Pages

Minggu, 18 Oktober 2015

Tanpa Judul

Story by: Elivina Ragil Rici R.
XI-IIS 2

Aku adalah aku. Perbedaan adalah nyata. Dari luar terlihat terang dan indah tapi hanya dusta belaka. Hidupku sama seperti seonggok sampah yang telah dibuang oleh pemiliknya karena tidak berguna. Atau lebih buruk dari itu. Aku kecewa, dan aku takut kalau perasaan itu akan semakin tumbuh dan menelan semuanya. Semua yang aku punya. Aku merasa terhina dan mulai gemetar, mengeluarkan kata-kata yang hampir ditelan oleh kesunyian.
Sedirian aku menyusuri sebuah lorong
Penuh kegelapan yang akan melahap semuanya
Aku tak kuasa menahannya
Semua kekacauan yang menusuk jantung
Lalu semuanya hening

Aku membuka mataku. Hal yang pertama kutemui adalah Sang Mentari, sebuah lukisan Tuhan yang terlukis dalam sanubari biru yang luas. Dia mengangkat wajahnya sambil tersenyum mengejek. Asyik memamerkan kilauan cahayanya, membuat kebakaran kecil di dunia. Semakin membakar amarah di lelung hati sesosok insan yang memudar. Lalu wajahnya dihiasi oleh senyuman yang masam, sangat masam. Untaian senyuman yang terlihat sangat palsu, senyuman yang seakan-akan menghantui di sudut jendela sang fikiran yang sedang sakit. Dia terus menerus mangawasinya dari pusat tata surya yang sangat kelam.
Aku tersadar di tengah ketenangan, ketenangan itu terus mengatakan kepadaku bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi nyatanya diriku hanya berkata satu patah kata saja, ‘Tidak’. Lalu sepatang mataku mendapati barisan rumput-rumput hijau yang riang gembira, mereka melambaikan tangan mereka padaku. Jiwa dan ragaku berada di suatu tempat. Tempat yang tenang, tetapi tidak selamanya akan selalu bersamaku. Ketenangan taman ini membuat hatiku iri. Hatiku terus mengomel padaku bahwa ia sedang gelisah, sangat gelisah. Aku tak peduli. Selama aku tidak berada di tempat itu, aku akan baik-baik saja.
Sudah ratusan menit ia berdetak di sebuah jam kecil. Sudah berapa lama aku berbaring disini? Aku ingat, aku telah berbuat sesuatu. Sang kegusaran akan datang menemuiku. Dia akan membawa kedua orang tuaku. Kutebak, wajah mereka akan terpasang topeng-topeng yang mengerikan. Tiba-tiba suara seperti radio rusak terdengar di otakku. Otakku terlalu sibuk menceramahiku. Nasihat-nasihat klise mengetuk-ngetuk pintu hatiku. Ketukan yang terus menerus membuat bibirku bergerak membentuk lengkungan yang membosankan. Aku akan tertawa pahit jika orang tuaku masuk ke kamarku dan mendapati bahwa kamarku rapi sekali. Rapi seperti yang diharapkan ibuku selama ini. Aku bertaruh pada diriku, akan ada ekspresi melongo yang lamban dari wajah mereka yang keriput. Lalu ada satu kebisingan, kemudian berbuah manis keributan. Semua ribut, ibu ribut, ayah ribut, dan anjingku ribut, eh ternyata minta makan rupanya. Keributan itu menjatuhkan lapisan tanah yang rapuh di dalam samudra dan menimbulkan tsunami yang dahsyat. Ternyata oh ternyata. Sosok yang paling dicari-cari ternyata lenyap di hadapan mereka.
Aku menggerakkan sepasang tungkai panjang dengan sangat cepat. Aku berlari dan terus berlari. Tak peduli seberapa lemah raga ini, tak peduli seberapa pendek tali kehidupan ini. Sebenarnya, aku tak perlu berulah hal-hal yang tak perlu ini. Aku bisa saja berpura-pura lemas, menggigilkan badanku, memasang wajah mayat yang sangat kaku, dan menaruh benda panas di dahi. Lalu aku akan mengatakan pada ibuku bahwa aku sakit. Dan ketika mengukur suhu, aku menaruh termometer di atas air yang meletup-letup. Eh, tunggu dulu, sepertinya itu tidak bisa kulakukan. Termometernya akan rusak, dan kisaran suhunya juga tidak masuk akal.
Yah, kata orang, apapun yang telah terjadi itulah yang terbaik baginya. Jadi apa yang telah kulakukan tidak akan terlalu buruk bagiku. Toh, aku hanya berpendapat bahwa gedung bertingkat itu sangat tidak menyenangkan. Balok-balok dinding yang dicat jingga yang norak itu menjijikkan. Dilengkapi oleh bilik-bilik yang dipenuhi oleh gumpalan manusia. Disana ada banyak manusia robot yang berbunyi setiap saat. Mereka mengeluarkan kata-kata mantra dan jampi-jampi dari zaman antah berantah, yang bagiku, tak peduli. Robot-robot itu menyuruh orang-orang di bilik-bilik untuk memoleskan dirinya untuk menjadi sempurna. Sempurna di segala bidang. Aku yang hanya mencintai kekasih yang bernama ‘Seni’ harus menghela napas panjang. Mulai pasrah dengan segala tuntutan. Tumpukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak jelas bertebaran kesana kemari, menghinggapi otakku yang letih.
Sebenarnya ada beberapa fakta yang mengejutkan. Gedung jelek itu mempunyai reputasi yang amat terpandang. Paling tenar dan terhormat di seluruh kawasan daerah tersebut. Gedung itu memiliki banyak makhluk evolusi monyet yang berkualitas tinggi. Makhluk-makhluk tersebut kerap kali tercebur ke kolam emas, membawa emas tersebut pulang ke gedung lusuh itu. Makhluk-makhluk itu memang telah dikenal lama sebagai pemburu emas, perak, dan perunggu yang professional. Selain kisah makhluk-makhluk tersebut yang amat termahsyur, ternyata gedung norak yang telah menaungi mereka itu telah berdiri di antara hamparan ladang pencakar langit yang tingginya sampai mengetuk-ngetuk pintu langit dan mengelus-ngelus jendela angkasa. Gedung itu merupakan permata yang menghubungkan antara sudut-sudut kota yang gemerlap. Tak hanya itu, walaupun gedung itu sangat lusuh, ternyata apapun yang dibutuhkan oleh publik ada di sana. Ada beberapa gubug makan disana, harga lima bintang dengan rasa kaki lima milik si monyet. Ada juga balok-balok buku yang saling berhimpitan membentuk bangunan kecil persegi panjang, dan jumlahnya cukup banyak. Ada bilik kembar yang memiliki cukup banyak mesin ketik dan mesin penghitung yang seharusnya sudah harus ditinggalkan oleh orang-orang. Tapi rupanya masih dipakai dan itupun masih juga berfungsi. Dan ada juga tempat pembuangan lele kuning yang bertebaran di penjuru area gedung norak itu, yang untungnya memiliki air bah yang melimpah.
Lalu mengapa aku merasa kecewa berat dengan gedung norak itu? Eh bukan gedungnya, tetapi ‘sistem’ yang terukir baru-baru ini di sana. Ternyata sebagian penduduk baru yang menaungi itu berevolusi menjadi barisan tikus-tikus yang terdidik. Dan sayangnya aku berada di antara kumpulan tikus-tikus itu. Mereka asyik bercicit kepada sesamanya sampai-sampai suara-suara mereka berdenging di gendang telingaku. Mereka tak lelah untuk senantiasa untuk mengeluarkan kata-kata protes di depan robot-robot itu. Ketika diberi suapan pengetahuan, mereka mengelak. Ketika robot-robot tersebut marah, mereka makin bercicit dengan keras, kekesalan merayapi pikiran mereka. Cicit-cicit yang melengking itu bergema menghujani ranah sanubari pikiranku. Akupun jenuh, ototku lemas, dan roman wajahku pucat. Parahnya lagi, aku tidak tahu kapan gema cicit-cicit itu berhenti. Lalu akupun mulai menjauh dan mulai merambah ke dunia ‘lain’.
Ingatan itu terus muncul menghinggapiku, membuat kepalaku berputar-putar mengelilingi, bagaikan burung yang terbang kesana kemari. Nyatanya, ketenanganku telah direnggut oleh kawanan tikus itu. Jiwaku amat jauh dengan mereka, seperti berada di belahan bumi yang berbeda. Pada awalnya, aku memegang erat tali harapan dan suka cita. Tapi aku akhirnya melepasnya begitu saja. Lalu garis senyuman yang melukiskan kehangatan pun berangsur-angsur lenyap. Muncullah kedok yang membukakan nurani mereka. Fakta yang sebenarnya mulai terkuak. Akhirnya aku berakhir seperti ini, tanpa ada jiwa yang mau menemani kesunyian tanpa akhir ini.
Terkadang aku heran pada perasaan ini. Rasa kebencian yang tumbuh subur hari demi hari. Tikus-tikus itu malas dan aku juga malas. Mereka tidak niat dan aku juga tidak niat. Kenyataannya aku juga membenci diriku yang sangat pemalas. Aku bagaikan melihat sebuah serpihan kaca hasil refreksi dari diriku sendiri. Kini ruang kehidupanku terasa hampa, bagaikan bagian tengah-tengah sebuah donat. Ya, tengahnya bolong.
Sebenarnya ini adalah hari yang seharusnya menjadi penting, tetapi dari sudut pandang orang lain. Tapi dari sudut hatiku yang sempit ini, bagiku ini semuanya tidak penting. Lembaran minggu-minggu telah kulewati dengan perasaan sukacita, seperti sedang merayakan selamatan. Acara yang mirip selamatan itu berlangsung di lokasi yang amat familiar. Bertempat di kahyangan berlangit pertama yang berlandaskan ruang atap kelabu yang dari awal pudar dan makin mulai memudar. Acara pertama, mengambil peran sebagai ahli strategi perang menuju keberhasilan alias main game perang-perangan. Acara selanjutnya, makan satu tumpeng dan minum air segalon sampai perutku meniup sebuah balon. Acara selanjut-selanjutnya, mimpi ketemu bidadari di alam penuh awan menerawang dan menghasilkan air liur berkualitas tinggi. Lalu acara selanjut-selanjut-selanjutnya kembali dari awal lagi. Memang acara-acara tersebut akan dianggap monoton oleh orang lain. Tapi menurutku ini adalah acara emas, bagaikan mengikuti acara VIP di ballroom yang berkelas.
Tapi semua berubah ketika ia menyerang. Mendatangiku tiba-tiba di malam yang indah, yang kini diliputi oleh kegelapan yang mencekam. Menakut-nakuti sang rembulan mimpi. Mengacaukan segalanya, membuat keributan. Jangan dilawan, kau pasti akan langsung takut. Dan kini dia datang, dia adalah...
SENIN bin hari pertama di sekolah.
Aku pergi. Aku pergi, aku pergi... aku pergi dari rumah! Sejak sepasang hari yang telah berlalu, aku telah merencanakan semuanya. Akulah sang perencana. Semua hal yang kubutuhkan telah kusiapkan. Aku telah menyiapkan uang yang banyak, hasil mengutil dari kedua orang tua tercinta. Akupun telah menyiapkan persediaan pakaian, peralatan mandi, peralatan untuk makan dan lain-lain. Semua kebutuhan telah terjamin, mulai dari sandang, pangan, dan oh ya, dan juga papan. Akupun akhirnya dapat leluasa tidur di jalanan, berselimutkan debu-debu yang kumal. Atau bahkan aku bisa tidur di selokan yang kering, feels like a big garbage. Alhadulillah sekarang aku bahagia. Akhirnya aku bisa bebas juga, bagaikan para kawanan burung yang terbang di angkasa.
Tiba-tiba ada perasaan yang terlintas. Perasaan macam apa ini? Tiba-tiba orang tuaku datang menghampiri pikiranku. Raut wajah mereka terlihat kecewa, sangat kecewa. Aku jadi merasa telah menyusahkan mereka.

Bersambung....

Komentar:

Lho, ceritanya bersambung, ya? Wah, berarti belum selesai… kenapa tidak diselesaikan segera? Cerita kamu bagus, Elivina. Benar-benar bagus. Ibu suka pemakaian diksi kamu yang unik, dan puitis. Perlu ketekunan lho, untuk mencapai tingkat itu. Kalau kamu serius, seharusnya kamu bisa menjadi penulis suatu saat nanti. Semangat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar