Story by: Luthfiandita W
XI-IIS 1
Biasanya di sinetron-sinetron mainstream
Indonesia, ada scene terbentur kepala terlebih dahulu sebelum ingatan melayang.
Kepalaku masih ditempatnya, utuh, dan baik-baik saja, lalu kenapa urutan ibadah
itu bisa terlupa?
Bermula seminggu yang lalu. Aku baru
pulang dari lapangan bola, baju yang penuh lumpur membuat ibu murka.
“Mengucek baju kotormu itu butuh waktu
seharian, bikin capek saja!” omel ibu sambil terus menggoreng lauk makan malam
di wajan panas.
“Kalau sudah wudhu, cepat sholat.
Tinggal setengah jam lagi masuk waktu sholat maghrib. Sudah SMA kelas 3, kalo
main masih saja seenaknya!”
“Wudhu?” dahiku mengkerut, sambil
memasang tampang bodoh.
“Iya...wudhu. Kalau tidak wudhu mana
bisa sah sholatmu itu, sudah dilakukan bertahun-tahun masih saja tanya!”
Sebelum ada omelan susulan, aku bergegas
melangkah pergi. Bukan untuk wudhu, tapi untuk menghindari omelan ibu.
“Wudhu? Memang wudhu itu apa?” Sudah 15
menit berjuang untuk mengobrak-abrik Short
Term Memory lalu merecall Long Term
Memory, tapi gagal mengingat. Kibarkan bendera putih. Menyerah. Akhirnya
kuputuskan sholat tanpa berwudhu.
Adzan maghrib bergema. Setelah
membuntuti apa yang dilakukan Bapak sebelum sholat, baru sedikit paham kalau
ternyata wudhu itu semacam mengalirkan air untuk mencuci bagaian tubuh
tertentu, tapi masih tidak ingat juga bagaimana urutannya.
*****
Sekarang tiga hari sudah berlalu,
ingatan ini tak berkembang juga. Untuk berwudhu aku harus punya contekan, kalau
tidak ada orang yang bisa dicontek, kertas kecil tata cara wudhu jadi andalan.
Sudah kucoba tuk menghapal, tapi otak selalu menolaknya untuk mengingat.
Rasanya seperti menulis di pantai, segera tergulung ombak dan terhapus
seketika. Sekarang baru ku tahu jasat yang ditolak bumi lebih masuk akal
daripada tata cara wudhu yang ditolak memori.
Tidak masalah sebenarnya, tapi terkadang
malu saja kalah pintar dengan anak TK.
“Mas Yono Oon, enggak tau tata cara
wudhu,” ejek mereka dengan suara cekikak-cekikik.
Tak bisa kubalas ejekan itu kecuali
dengan senyuman. Kenapa harus marah? Toh mereka benar.
*****
Subuh-subuh, ketika aku baru saja
membuka contekan urutan wudhu, terdengar suara derap kaki banyak sandal
melewati depan rumah. Mereka begitu berisik, berbicara tak jelas, diselingi
jerit hiteris, menangis sambil memanggil nama Tuhan. Desaku yang biasanya masih
senyap itu mendadak gempar. Ada penemuan mayat wanita berusia 53 tahun, sudah
membusuk dimakan belatung di kebun yang tak jauh dari lapangan bola tempatku
biasa bermain. Setelah dikabari kalau wanita malang itu adalah Mbok Mirah, aku
langsung berlari kencang sambil menumpahkan butiran air mata di pipi. Sesak
rasanya. Mbok Mirah adalah tetangga yang biasa dititipi untuk mengasuhku kalau
ibu berbelanja di pasar. Dia satu-satunya yang mau menyumbangkan ASI-nya, karena
air susu ibuku tidak bisa langsung keluar.
“Mundur....tidak
ada yang boleh masuk!” bentak polisi begitu aku mencoba untuk menerobos police
line yang sudah mengitari tempat mayat Mbok Mirah ditemukan.
Jantungku berpacu seolah ingin menjebol tulang rusuk,
kedua kaki yang seperti tanpa tulang membuat lemas. Jasat Mbok Mirah sungguh
mengenaskan, wajah membiru, lidah menjulur, bola mata mencuat hampir saja
terlepas. Bekas jeratan masih terlihat jelas dilehernya.
“Kejam! Siapa yang membunuh Mbok Mirah?!” kukerahkan
seluruh tenaga untuk berteriak di tengah isak, tapi tak ada yang peduli, tak
ada yang menjawab.
*****
Sudah empat hari sejak kejadian,
bayangan jasad Mbok Mirah tak pernah bisa hilang. Sungguh tak nyaman. Anehnya
urutan wudhu yang mati-matian ku hafal masih saja menolak menempel di
ingatanku.
Asik memikirkan segala hal, sejenak
terdengar suara gaduh diluar. Aku bergegas menghampiri. Terlihat ibu berurai
air mata dalam dekapan bapak yang wajahnya tampak kacau. Ada sekitar tujuh
polisi berhadapan dengan mereka. Salah seorang polisi melihatku, dia memberikan
aba-aba, lalu membrogol, menggeret lalu memasukkan ku ke mobil polisi.
*****
“Kau masih tak ingat?” tanya Psikiater
yang sudah tiga bulan ini bolak-balik ke penjara untuk menanyai segudang pertanyaan
yang selalu kujawab dengan gelengan. Ini kali ke enam aku ditempatkan di
ruangan berdinding kaca yang sempit, gelap, untuk ditanyai. Mereka menyebutnya
ruang investigasi. Psikiater itu sibuk menulis di tumpukan kertas dokumennya.
“Apa itu Hysterical Amnesia?” tanyaku
terbata membaca kalimat yang baru saja di tulis Psikiater itu.
“Semacam lupa karena psikologis”
“Seperti apa?”
“Trauma akibat kejahatan seksual atau
seperti ketika kamu melakukan sebuah kejahatan lalu karena merasa bersalah yang
teramat sangat kamu mengunci ingatanmu.”
“Siapa? Aku?” tanyaku.
Psikiater itu hanya tersenyum, tapi
wajah penuh prihatinnya tak berhasil disembunyikan dengan baik.
*****
Dua minggu sudah aku di tetapkan sebagai
tersangka tunggal pembunuhan Mbok Mirah. Pembunuhan Mbok Mirah bersamaan dengan
hilangnya ingatan wudhu di memoriku. Ada lima saksi yang menguatkan. Mereka
melihatku berada di sekitar TKP. Kesaksian
itu di perkuat dengan pernyataan anak Mbok Mirah yang dulu jatah ASI-nya
kukurangi. Dia mengatakan bahwa aku terlibat pertengkaran sebelum Mbok Mirah
menghilang. Aku tak tau kejadian itu benar atau salah.
Ketika diintrogasi diriku hanya bisa bungkam,
tak mengelak juga tak membenarkan. Tak punya alibi dan parahnya tak punya
ingatan apapun tentang kejadian itu. Semua kesaksian, hari yang bertepatan
dengan hilangnya ingatanku.
Semua bukti menyudutkan, kondisi psikis
yang tertekan akhirnya menggiring opiniku untuk menuduh diriku sendiri sebagai
pelaku pembunuhan Mbok Mirah.
“Ya....mungkin memang diriku pelakunya.”
*****
“Aku yang membunuh Mbok Mirah,” kataku
datar.
Orang yang menginvestigasi menganga
mendengarnya, tapi tak menanyai lebih lanjut. Mereka mengira ingatanku sudah
kembali. Padahal cara membunuh yang tertulis di buku terakhir investigasi itu,
kucomot dari novel serial Omen karya Lexie Xu. Biarlah...jengah sudah. Biar
urusan cepat selesai.
*****
Keesokan harinya aku dibawa ke TKP untuk
reka ulang. Puluhan atau mungkin ratusan orang berkerumun. Mereka bergunjing
tak percaya, mencemooh bahkan mencaci-maki diriku. Tapi tak kulihat wajah Ibu dan Bapak disana.
Rinduku sudah menggunung pada mereka. Hanya ku lihat anak Mbok Mirah yang meludahi mukaku, berdiri diantara
kerumunan itu.
*****
“Dari mana?” tanya polisi bersenjata
yang tadi mengawal.
Reflek kutunjuk sungai dangkal yang
berada di samping TKP.
“Kamu tak menyebut sungai ini
sebelumnya,” kata polisi tanpa melarangku turun ke sungai.
Airnya hanya setinggi pahaku. Begitu air
membasahi tangan, tiba – tiba ada perasaan aneh menyeruak, bulir – bulir
keringat bermunculan, badan gemetar hebat. Rombongan memori di kepala meronta
keluar. Terbaca. Aku teringat sesuatu.
“A... Aku bukan pelakunya,” suaraku
bergetar, sambil menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.
Sibuk mengingat bayangan ingatan yang
berjalan kilat seperti film yang dipercepat.
“Apa?” tanya polisi heran.
“BUKAN AKU PELAKUNYA! LEPASKAN AKU!”
Kutendang dua polisi yang ikut
menceburkan diri, lalu berlari membelah sungai.
Baru dua meter berlari, desingan peluru
menyapa telingaku. Orang – orang berteriak histeris. Nyeri di punggungku
merambat keseluruh tubuh. Aliran sungai berubah merah. Tenaga habis. Kecipak
kaki berubah menjadi suara dentuman keras di sungai yang beriak. Tubuhku
ambruk. Setengah sadar, samar – samar kulihat polisi menggotongku. Nafas
tersengal, tapi otakku berusaha terus memutar ingatan yang sempat kabur itu.
Mbok Mirah yang malang. Kenapa bisa anak
tunggal kesayanganmu itu menjerat lehermu dengan tali hanya karna tak kau
turuti kemauannya untuk membeli motor baru? Ketika aku hendak berwudhu di
sungai setelah seharian mencari umpan ikan, aku jelas melihat dia menjeratmu dengan
tali pengikat kambing yang dibawanya. Maaf Mbok... Kalau saja saat itu tubuhku
tak seketika kaku, suara tak tercekat. Kalau saja bisa menghindar ketika anak
yang kurang ajar itu menghantam badanku dengan balok kayu dan membawa diriku
yang tak sadar ke lapangan bola, mungkin nyawamu masih bisa terselamatkan.
Kenapa juga aku trauma segala dan
mengunci ingatan itu dalam – dalam. Malah, yang kuingat hanyalah tertidur di
lapangan bola yang sama sekali tak berguna? Dada semakin sesak, air mataku
mengalir.
“Ah... Mbok Mirah, kau mengunjungiku?”
Mulutku bergerak, tapi tak ada suara terdengar dari sana.
Tak peduli diriku dengan teriakan panik
polisi, aku sudah terbuai dengan Mbok Mirah yang terlihat begitu cantik saat
itu. Mbok Mirah tersenyum, mengajakku ke arah yang ditunjuknya. Sambil terus
bergandengan tangan dengan Mbok Mirah, kupamerkan kemampuan, “Membasuh kedua
telapak tangan, membersihkan mulut dan lubang hidung 3 kali, mengusap kepala 3
kali, membersihkan telinga 3 kali, membersihkan kaki 3 kali lalu berdoa,”
Celotehku riang.
Ingatanku kembali seutuhnya. Mbok Mirah
mengusap kepalaku, aku tersenyum bangga, sambil meninggalkan jasad dibawah
sana.
(Semarang,
23 September 2015)
Komentar:
Dari ketiga cerita yang kamu kirimkan, inilah cerita
yang paling Ibu suka. Anti-mainstream, dan kalau sedikit diolah lagi, cerita
ini layak dibaca orang banyak. Bagus, Vie! Oh, bukan berarti ceritamu yang lain
tidak bagus. Sama bagusnya, dan kamu pintar merangkai kata-kata. Ibu seperti
kembali ke masa SMA yang penuh dengan masa-masa bahagia. Oh iya, komentar
cerita yang lain di tempat yang berbeda, ya. Semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar