasnya sembari keluar dari kamar. Tuh, apa kubilang?
“Selamat datang kembali dari alam baka, Toni.” Kataku dengan bercanda.
“Ayo, Papa sudah susah-susah nyiapin makan siang, kamu sudah lapar, kan?”
“Ya, perutku sudah keroncongan, nih.” Jawabnya.
“Ya sudah, ayo!” Sahutku dangan gembira. “Yang kalah harus cuci piring!”
Dan dengan itu, aku langsung berlari menuju ruang makan. Aku mendengar Toni menyahut sesuatu, sebelum dia mengejarku. Pada akhirnya, kita berdua dimarahi oleh Papa gara-gara kita lari-larian di dalam rumah.



31 Desember
Hah… Beberapa hari ini sibuk sekali. Aku menghabiskan tiga hari berturut-turut di rumah temanku buat mengerjakan PR yang segunung. Huh, dasar guru-guru. Ngasih PR-nya banyak amat. Yah, gara-gara itu, aku belum sempat membaca buku itu.
Namun, PR-ku sudah selesai semua dan aku bisa menghabiskan sedikit waktu membaca kelanjutan buku itu.
Di halaman selanjutnya terdapat terdapat sebuah paragraf lagi.
21/11/xxxx
Aku tidak tahan dengan semua ini. Ingin rasanya aku  mengakhiri semuanya. Aku sudah mulai melukai diriku. Di ruang kerja Papaku ada sebuah silet. Dia punya banyak, jadi mungkin dia tidak akan sadar jika salah satunya hilang. Ketika mengiris lenganku, rasanya pedih, tapi juga enak. Rasanya enak ketika aku mengubah rasa sakit mental menjadi rasa sakit fisik. Pantas saja banyak orang melakukannya. Ada sedikit darah yang jatuh ke karpet. Mudah-mudahan nggak ada yang sadar.
Tulisan kali ini membuatku merinding. Sampai-sampai ada orang yang menyukai rasa sakit, aku tidak bisa membayangkannya. Ya ampun, ini seperti di film atau novel saja.
Dengan tangan yang sedikit gemetaran, kubuka halaman selanjutnya. Di halaman ini terdapat sebuah gambar yang membuatku sangat tidak nyaman. Di gambar itu terdapat bayangan seseorang. Tinta warna merah mengalir dari wajahnya bagaikan air mata dan di lengannya terdapat banyak goresan warna merah. Di sekelilingnya terdapat boneka-boneka voodoo yang tergantung dari langit-langit, seolah-olah mereka baru saja melakukan bunuh diri massal.
Dengan perasaan tidak enak, kubuka halaman selanjutnya. Di situ hanya tertulis sebuah kalimat. Tanpa tanggal. Tanpa penjelasan apapun. Bukti hitam di atas putih yang membuatku takut.
Sudah kuputuskan untuk mengakhirinya, saat yang lama berakhir, dan yang baru terlahir.
Hanya satu kalimat itu membuatku merinding.Bagaimana tidak? Aku baru saja membaca keputusan seseorang yang kemungkinan besar akan bunuh diri. Tapi apa yang dapat kulakukan? Aku saja nggak tahu buku ini milik siapa! Tunggu dulu… apa yang telah kupelajari dari buku ini?

Oke… Kalau dilihat-lihat, orang ini mungkin sering diabaikan, atau setidaknya merasa kesepian, dia pernah ke ruangan Pak Eko, dia dapat menggambar dengan cukup bagus, ayahnya memiliki banyak silet (entah kenapa…), dan dia pernah didorong jatuh dari tangga oleh Putra.
Hm… Kalau dia sering diabaikan, sudah pasti tidak banyak yang memperhatikannya, jadi kalau melihat dar situ, susah untuk menggunakan petunjuk ini dan juga yang berhubungan dengan Pak Eko. Kalau soal dia ‘bisa menggamabar dengan cukup bagus’, tidak terlalu berguna bagiku. ‘Ayahnya mempunyai banyak silet’ juga tidak terlalu berguna. Paling nggak satu-satunya cara yang terpikirkan olehku adalah menelepon Putra dan menanyakannya soal siapa yang dia dorong jatuh dari tangga bulan lalu…
Lalu ada juga masalah soal kapan orang ini akan bunuh diri. Di ‘saat yang lama berakhir’ dan ‘yang baru terlahir’. Apa maksudnya itu?Saat aku lagi berpikir dengan keras, kudengar suara petasan dari luar. Hah? Petasan? Kulihat jam dinding di kamarku. Jarumnya menunjukkan pukul enam sore. Bukannya ini masih terlalu pagi buat masang petasan… tahun… baru…!
Ya ampun! Orang ini mau bunuh diri pas tahun baru! Bagaimana ini?!
Cepat-cepat kurampas HP-ku dan menelepon Putra. Waktu seolah-olah berjalan lama sekali sebelum akhirnya orang itu mengangkat HP-nya.
“Hai, Rin, ada apa? Tumben, nih, nelpon.” Sapanya dengan nada bercanda biasanya.
“Put, aku perlu tahu siapa yang kamu dorong jatuh dari tangga bulan lalu.” Kutanya dia.
“Hah? Buat apa kamu nanya yang begituan?”
“Nggak usah banyak nogmong, deh! Cepetan kasih tahu!”
“Iya, iya… dasar, nggak sabaran amat, sih.”
“Putra!”
“Oke, nggak usah teriak, kali. Kalau nggak salah, sih, kembaranmu itu.”
Eh?
“A-apa…?”
“Iya, kalau nggak salah waktu itu kita lagi berantem soal apa, gitu, terus nggak sengaja aku dorong dia jatuh dari tangga. Cuma dia udah lari duluan sebelum aku sempat menolongnya. Kenapa?”
Emosiku mulai memuncak. Rasa ketidakberdayaan dan penyesalan membuatku marah dan frustrasi. “Kenapa? KENAPA?! GARA-GARA KAMU, TONI MAU BUNUH DIRI HARI INI, TAHU?!”
Aku tidak menunggu jawabannya sebelum aku memutuskan sambungan. Aku sudah sedikit mencurigai kalau-kalau ini buku hariannya Toni, namun aku menganggapnya hanya sebagai rasa paranoia yang tidak beralasan. Namun sekarang, aku sungguh-sungguh berharap bahwa spekulasi yang kubuat memang salah dan dia kembarku itu sedang berada di dalam kamarnya seperti biasa.
Seharusnya aku bisa melihatnya dari tadi. Tulisan tangan itu tulisan tangan Toni. Meskipun dia jarang menunjukkannya, namun Toni juga lebih ahli dalam soal menggambar dibanding aku. Toni hampir selalu tanpa sengaja dilupakan, dan dia hampir selalu bersama dengan Putra. Tambah lagi Papa juga punya ruang kerja dan ada siletnya yang hilang di saat sekitar tulisan yang kelima itu. Tolol banget aku!
Kucoba untuk membuka pintu kamarnya. Dan perasaanku tambah tidak enak ketika kulihat bahwa pintu yang biasa dia kunci, dapat dibuka dengan gampang olehku. Namun aku mencoba untuk tetap optimis. Mungkin saja dia lupa menguncinya? Bahkan aku tahu itu argumen yang sangat, sangat buruk.
Di kamar Toni, tidak terlihat ada orang lain selain aku di sini. Kucari-cari ke segala penjuru kamar, namun tetap saja aku tidak menemukannya. Lalu kulihat ke karpet di bawah kakiku. Dan kulihat sebuah noda merah. Sebuah noda darah.
Cepat-cepat kuberlari keluar kamar. Di ruang depan, kulihat Papa sedang nonton TV.
“Pa, tadi lihat nggak si Toni?” Kutanya dia.
“Hm? Toni? Kalau nggak salah dia bilang mau ke rumah Putra. Kenapa?” Kata Papa.
“HP-nya ketinggalan!” Sahutku dengan cepat sembari berlari keluar rumah.
Kudengar Papa menyahut namaku, namun aku tidak menghiraukannya. Aku harus cepat-cepat ke rumah Putra.
Saat sampai, kuketuk pintu depannya dengan buru-buru. Beberapa saat kemudian, ibu Putra menyambutku.
“Oh, Rina, sudah lama kamu nggak ke sini. Ada apa?” Tanyanya.
“Putra ada nggak, tante?”

“Putra, ya… Kalau nggak salah dia ke rumahnya Steven. Kenapa?” Jawabnya.
“Nggak ada apa-apa, kok, tante. Terimakasih, ya.” Dan dengan begitu, kucepat-cepat berlari. Ke mana, aku tidak tahu. Yang penting aku bisa menemukan Toni.
Tiba-tiba, HP-ku berbunyi. Saat kulihat, ternyata si Putra yang menelepon. Kuangkat telepon itu dengan tergesa-gesa.
“Ada apa, Put?” Kutanyanya.
“Rin, kamu sudah nemu dia belum?”
“Belum. Kamu?”
“Aku tadi dapat kabar dari Michel kalau dia lihat Toni jalan kaki di depan rumahnya.”
“Di depan rumah Michel? Seingatku rumah Michel yang paling dekat dengan sekolah. Jangan-jangan, dia mau ke sana?!”
Ku lihat-lihat daerah di sekelilingku. Aduh… Kenapa sih, aku tinggal di daerah yang jauh sekali sama sekolah, sih?! Kalau dari sini, aku baru sampai di sekolah dua jam lagi! Tambah lagi jalanan lagi sepi. Sialan benar, takdir!
“Put, sepertinya Toni mau ke sekolah.” Kataku.
“Ke sekolah? Ngapain?”
“Pikir! Sekolah kita itu titik tertinggi di daerah ini. Tambah lagi ada pintu ke atap. Kamu ingat, kan, salah satu pagar di situ ada yang rusak. Terus malam ini mau ada pesta tahun baru, kan?” Kujelaskan.
“Eh?! Kamu pikir dia bakalan-?!”
“Ada kemungkinan besar.”
“Oke, nanti ketemuan di sana.”
“Oke.”
Setelah itu, kututup pembicaraan dan melihat jam di HP-ku. Pukul setengah sembilan. Mudah-mudahan aku masih ada cukup waktu.
Pukul 11:30
Akhirnya aku sampai di sekolah. Tempat parkir ramai dengan orang yang berlalu-lalang menyiapkan kembang api. Dan pasti ada lebih banyak orang lagi yang berada di dalam gedungnya. Bagaimana mereka bisa membujuk kepala sekolah untuk melakukan ini, mungkin akan tetap menjadi misteri bagiku.
Sekolahku termasuk sekolah yang cukup besar. Oke, aku ulangi. Sekolahku sangat besar. Ada lapangan parkir yang luas, lapangan OR yang luas, ada aula, dan gedung utamanya memiliki enam lantai, termasuk atap. Yang terakhir itulah yang menjadi tujuan utamaku.
Tanpa banyak pikir, aku berlari melewati kesibukan dan pesta dan menaiki tangga secepat yang kubisa. Kenapa sih ini sekolah harus tinggi sekali!
Saat aku akhirnya sampai di pintu atap, aku sudah kehabisan napas. Aku sudah menghabiskan sepuluh menit sendiri naik tangga sialan ini! Ketika aku mau membuka pintu atap, aku menemukannya sudah terkunci. Ya ampun, jangan-jangan Toni sudah ada di situ! Aku mulai panik dan menggebrak pintu, mencoba untuk memaksanya terbuka. Sialan! Ini pintu dari apaan, sih! Susah banget membukanya! Aku lalu mencoba mencari-cari di sekeliling. Mungkin saja aku bisa menemukan sesuatu yang bisa kupakai.
Pandanganku jatuh pada sebuah kunci yang digantung di dekat sebuah pilar penyangga. Tempatnya cukup tersembunyi sehingga aku tidak melihatnya dari tangga, maupun dekat pintu. Pasti ini kunci cadangannya! Cepat-cepat kuambil dan kubuka pintunya. Yap! Pintu berhasil terbuka! Kulihat jamku. Gawat, tinggal lima menit lagi! Harus cepat-cepat! Kubuka pintunya dan melangkah ke atas atap. Angin kencang bermain-main dengan rambutku dan aku menggigil sedikit. Waktu keluar rumah aku cuma memakai kaos biasa, celana pendek, sandal jepit, dan sebuah jaket tipis. Sangat tidak cocok untuk udara malam dingin seperti ini.
“Hai, Rina.” Kudengar suara adikku itu. Saat kulihat, dia sudah ada di sisi lain atap, di dekat pagar yang rusak. Saat kulihat dia, aku hampir tidak mengenalinya. Biasanya Toni adalah anak yang cukup pendiam dan selalu gugup ketika berbicara. Tapi sekarang, dia terlihat sangat tenang, seolah-olah dia sudah tidak memiliki beban apapun lagi. Dia sudah seperti orang lain saja. Dan hal itu membuatku takut. “Toni…” Aku tidak tahu harus bicara apa lagi kepadanya.
“Malam ini cukup cerah, ya. Bulannya besar sekali.” Katanya dengan nada tenangnya yang membuatku merinding.
“Toni, di sini dingin sekali. Gimana kalau kita balik lagi ke dalam? Ada banyak makanan, loh.” Bujukku, “Kamu pasti lapar, kan? Orang, kamu nggak makan malam.”
Tapi Toni seolah tidak menghiraukanku. “Kamu tahu? Kamu sering bilang kalau aku harus lebih berani. Mungkin ini saatnya, ya?”
Tidak. Tidak, ini tidak mungkin terjadi.
Dari bawah terdengar sorakan gembira dari orang-orang yang telah berkumpul.
“Lima!” Sorak mereka. Pikiranku sudah mulai kosong.
“Empat!” Teriak mereka dengan girang. Toni sudah mulai melangkah mendekati ujung atap.
“Tiga!” Mereka makin histeris saja. Aku mulai melangkah maju.
“Dua!” Aku sudah mulai berlari.
“Satu!” Kudengar kata-kata terakhirnya.
“Bilang pada Mama dan Papa kalau aku minta maaf, ya.” Itulah yang diucapkannya sebelum dia menjatuhkan diri.
Kucoba untuk menggapainya, namun ini bukan film atau novel. Tentu saja aku tidak dapat menggapainya tepat waktu. Tentu saja dia jatuh. Tentu saja orang-orang di bawah panik. Inilah kenyataan pahit.
Aku tidak merasakan apapun. Aku tidak merasakan ketika Putra datang dan menarikku dari ujung atap. Aku tidak merasakan ketika polis dan ambulans datang. Aku tidak merasakan ketika Mama datang dan memelukku dengan erat. Aku tidak merasakan ketika Papa mencoba menghiburku. Aku tidak merasakan ketika polisi mencoba untuk menginterogasiku. Aku bahkan tidak merasakan air mata yang tumpah bagai air terjun dari mataku.
Yang ada di benakku hanyalah satu kata…
“Bego…”


Komentar:
Satu kata saja: keren! Dari paragraf awal, kamu berhasil 'membujuk' pembaca untuk terus mengikuti ceritamu sampai akhir. Dan kamu benar-benar pintar untuk menghadirkan konflik secara bertahap. Seru sekali! Mungkin kamu bisa menulis cerita misteri, atau horror, karena feel-nya dapat. Siapa tahu kamu bisa seperti Agatha Christie atau Conan Doyle. Good job, Tama! Oh iya, mungkin yang perlu diperbaiki adalah judulnya. Seperti judul film, dan orang bisa mengira kalau ceritamu biasa sekali, padahal luar biasa!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar