Pages

Minggu, 18 Oktober 2015

Mencontek Wudhu

Story by: Luthfiandita W
XI-IIS 1

Biasanya di sinetron-sinetron mainstream Indonesia, ada scene terbentur kepala terlebih dahulu sebelum ingatan melayang. Kepalaku masih ditempatnya, utuh, dan baik-baik saja, lalu kenapa urutan ibadah itu bisa terlupa?
Bermula seminggu yang lalu. Aku baru pulang dari lapangan bola, baju yang penuh lumpur membuat ibu murka.
“Mengucek baju kotormu itu butuh waktu seharian, bikin capek saja!” omel ibu sambil terus menggoreng lauk makan malam di wajan panas.
“Kalau sudah wudhu, cepat sholat. Tinggal setengah jam lagi masuk waktu sholat maghrib. Sudah SMA kelas 3, kalo main masih saja seenaknya!”
“Wudhu?” dahiku mengkerut, sambil memasang tampang bodoh.
“Iya...wudhu. Kalau tidak wudhu mana bisa sah sholatmu itu, sudah dilakukan bertahun-tahun masih saja tanya!”
Sebelum ada omelan susulan, aku bergegas melangkah pergi. Bukan untuk wudhu, tapi untuk menghindari omelan ibu.
“Wudhu? Memang wudhu itu apa?” Sudah 15 menit berjuang untuk mengobrak-abrik Short Term Memory lalu merecall Long Term Memory, tapi gagal mengingat. Kibarkan bendera putih. Menyerah. Akhirnya kuputuskan sholat tanpa berwudhu.

Adzan maghrib bergema. Setelah membuntuti apa yang dilakukan Bapak sebelum sholat, baru sedikit paham kalau ternyata wudhu itu semacam mengalirkan air untuk mencuci bagaian tubuh tertentu, tapi masih tidak ingat juga bagaimana urutannya.
*****
Sekarang tiga hari sudah berlalu, ingatan ini tak berkembang juga. Untuk berwudhu aku harus punya contekan, kalau tidak ada orang yang bisa dicontek, kertas kecil tata cara wudhu jadi andalan. Sudah kucoba tuk menghapal, tapi otak selalu menolaknya untuk mengingat. Rasanya seperti menulis di pantai, segera tergulung ombak dan terhapus seketika. Sekarang baru ku tahu jasat yang ditolak bumi lebih masuk akal daripada tata cara wudhu yang ditolak memori.
Tidak masalah sebenarnya, tapi terkadang malu saja kalah pintar dengan anak TK.
“Mas Yono Oon, enggak tau tata cara wudhu,” ejek mereka dengan suara cekikak-cekikik.
Tak bisa kubalas ejekan itu kecuali dengan senyuman. Kenapa harus marah? Toh mereka benar.
*****
Subuh-subuh, ketika aku baru saja membuka contekan urutan wudhu, terdengar suara derap kaki banyak sandal melewati depan rumah. Mereka begitu berisik, berbicara tak jelas, diselingi jerit hiteris, menangis sambil memanggil nama Tuhan. Desaku yang biasanya masih senyap itu mendadak gempar. Ada penemuan mayat wanita berusia 53 tahun, sudah membusuk dimakan belatung di kebun yang tak jauh dari lapangan bola tempatku biasa bermain. Setelah dikabari kalau wanita malang itu adalah Mbok Mirah, aku langsung berlari kencang sambil menumpahkan butiran air mata di pipi. Sesak rasanya. Mbok Mirah adalah tetangga yang biasa dititipi untuk mengasuhku kalau ibu berbelanja di pasar. Dia satu-satunya yang mau menyumbangkan ASI-nya, karena air susu ibuku tidak bisa langsung keluar.
 “Mundur....tidak ada yang boleh masuk!” bentak polisi begitu aku mencoba untuk menerobos police line yang sudah mengitari tempat mayat Mbok Mirah ditemukan.
Jantungku berpacu seolah ingin menjebol tulang rusuk, kedua kaki yang seperti tanpa tulang membuat lemas. Jasat Mbok Mirah sungguh mengenaskan, wajah membiru, lidah menjulur, bola mata mencuat hampir saja terlepas. Bekas jeratan masih terlihat jelas dilehernya.
“Kejam! Siapa yang membunuh Mbok Mirah?!” kukerahkan seluruh tenaga untuk berteriak di tengah isak, tapi tak ada yang peduli, tak ada yang menjawab.
*****
Sudah empat hari sejak kejadian, bayangan jasad Mbok Mirah tak pernah bisa hilang. Sungguh tak nyaman. Anehnya urutan wudhu yang mati-matian ku hafal masih saja menolak menempel di ingatanku.
Asik memikirkan segala hal, sejenak terdengar suara gaduh diluar. Aku bergegas menghampiri. Terlihat ibu berurai air mata dalam dekapan bapak yang wajahnya tampak kacau. Ada sekitar tujuh polisi berhadapan dengan mereka. Salah seorang polisi melihatku, dia memberikan aba-aba, lalu membrogol, menggeret lalu memasukkan ku ke mobil polisi.
*****
“Kau masih tak ingat?” tanya Psikiater yang sudah tiga bulan ini bolak-balik ke penjara untuk menanyai segudang pertanyaan yang selalu kujawab dengan gelengan. Ini kali ke enam aku ditempatkan di ruangan berdinding kaca yang sempit, gelap, untuk ditanyai. Mereka menyebutnya ruang investigasi. Psikiater itu sibuk menulis di tumpukan kertas dokumennya.
“Apa itu Hysterical Amnesia?” tanyaku terbata membaca kalimat yang baru saja di tulis Psikiater itu.
“Semacam lupa karena psikologis”
“Seperti apa?”
“Trauma akibat kejahatan seksual atau seperti ketika kamu melakukan sebuah kejahatan lalu karena merasa bersalah yang teramat sangat kamu mengunci ingatanmu.”
“Siapa? Aku?” tanyaku.
Psikiater itu hanya tersenyum, tapi wajah penuh prihatinnya tak berhasil disembunyikan dengan baik.
*****
Dua minggu sudah aku di tetapkan sebagai tersangka tunggal pembunuhan Mbok Mirah. Pembunuhan Mbok Mirah bersamaan dengan hilangnya ingatan wudhu di memoriku. Ada lima saksi yang menguatkan. Mereka melihatku berada di sekitar TKP. Kesaksian  itu di perkuat dengan pernyataan anak Mbok Mirah yang dulu jatah ASI-nya kukurangi. Dia mengatakan bahwa aku terlibat pertengkaran sebelum Mbok Mirah menghilang. Aku tak tau kejadian itu benar atau salah.
Ketika diintrogasi diriku hanya bisa bungkam, tak mengelak juga tak membenarkan. Tak punya alibi dan parahnya tak punya ingatan apapun tentang kejadian itu. Semua kesaksian, hari yang bertepatan dengan hilangnya ingatanku.
Semua bukti menyudutkan, kondisi psikis yang tertekan akhirnya menggiring opiniku untuk menuduh diriku sendiri sebagai pelaku pembunuhan Mbok Mirah.
“Ya....mungkin memang diriku pelakunya.”
*****
“Aku yang membunuh Mbok Mirah,” kataku datar.
Orang yang menginvestigasi menganga mendengarnya, tapi tak menanyai lebih lanjut. Mereka mengira ingatanku sudah kembali. Padahal cara membunuh yang tertulis di buku terakhir investigasi itu, kucomot dari novel serial Omen karya Lexie Xu. Biarlah...jengah sudah. Biar urusan cepat selesai.
*****
Keesokan harinya aku dibawa ke TKP untuk reka ulang. Puluhan atau mungkin ratusan orang berkerumun. Mereka bergunjing tak percaya, mencemooh bahkan mencaci-maki diriku.  Tapi tak kulihat wajah Ibu dan Bapak disana. Rinduku sudah menggunung pada mereka. Hanya ku lihat anak Mbok Mirah  yang meludahi mukaku, berdiri diantara kerumunan itu.
*****
“Dari mana?” tanya polisi bersenjata yang tadi mengawal.
Reflek kutunjuk sungai dangkal yang berada di samping TKP.
“Kamu tak menyebut sungai ini sebelumnya,” kata polisi tanpa melarangku turun ke sungai.
Airnya hanya setinggi pahaku. Begitu air membasahi tangan, tiba – tiba ada perasaan aneh menyeruak, bulir – bulir keringat bermunculan, badan gemetar hebat. Rombongan memori di kepala meronta keluar. Terbaca. Aku teringat sesuatu.
“A... Aku bukan pelakunya,” suaraku bergetar, sambil menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.
Sibuk mengingat bayangan ingatan yang berjalan kilat seperti film yang dipercepat.
“Apa?” tanya polisi heran.
“BUKAN AKU PELAKUNYA! LEPASKAN AKU!”
Kutendang dua polisi yang ikut menceburkan diri, lalu berlari membelah sungai.
Baru dua meter berlari, desingan peluru menyapa telingaku. Orang – orang berteriak histeris. Nyeri di punggungku merambat keseluruh tubuh. Aliran sungai berubah merah. Tenaga habis. Kecipak kaki berubah menjadi suara dentuman keras di sungai yang beriak. Tubuhku ambruk. Setengah sadar, samar – samar kulihat polisi menggotongku. Nafas tersengal, tapi otakku berusaha terus memutar ingatan yang sempat kabur itu.
Mbok Mirah yang malang. Kenapa bisa anak tunggal kesayanganmu itu menjerat lehermu dengan tali hanya karna tak kau turuti kemauannya untuk membeli motor baru? Ketika aku hendak berwudhu di sungai setelah seharian mencari umpan ikan, aku jelas melihat dia menjeratmu dengan tali pengikat kambing yang dibawanya. Maaf Mbok... Kalau saja saat itu tubuhku tak seketika kaku, suara tak tercekat. Kalau saja bisa menghindar ketika anak yang kurang ajar itu menghantam badanku dengan balok kayu dan membawa diriku yang tak sadar ke lapangan bola, mungkin nyawamu masih bisa terselamatkan.
Kenapa juga aku trauma segala dan mengunci ingatan itu dalam – dalam. Malah, yang kuingat hanyalah tertidur di lapangan bola yang sama sekali tak berguna? Dada semakin sesak, air mataku mengalir.
“Ah... Mbok Mirah, kau mengunjungiku?” Mulutku bergerak, tapi tak ada suara terdengar dari sana.
Tak peduli diriku dengan teriakan panik polisi, aku sudah terbuai dengan Mbok Mirah yang terlihat begitu cantik saat itu. Mbok Mirah tersenyum, mengajakku ke arah yang ditunjuknya. Sambil terus bergandengan tangan dengan Mbok Mirah, kupamerkan kemampuan, “Membasuh kedua telapak tangan, membersihkan mulut dan lubang hidung 3 kali, mengusap kepala 3 kali, membersihkan telinga 3 kali, membersihkan kaki 3 kali lalu berdoa,” Celotehku riang.
Ingatanku kembali seutuhnya. Mbok Mirah mengusap kepalaku, aku tersenyum bangga, sambil meninggalkan jasad dibawah sana.

(Semarang, 23 September 2015)

Komentar:

Dari ketiga cerita yang kamu kirimkan, inilah cerita yang paling Ibu suka. Anti-mainstream, dan kalau sedikit diolah lagi, cerita ini layak dibaca orang banyak. Bagus, Vie! Oh, bukan berarti ceritamu yang lain tidak bagus. Sama bagusnya, dan kamu pintar merangkai kata-kata. Ibu seperti kembali ke masa SMA yang penuh dengan masa-masa bahagia. Oh iya, komentar cerita yang lain di tempat yang berbeda, ya. Semangat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar