Story by: Tama Eggy
XI-IIS 1
Apakah
kamu pernah berpikir soal takdir? Seolah-olah kamu merasa bahwa kamu harus
melakukan sesuatu? Mesipun hal itu terlihat mustahil, atau jauh di luar
kebiasaan kita? Aku pernah mengalami kejadian seperti itu. Maukah kamu
mendengar kisahku?
20
Desember
Hari
ini hari terakhir sekolah sebelum libur Natal. Murid-murid lain sudah pulang,
jadi tinggal aku sendiri di kelas. Tadi aku membantu anak-anak OSIS beres-beres
lapangan sehabis class meeting. Entah bagaimana aku berhasil
dibujuk oleh temanku, Melinda, sang wakil ketua OSIS, untuk membantunya
Nah,
balik lagi ke topik yang tadi. Saat itu aku sedang bersiap-siap untuk pulang,
ketika aku melihat sebuah buku tulis tergeletak di atas meja.Aku tidak tahu
kenapa buku tulis itu dapat menarik perhatianku. Pertama-tama, buku tulis itu
hanya sebuah buku tulis murahan yang bisa dibeli di koperasi sekolah dengan
harga tiga ribuan. Buku itu dilapisi sampul kertas cokelat polos. Tidak ada
apapun di bagian luar buku itu yang dapat memberitahuku siapa pemiliknya.
Karena
ingin tahu, kubuka buku itu. Betapa terkejutnya ketika melihat bahwa buku itu
ternyata adalah sebuah buku harian. Kenapa ada orang yang meninggalkannya di
sini? Kan, salah-salah aibnya bisa bisa ketahuan semua tuh.
Terlintas
di benakku untuk membawanya pulang, jadi setidaknya nggak bakalan dibaca
sembarang orang. Namun aku tidak merasa terlalu enak dengan pilihan itu,
mungkin karena ini barang milik orang itu pribadi dan bukan untuk dilihat orang
lain. Lalu terpikir olehku untuk menaruhnya di lemari kelas, setidaknya supaya
buku ini aman. Namun si pemilik mungkin akan menghadapi kesulitan dalam
menemukannya kembali. Atau lebih parah lagi, bisa-bisa ada orang lain yang
mengambilnya. Pada akhirnya, kuputuskan untuk membawanya pulang. Entah kenapa…
23
Desember
Di
rumah lagi sibuk, sesibuk-sibuknya. Mama dan Papa sedang pontang-panting
menyiapkan hadiah-hadiah Natal. Lisa, Kakakku, sedang sibuk menyiapkan kue-kue
kering untuk keluarga dan teman-temannya (tapi, kurasa yang terbaik nanti dia
kasih buat pacarnya). Adik kembarku, Toni, sedang sibuk latihan gitar di
kamarnya buat mengisi acara keluarga di Bandung nanti. Aku juga nggak
ketinggalan sibuk. Aku ditugaskan untuk membuat kartu-kartu ucapan untuk semua
anggota keluarga yang akan hadir di Bandung. Lumayan, lah, buat buang-buang
waktu.
Saat
itu, aku sedang membuat sebuah kartu untuk saudaraku yang datang jauh-jauh dari Cina, ketika pandanganku jatuh
pada buku tulis yang kutemukan tiga hari yang lalu.
Sejak
menemukannya, aku belum pernah membukanya lagi. Mungkin karena aku sedang
sibuk, dan juga karena aku merasa nggak enak sama pemiliknya. Tapi saat ini,
aku tidak dapat menghentikan rasa ingin tahuku. Pada akhirnya, aku meletakkan
pensilku dan membuka buku itu sekali lagi. Di halaman pertama terdapat sebuah
paragraf yang ditulis dengan rapi.
28/9/xxxx
Halo,
Sebaiknya
aku memperkenalkan diriku, cuma nggak seperti akan ada orang lain yang membaca
buku ini selain aku, jadi nggak usah, saja. Aku nulis buku harian ini gara-gara
disuruh sama Pak Eko. Katanya ini untuk membantuku melepas stres. Memangnya
orang tua sok itu tahu apa? Memangnya dia tahu rasanya dianggap tidak ada?
Memangnya dia pernah diabaikan hingga orang lain sampai lupa bahwa dia ada di
ruangan yang sama dengan mereka sejak awal? Dia bilang dia tahu apa yang
kurasakan, tapi menurutku itu hanya kebohongan belaka. Dia tidak tahu apa-apa.
Sebaiknya
aku berhenti di sini untuk sekarang. Entah kapan lagi aku akan menulis lagi.
Yah,
itu sangat informatif. Belum-belum sudah ngomel. Hm… kalau nggak
salah, Pak Eko itu guru BK di sekolah. Kalau sama dia, mungkin aku bisa sedikit
mengerti kenapa dia marah-marah begini. Jarang ada orang yang datang ke Pak
Eko, kecuali kalau lagi jam pelajaran BK. Kira-kira siapa ya yang ketemu sama dia?
Setelah
kulihat-lihat, hanya ada tujuh halaman yang terisi, sisanya masih kosong. Sepertinya
anak ini jarang nulis.
Kututup
buku itu dan meletakannya dengan rapi dan tersembunyi di rak bukuku. Halaman-halaman
yang lain akan kubaca lain kali saja. Untuk sekarang, sebaiknya aku selesaikan
tugas yang sudah ada.
27
Desember
Beberapa
hari ini aku sibuk sekali. Biasa, lah, pergi ke rumah para saudara. Dan tambah
lagi pesta keluarga. Kemarin baru saja pulang dari Bandung.
Bisa
dibilang acara hari itu sukses besar. Mama dan Papa berhasil menyelesaikan
belanja natal tepat waktu, dan segunung hadiah yang terbungkus dengan rapi
telah berada di bawah pohon Natal nenekku di Bandung. Berlusin-lusin kue kering
yang lezat telah dibuat oleh kakak, namun dia salah hitung, jadi jumlahnya
kebanyakan. Aku juga berhasil membuat seluruh kartu ucapan dengan baik,
meskipun aku harus membuat hampir dua ratus kartu ucapan, tapi aku berhasil
dengan bantuan Toni. Nah, ngomong-ngomong soal Toni… yah, pertunjukannya
lumayan. Kalau ada yang mendengarnya. Seluruh orang seolah-olah tidak tahu dia
ada di atas panggung. Tapi itu sudah biasa, entah kenapa.
Nah,
karena sekarang aku sudah nggak dikejar-kejar deadline, aku jadi
bingung mau ngapain.Semua orang di rumah seolah-olah sudah sibuk dengan urusan
mereka masing-masing. Papa lagi nongkrong di depan TV paling nggak lagi nonton
siaran ulang pertandingan sepak bola. Mama lagi pergi bareng teman-teman
kerjanya katanya pada ke kafe yang baru
buka di dekat kantor. Kakak lagi ke rumah teman paling-paling mau ketemuan sama
pacarnya. Si Toni lagi ngurung diri di kamar seperti biasa entah apa yang dia
lakukan di dalam situ, dia nggak mau kasih tahu.
Bisa
dibilang, hari ini aku sangat bosan.Padanganku lalu jatuh pada rak bukuku. Di
antara buku-buku cetakku, terselip buku harian misterius itu. Yah, aku juga
nggak ada kerjaan, jadi nggak ada salahnya aku membacanya, kan?
Kali
ini bukan bukan tulisan, melainkan sebuah gambar yang memenuhi halaman ini.
Gambar ini cukup bagus, meskipun tidak terlalu rapi. Gambar itu dibuat dengan
sebuah pensil dan sepertinya terlihat seperti bangunan sekolahku. Namun, ada
bentuk-bentuk hitam yang keliaran di depannya. Mungkin itu orang?
Lalu
aku membuka halaman selanjutnya. Halaman ini juga ada gambarnya. Kali ini
adalah sebuah gambar sekumpulan bunga lilip. Tidak seperti gambar sebelumnya,
gambar ini diberi warna latar belakangnya
diberi warna hijau dan mahkota bunganya diberi warna oranye kemerah-merahan.
Sepertinya
si pemilik buku ini pintar menggambar.Di halaman selanjutnya tidak ada sebuah
gambar, melainkan sebuah paragraf seperti di halaman pertama.
13/11/xxxx
Hari
ini Putra mendorongku jatuh dari tangga. Kita tadi bertengkar sebelumnya, tapi
nggak harus mendorong segala, kan? Kayaknya aku salah jatuh, soalnya
pergelangan tanganku sakit. Apakah dia membenciku? Padahal dia satu-satunya
temanku. Satu-satunya alasan aku masih bisa bangun pagi dan menghadapi hari
itu. Kalau dia membenciku… Apa yang akan
kulakukan?
Aku
nggak percaya dengan apa yang barusan kubaca. Putra salah satu teman baikku.
Setahuku, dia orang yang konyol, kekanak-kanakan, dan meskipun dia sedikit
menjengkelkan, dia adalah orang yang baik. Rasanya untuk membayangkannya
mendorong seseorang hingga jatuh dari tangga hampir mustahil. Dan soal Putra
menjadi satu-satunya teman si penulis ini, mungkin itu sedikit terlalu ekstrem.
Dia pasti punya teman-teman lain?
Sebelum
aku sempat mebuka halaman selanjutnya, Papa memanggilku untuk menyuruh Toni
keluar dari kamarnya buat makan siang.
Kukembalikan
buku harian itu ke tempat persembunyiannya yang semula dan melangkah keluar
kamar. Kamar Toni berada tepatdi seberang kamarku, namun dia jarang sekali
keluar. Satu-satunya cara untuk mengeluarkannya adalah jika aku yang memanggilnya.
“Hoi,
bego! Waktunya makan siang tau!” Kusahut sambil mengetuk pintunya dengan keras.
Mungkin
kamu berpikir aku berkelakuan sedikit kasar terhadap kemabrku ini. Namun, kamu
nggak usah khawatir atau salah sangka. Saling kata-kataan seperti ini sudah biasa
di antara aku dan dia. Paling nggak, dia bakal balas.
“Berisik,
kampret!” Balasnya sembari keluar dari kamar. Tuh, apa kubilang?
“Selamat
datang kembali dari alam baka, Toni.” Kataku dengan bercanda.
“Ayo,
Papa sudah susah-susah nyiapin makan siang, kamu sudah lapar, kan?”
“Ya,
perutku sudah keroncongan, nih.” Jawabnya.
“Ya
sudah, ayo!” Sahutku dangan gembira. “Yang kalah harus cuci piring!”
Dan
dengan itu, aku langsung berlari menuju ruang makan. Aku mendengar Toni
menyahut sesuatu, sebelum dia mengejarku. Pada akhirnya, kita berdua dimarahi
oleh Papa gara-gara kita lari-larian di dalam rumah.
31
Desember
Hah…
Beberapa hari ini sibuk sekali. Aku menghabiskan tiga hari berturut-turut di
rumah temanku buat mengerjakan PR yang segunung. Huh, dasar guru-guru. Ngasih
PR-nya banyak amat. Yah, gara-gara itu, aku belum sempat membaca buku itu.
Namun,
PR-ku sudah selesai semua dan aku bisa menghabiskan sedikit waktu membaca
kelanjutan buku itu.
Di
halaman selanjutnya terdapat terdapat sebuah paragraf lagi.
21/11/xxxx
Aku
tidak tahan dengan semua ini. Ingin rasanya aku mengakhiri semuanya.
Aku sudah mulai melukai diriku. Di ruang kerja Papaku ada sebuah silet. Dia
punya banyak, jadi mungkin dia tidak akan sadar jika salah satunya hilang.
Ketika mengiris lenganku, rasanya pedih, tapi juga enak. Rasanya enak ketika
aku mengubah rasa sakit mental menjadi rasa sakit fisik. Pantas saja banyak
orang melakukannya. Ada sedikit darah yang jatuh ke karpet. Mudah-mudahan nggak
ada yang sadar.
Tulisan
kali ini membuatku merinding. Sampai-sampai ada orang yang menyukai rasa
sakit, aku tidak bisa membayangkannya. Ya ampun, ini seperti di film atau novel
saja.
Dengan
tangan yang sedikit gemetaran, kubuka halaman selanjutnya. Di halaman ini
terdapat sebuah gambar yang membuatku sangat tidak nyaman. Di gambar itu
terdapat bayangan seseorang. Tinta warna merah mengalir dari wajahnya bagaikan
air mata dan di lengannya terdapat banyak goresan warna merah. Di sekelilingnya
terdapat boneka-boneka voodoo yang tergantung dari langit-langit, seolah-olah
mereka baru saja melakukan bunuh diri massal.
Dengan
perasaan tidak enak, kubuka halaman selanjutnya. Di situ hanya tertulis sebuah
kalimat. Tanpa tanggal. Tanpa penjelasan apapun. Bukti hitam di atas putih yang
membuatku takut.
Sudah
kuputuskan untuk mengakhirinya, saat yang lama berakhir, dan yang baru
terlahir.
Hanya
satu kalimat itu membuatku merinding.Bagaimana tidak? Aku baru saja membaca
keputusan seseorang yang kemungkinan besar akan bunuh diri. Tapi apa yang dapat
kulakukan? Aku saja nggak tahu buku ini milik siapa! Tunggu dulu… apa yang
telah kupelajari dari buku ini?
Oke…
Kalau dilihat-lihat, orang ini mungkin sering diabaikan, atau setidaknya merasa
kesepian, dia pernah ke ruangan Pak Eko, dia dapat menggambar dengan cukup
bagus, ayahnya memiliki banyak silet (entah kenapa…), dan dia pernah didorong
jatuh dari tangga oleh Putra.
Hm…
Kalau dia sering diabaikan, sudah pasti tidak banyak yang memperhatikannya,
jadi kalau melihat dar situ, susah untuk menggunakan petunjuk ini dan juga yang
berhubungan dengan Pak Eko. Kalau soal dia ‘bisa menggamabar dengan cukup
bagus’, tidak terlalu berguna bagiku. ‘Ayahnya mempunyai banyak silet’ juga
tidak terlalu berguna. Paling nggak satu-satunya cara yang terpikirkan olehku
adalah menelepon Putra dan menanyakannya soal siapa yang dia dorong jatuh dari
tangga bulan lalu…
Lalu
ada juga masalah soal kapan orang ini akan bunuh diri. Di ‘saat yang lama
berakhir’ dan ‘yang baru terlahir’. Apa maksudnya itu?Saat aku lagi berpikir
dengan keras, kudengar suara petasan dari luar. Hah? Petasan? Kulihat jam
dinding di kamarku. Jarumnya menunjukkan pukul enam sore. Bukannya ini masih
terlalu pagi buat masang petasan… tahun… baru…!
Ya
ampun! Orang ini mau bunuh diri pas tahun baru! Bagaimana ini?!
Cepat-cepat
kurampas HP-ku dan menelepon Putra. Waktu seolah-olah berjalan lama sekali
sebelum akhirnya orang itu mengangkat HP-nya.
“Hai,
Rin, ada apa? Tumben, nih, nelpon.” Sapanya dengan nada
bercanda biasanya.
“Put,
aku perlu tahu siapa yang kamu dorong jatuh dari tangga bulan lalu.” Kutanya
dia.
“Hah?
Buat apa kamu nanya yang begituan?”
“Nggak
usah banyak nogmong, deh! Cepetan kasih tahu!”
“Iya,
iya… dasar, nggak sabaran amat, sih.”
“Putra!”
“Oke,
nggak usah teriak, kali. Kalau nggak salah, sih, kembaranmu itu.”
Eh?
“A-apa…?”
“Iya,
kalau nggak salah waktu itu kita lagi berantem soal apa, gitu, terus nggak
sengaja aku dorong dia jatuh dari tangga. Cuma dia udah lari duluan sebelum aku
sempat menolongnya. Kenapa?”
Emosiku
mulai memuncak. Rasa ketidakberdayaan dan penyesalan membuatku marah dan
frustrasi. “Kenapa? KENAPA?! GARA-GARA KAMU, TONI MAU BUNUH DIRI HARI INI,
TAHU?!”
Aku
tidak menunggu jawabannya sebelum aku memutuskan sambungan. Aku sudah sedikit mencurigai
kalau-kalau ini buku hariannya Toni, namun aku menganggapnya hanya sebagai rasa
paranoia yang tidak beralasan. Namun sekarang, aku sungguh-sungguh berharap
bahwa spekulasi yang kubuat memang salah dan dia kembarku itu sedang berada di
dalam kamarnya seperti biasa.
Seharusnya
aku bisa melihatnya dari tadi. Tulisan tangan itu tulisan tangan Toni. Meskipun
dia jarang menunjukkannya, namun Toni juga lebih ahli dalam soal menggambar
dibanding aku. Toni hampir selalu tanpa sengaja dilupakan, dan dia hampir
selalu bersama dengan Putra. Tambah lagi Papa juga punya ruang kerja dan ada
siletnya yang hilang di saat sekitar tulisan yang kelima itu. Tolol banget aku!
Kucoba
untuk membuka pintu kamarnya. Dan perasaanku tambah tidak enak ketika kulihat
bahwa pintu yang biasa dia kunci, dapat dibuka dengan gampang olehku. Namun aku
mencoba untuk tetap optimis. Mungkin saja dia lupa menguncinya? Bahkan aku tahu
itu argumen yang sangat, sangat buruk.
Di
kamar Toni, tidak terlihat ada orang lain selain aku di sini. Kucari-cari ke
segala penjuru kamar, namun tetap saja aku tidak menemukannya. Lalu kulihat ke
karpet di bawah kakiku. Dan kulihat sebuah noda merah. Sebuah noda darah.
Cepat-cepat
kuberlari keluar kamar. Di ruang depan, kulihat Papa sedang nonton TV.
“Pa,
tadi lihat nggak si Toni?” Kutanya dia.
“Hm?
Toni? Kalau nggak salah dia bilang mau ke rumah Putra. Kenapa?” Kata Papa.
“HP-nya
ketinggalan!” Sahutku dengan cepat sembari berlari keluar rumah.
Kudengar
Papa menyahut namaku, namun aku tidak menghiraukannya. Aku harus cepat-cepat ke
rumah Putra.
Saat
sampai, kuketuk pintu depannya dengan buru-buru. Beberapa saat kemudian, ibu
Putra menyambutku.
“Oh,
Rina, sudah lama kamu nggak ke sini. Ada apa?” Tanyanya.
“Putra
ada nggak, tante?”
“Putra,
ya… Kalau nggak salah dia ke rumahnya Steven. Kenapa?” Jawabnya.
“Nggak
ada apa-apa, kok, tante. Terimakasih, ya.” Dan dengan begitu, kucepat-cepat
berlari. Ke mana, aku tidak tahu. Yang penting aku bisa menemukan Toni.
Tiba-tiba,
HP-ku berbunyi. Saat kulihat, ternyata si Putra yang menelepon. Kuangkat
telepon itu dengan tergesa-gesa.
“Ada
apa, Put?” Kutanyanya.
“Rin, kamu sudah nemu dia belum?”
“Belum.
Kamu?”
“Aku tadi dapat kabar dari Michel kalau dia lihat
Toni jalan kaki di depan rumahnya.”
“Di
depan rumah Michel? Seingatku rumah Michel yang paling dekat dengan sekolah.
Jangan-jangan, dia mau ke sana?!”
Ku
lihat-lihat daerah di sekelilingku. Aduh… Kenapa sih, aku tinggal di daerah
yang jauh sekali sama sekolah, sih?! Kalau dari sini, aku baru sampai di
sekolah dua jam lagi! Tambah lagi jalanan lagi sepi. Sialan benar, takdir!
“Put,
sepertinya Toni mau ke sekolah.” Kataku.
“Ke sekolah? Ngapain?”
“Pikir!
Sekolah kita itu titik tertinggi di daerah ini. Tambah lagi ada pintu ke atap.
Kamu ingat, kan, salah satu pagar di situ ada yang rusak. Terus malam ini mau
ada pesta tahun baru, kan?” Kujelaskan.
“Eh?! Kamu pikir dia bakalan-?!”
“Ada
kemungkinan besar.”
“Oke, nanti ketemuan di sana.”
“Oke.”
Setelah
itu, kututup pembicaraan dan melihat jam di HP-ku. Pukul setengah sembilan.
Mudah-mudahan aku masih ada cukup waktu.
Pukul
11:30
Akhirnya
aku sampai di sekolah. Tempat parkir ramai dengan orang yang berlalu-lalang
menyiapkan kembang api. Dan pasti ada lebih banyak orang lagi yang berada di
dalam gedungnya. Bagaimana mereka bisa membujuk kepala sekolah untuk melakukan
ini, mungkin akan tetap menjadi misteri bagiku.
Sekolahku
termasuk sekolah yang cukup besar. Oke, aku ulangi. Sekolahku sangat besar. Ada
lapangan parkir yang luas, lapangan OR yang luas, ada aula, dan gedung utamanya
memiliki enam lantai, termasuk atap. Yang terakhir itulah yang menjadi tujuan
utamaku.
Tanpa
banyak pikir, aku berlari melewati kesibukan dan pesta dan menaiki tangga secepat
yang kubisa. Kenapa sih ini sekolah harus tinggi sekali!
Saat
aku akhirnya sampai di pintu atap, aku sudah kehabisan napas. Aku sudah
menghabiskan sepuluh menit sendiri naik tangga sialan ini! Ketika aku mau
membuka pintu atap, aku menemukannya sudah terkunci. Ya ampun, jangan-jangan
Toni sudah ada di situ! Aku mulai panik dan menggebrak pintu, mencoba untuk
memaksanya terbuka. Sialan! Ini pintu dari apaan, sih! Susah banget membukanya!
Aku lalu mencoba mencari-cari di sekeliling. Mungkin saja aku bisa menemukan
sesuatu yang bisa kupakai.
Pandanganku
jatuh pada sebuah kunci yang digantung di dekat sebuah pilar penyangga.
Tempatnya cukup tersembunyi sehingga aku tidak melihatnya dari tangga, maupun
dekat pintu. Pasti ini kunci cadangannya! Cepat-cepat kuambil dan kubuka
pintunya. Yap! Pintu berhasil terbuka! Kulihat jamku. Gawat, tinggal lima menit
lagi! Harus cepat-cepat! Kubuka pintunya dan melangkah ke atas atap. Angin
kencang bermain-main dengan rambutku dan aku menggigil sedikit. Waktu keluar
rumah aku cuma memakai kaos biasa, celana pendek, sandal jepit, dan sebuah
jaket tipis. Sangat tidak cocok untuk udara malam dingin seperti ini.
“Hai,
Rina.” Kudengar suara adikku itu. Saat kulihat, dia sudah ada di sisi lain
atap, di dekat pagar yang rusak. Saat kulihat dia, aku hampir tidak
mengenalinya. Biasanya Toni adalah anak yang cukup pendiam dan selalu gugup
ketika berbicara. Tapi sekarang, dia terlihat sangat tenang, seolah-olah dia
sudah tidak memiliki beban apapun lagi. Dia sudah seperti orang lain saja. Dan
hal itu membuatku takut. “Toni…” Aku tidak tahu harus bicara apa lagi
kepadanya.
“Malam
ini cukup cerah, ya. Bulannya besar sekali.” Katanya dengan nada tenangnya yang
membuatku merinding.
“Toni,
di sini dingin sekali. Gimana kalau kita balik lagi ke dalam? Ada banyak
makanan, loh.” Bujukku, “Kamu pasti lapar, kan? Orang, kamu nggak makan malam.”
Tapi
Toni seolah tidak menghiraukanku. “Kamu tahu? Kamu sering bilang kalau aku
harus lebih berani. Mungkin ini saatnya, ya?”
Tidak.
Tidak, ini tidak mungkin terjadi.
Dari
bawah terdengar sorakan gembira dari orang-orang yang telah berkumpul.
“Lima!” Sorak
mereka. Pikiranku sudah mulai kosong.
“Empat!” Teriak
mereka dengan girang. Toni sudah mulai melangkah mendekati ujung atap.
“Tiga!” Mereka
makin histeris saja. Aku mulai melangkah maju.
“Dua!” Aku
sudah mulai berlari.
“Satu!” Kudengar
kata-kata terakhirnya.
“Bilang
pada Mama dan Papa kalau aku minta maaf, ya.” Itulah yang diucapkannya sebelum
dia menjatuhkan diri.
Kucoba
untuk menggapainya, namun ini bukan film atau novel. Tentu saja aku tidak dapat
menggapainya tepat waktu. Tentu saja dia jatuh. Tentu saja orang-orang di bawah
panik. Inilah kenyataan pahit.
Aku
tidak merasakan apapun. Aku tidak merasakan ketika Putra datang dan menarikku
dari ujung atap. Aku tidak merasakan ketika polis dan ambulans datang. Aku
tidak merasakan ketika Mama datang dan memelukku dengan erat. Aku tidak
merasakan ketika Papa mencoba menghiburku. Aku tidak merasakan ketika polisi
mencoba untuk menginterogasiku. Aku bahkan tidak merasakan air mata yang tumpah
bagai air terjun dari mataku.
Yang
ada di benakku hanyalah satu kata…
“Bego…”
Komentar:
Satu kata saja: keren! Dari paragraf awal, kamu berhasil 'membujuk' pembaca untuk terus mengikuti ceritamu sampai akhir. Dan kamu benar-benar pintar untuk menghadirkan konflik secara bertahap. Seru sekali! Mungkin kamu bisa menulis cerita misteri, atau horror, karena feel-nya dapat. Siapa tahu kamu bisa seperti Agatha Christie atau Conan Doyle. Good job, Tama! Oh iya, mungkin yang perlu diperbaiki adalah judulnya. Seperti judul film, dan orang bisa mengira kalau ceritamu biasa sekali, padahal luar biasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar