Story by: Elivina Ragil Rici R.
XI-IIS 2
Aku adalah aku. Perbedaan adalah nyata.
Dari luar terlihat terang dan indah tapi hanya dusta belaka. Hidupku sama
seperti seonggok sampah yang telah dibuang oleh pemiliknya karena tidak
berguna. Atau lebih buruk dari itu. Aku kecewa, dan aku takut kalau perasaan
itu akan semakin tumbuh dan menelan semuanya. Semua yang aku punya. Aku merasa
terhina dan mulai gemetar, mengeluarkan kata-kata yang hampir ditelan oleh
kesunyian.
Sedirian aku menyusuri sebuah lorong
Penuh kegelapan yang akan melahap
semuanya
Aku tak kuasa menahannya
Semua kekacauan yang menusuk jantung
Lalu semuanya hening
Aku membuka mataku. Hal yang pertama
kutemui adalah Sang Mentari, sebuah lukisan Tuhan yang terlukis dalam sanubari
biru yang luas. Dia mengangkat wajahnya sambil tersenyum mengejek. Asyik
memamerkan kilauan cahayanya, membuat kebakaran kecil di dunia. Semakin
membakar amarah di lelung hati sesosok insan yang memudar. Lalu wajahnya
dihiasi oleh senyuman yang masam, sangat masam. Untaian senyuman yang terlihat
sangat palsu, senyuman yang seakan-akan menghantui di sudut jendela sang
fikiran yang sedang sakit. Dia terus menerus mangawasinya dari pusat tata surya
yang sangat kelam.
Aku tersadar di tengah ketenangan,
ketenangan itu terus mengatakan kepadaku bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi
nyatanya diriku hanya berkata satu patah kata saja, ‘Tidak’. Lalu sepatang
mataku mendapati barisan rumput-rumput hijau yang riang gembira, mereka
melambaikan tangan mereka padaku. Jiwa dan ragaku berada di suatu tempat.
Tempat yang tenang, tetapi tidak selamanya akan selalu bersamaku. Ketenangan
taman ini membuat hatiku iri. Hatiku terus mengomel padaku bahwa ia sedang
gelisah, sangat gelisah. Aku tak peduli. Selama aku tidak berada di tempat itu,
aku akan baik-baik saja.
Sudah ratusan menit ia berdetak di sebuah
jam kecil. Sudah berapa lama aku berbaring disini? Aku ingat, aku telah berbuat
sesuatu. Sang kegusaran akan datang menemuiku. Dia akan membawa kedua orang
tuaku. Kutebak, wajah mereka akan terpasang topeng-topeng yang mengerikan.
Tiba-tiba suara seperti radio rusak terdengar di otakku. Otakku terlalu sibuk
menceramahiku. Nasihat-nasihat klise mengetuk-ngetuk pintu hatiku. Ketukan yang
terus menerus membuat bibirku bergerak membentuk lengkungan yang membosankan.
Aku akan tertawa pahit jika orang tuaku masuk ke kamarku dan mendapati bahwa
kamarku rapi sekali. Rapi seperti yang diharapkan ibuku selama ini. Aku
bertaruh pada diriku, akan ada ekspresi melongo yang lamban dari wajah mereka
yang keriput. Lalu ada satu kebisingan, kemudian berbuah manis keributan. Semua
ribut, ibu ribut, ayah ribut, dan anjingku ribut, eh ternyata minta makan
rupanya. Keributan itu menjatuhkan lapisan tanah yang rapuh di dalam samudra
dan menimbulkan tsunami yang dahsyat. Ternyata oh ternyata. Sosok yang paling
dicari-cari ternyata lenyap di hadapan mereka.
Aku menggerakkan sepasang tungkai panjang
dengan sangat cepat. Aku berlari dan terus berlari. Tak peduli seberapa lemah
raga ini, tak peduli seberapa pendek tali kehidupan ini. Sebenarnya, aku tak
perlu berulah hal-hal yang tak perlu ini. Aku bisa saja berpura-pura lemas,
menggigilkan badanku, memasang wajah mayat yang sangat kaku, dan menaruh benda
panas di dahi. Lalu aku akan mengatakan pada ibuku bahwa aku sakit. Dan ketika
mengukur suhu, aku menaruh termometer di atas air yang meletup-letup. Eh,
tunggu dulu, sepertinya itu tidak bisa kulakukan. Termometernya akan rusak, dan
kisaran suhunya juga tidak masuk akal.
Yah, kata orang, apapun yang telah terjadi
itulah yang terbaik baginya. Jadi apa yang telah kulakukan tidak akan terlalu
buruk bagiku. Toh, aku hanya berpendapat bahwa gedung bertingkat itu sangat
tidak menyenangkan. Balok-balok dinding yang dicat jingga yang norak itu
menjijikkan. Dilengkapi oleh bilik-bilik yang dipenuhi oleh gumpalan manusia.
Disana ada banyak manusia robot yang berbunyi setiap saat. Mereka mengeluarkan
kata-kata mantra dan jampi-jampi dari zaman antah berantah, yang bagiku, tak
peduli. Robot-robot itu menyuruh orang-orang di bilik-bilik untuk memoleskan dirinya
untuk menjadi sempurna. Sempurna di segala bidang. Aku yang hanya mencintai
kekasih yang bernama ‘Seni’ harus menghela napas panjang. Mulai pasrah dengan
segala tuntutan. Tumpukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak jelas bertebaran
kesana kemari, menghinggapi otakku yang letih.
Sebenarnya ada beberapa fakta yang
mengejutkan. Gedung jelek itu mempunyai reputasi yang amat terpandang. Paling
tenar dan terhormat di seluruh kawasan daerah tersebut. Gedung itu memiliki
banyak makhluk evolusi monyet yang berkualitas tinggi. Makhluk-makhluk tersebut
kerap kali tercebur ke kolam emas, membawa emas tersebut pulang ke gedung lusuh
itu. Makhluk-makhluk itu memang telah dikenal lama sebagai pemburu emas, perak,
dan perunggu yang professional. Selain kisah makhluk-makhluk tersebut yang amat
termahsyur, ternyata gedung norak yang telah menaungi mereka itu telah berdiri
di antara hamparan ladang pencakar langit yang tingginya sampai mengetuk-ngetuk
pintu langit dan mengelus-ngelus jendela angkasa. Gedung itu merupakan permata
yang menghubungkan antara sudut-sudut kota yang gemerlap. Tak hanya itu,
walaupun gedung itu sangat lusuh, ternyata apapun yang dibutuhkan oleh publik
ada di sana. Ada beberapa gubug makan disana, harga lima bintang dengan rasa
kaki lima milik si monyet. Ada juga balok-balok buku yang saling berhimpitan
membentuk bangunan kecil persegi panjang, dan jumlahnya cukup banyak. Ada bilik
kembar yang memiliki cukup banyak mesin ketik dan mesin penghitung yang
seharusnya sudah harus ditinggalkan oleh orang-orang. Tapi rupanya masih
dipakai dan itupun masih juga berfungsi. Dan ada juga tempat pembuangan lele
kuning yang bertebaran di penjuru area gedung norak itu, yang untungnya
memiliki air bah yang melimpah.
Lalu mengapa aku merasa kecewa berat
dengan gedung norak itu? Eh bukan gedungnya, tetapi ‘sistem’ yang terukir
baru-baru ini di sana. Ternyata sebagian penduduk baru yang menaungi itu
berevolusi menjadi barisan tikus-tikus yang terdidik. Dan sayangnya aku berada
di antara kumpulan tikus-tikus itu. Mereka asyik bercicit kepada sesamanya
sampai-sampai suara-suara mereka berdenging di gendang telingaku. Mereka tak
lelah untuk senantiasa untuk mengeluarkan kata-kata protes di depan robot-robot
itu. Ketika diberi suapan pengetahuan, mereka mengelak. Ketika robot-robot
tersebut marah, mereka makin bercicit dengan keras, kekesalan merayapi pikiran
mereka. Cicit-cicit yang melengking itu bergema menghujani ranah sanubari
pikiranku. Akupun jenuh, ototku lemas, dan roman wajahku pucat. Parahnya lagi,
aku tidak tahu kapan gema cicit-cicit itu berhenti. Lalu akupun mulai menjauh
dan mulai merambah ke dunia ‘lain’.
Ingatan itu terus muncul menghinggapiku,
membuat kepalaku berputar-putar mengelilingi, bagaikan burung yang terbang
kesana kemari. Nyatanya, ketenanganku telah direnggut oleh kawanan tikus itu.
Jiwaku amat jauh dengan mereka, seperti berada di belahan bumi yang berbeda.
Pada awalnya, aku memegang erat tali harapan dan suka cita. Tapi aku akhirnya
melepasnya begitu saja. Lalu garis senyuman yang melukiskan kehangatan pun
berangsur-angsur lenyap. Muncullah kedok yang membukakan nurani mereka. Fakta
yang sebenarnya mulai terkuak. Akhirnya aku berakhir seperti ini, tanpa ada
jiwa yang mau menemani kesunyian tanpa akhir ini.
Terkadang aku heran pada perasaan ini.
Rasa kebencian yang tumbuh subur hari demi hari. Tikus-tikus itu malas dan aku
juga malas. Mereka tidak niat dan aku juga tidak niat. Kenyataannya aku juga
membenci diriku yang sangat pemalas. Aku bagaikan melihat sebuah serpihan kaca
hasil refreksi dari diriku sendiri. Kini ruang kehidupanku terasa hampa,
bagaikan bagian tengah-tengah sebuah donat. Ya, tengahnya bolong.
Sebenarnya ini adalah hari yang seharusnya
menjadi penting, tetapi dari sudut pandang orang lain. Tapi dari sudut hatiku
yang sempit ini, bagiku ini semuanya tidak penting. Lembaran minggu-minggu
telah kulewati dengan perasaan sukacita, seperti sedang merayakan selamatan.
Acara yang mirip selamatan itu berlangsung di lokasi yang amat familiar.
Bertempat di kahyangan berlangit pertama yang berlandaskan ruang atap kelabu
yang dari awal pudar dan makin mulai memudar. Acara pertama, mengambil peran
sebagai ahli strategi perang menuju keberhasilan alias main game
perang-perangan. Acara selanjutnya, makan satu tumpeng dan minum air segalon
sampai perutku meniup sebuah balon. Acara selanjut-selanjutnya, mimpi ketemu
bidadari di alam penuh awan menerawang dan menghasilkan air liur berkualitas
tinggi. Lalu acara selanjut-selanjut-selanjutnya kembali dari awal lagi. Memang
acara-acara tersebut akan dianggap monoton oleh orang lain. Tapi menurutku ini
adalah acara emas, bagaikan mengikuti acara VIP di ballroom yang berkelas.
Tapi semua berubah ketika ia menyerang.
Mendatangiku tiba-tiba di malam yang indah, yang kini diliputi oleh kegelapan
yang mencekam. Menakut-nakuti sang rembulan mimpi. Mengacaukan segalanya,
membuat keributan. Jangan dilawan, kau pasti akan langsung takut. Dan kini dia
datang, dia adalah...
SENIN bin hari pertama di sekolah.
Aku pergi. Aku pergi, aku pergi... aku
pergi dari rumah! Sejak sepasang hari yang telah berlalu, aku telah
merencanakan semuanya. Akulah sang perencana. Semua hal yang kubutuhkan telah
kusiapkan. Aku telah menyiapkan uang yang banyak, hasil mengutil dari kedua
orang tua tercinta. Akupun telah menyiapkan persediaan pakaian, peralatan
mandi, peralatan untuk makan dan lain-lain. Semua kebutuhan telah terjamin,
mulai dari sandang, pangan, dan oh ya, dan juga papan. Akupun akhirnya dapat
leluasa tidur di jalanan, berselimutkan debu-debu yang kumal. Atau bahkan aku
bisa tidur di selokan yang kering, feels like a big garbage. Alhadulillah
sekarang aku bahagia. Akhirnya aku bisa bebas juga, bagaikan para kawanan
burung yang terbang di angkasa.
Tiba-tiba ada perasaan yang terlintas.
Perasaan macam apa ini? Tiba-tiba orang tuaku datang menghampiri pikiranku.
Raut wajah mereka terlihat kecewa, sangat kecewa. Aku jadi merasa telah
menyusahkan mereka.
Bersambung....
Komentar:
Lho, ceritanya bersambung, ya? Wah,
berarti belum selesai… kenapa tidak diselesaikan segera? Cerita kamu bagus,
Elivina. Benar-benar bagus. Ibu suka pemakaian diksi kamu yang unik, dan
puitis. Perlu ketekunan lho, untuk mencapai tingkat itu. Kalau kamu serius, seharusnya
kamu bisa menjadi penulis suatu saat nanti. Semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar