Pages

Minggu, 18 Oktober 2015

Wewangiannya Tertinggal


 Story by: Nabila Rana S
XI IPS 2

Dulu ketika usiaku masih sedikit, membaca koran bukan hal yang bisa dibilang lumrah. Dulu ketika diam-diam aku menyolong dua lembaran koran yang menyampir di atas rak piring, tak sengaja kulihat sub judul yang membikin kedua mataku terlihat selebar panci penggorengan milik Ibu. Ngeri bukan kepalang terbayang-bayang dalam pikiranku, nalarku belum bisa menerima.Waktu itu aku hanya bisa duduk dengan mata berair, kubuang media berita dua dimensi itu jauh-jauh. Ajaibnya memori yang kelam itu terhapus lamat-lamat dan baru kembali kini ketika aku memulai studi di dunia yang sama sekali asing.
Setelah menenggak kopi hitam yang miskin rasa, aku menyalakan radio ukuran mini di pojokan. Sekali-sekali olah gerak tubuh dengan menggeliat biar badan tak terlalu kaku pagi itu. Kulirik lagi halaman awal koran yang menjadi santapan pagi. Dua orang ditemukan tak bernyawa dengan luka sayat di pergelangan tangan keduanya. Berita itu sama sekali tak membuat perubahan mimik muka yang berarti, malahan karena acap kali mendengar kasus yang serupa, tanganku sudah biasa untuk membalik halaman selanjutnya dan mencari judul yang lebih menyegarkan untuk dibaca. Meski rasanya tak ada yang keliru, perasaanku tetap mencelos. Perihal mencabut nyawa sendiri barangkali bukan topik yang tabu dibicarakan di negeri ini, tetapi sebaliknya, justru sangat sensitif bila diomongkan dalam negeri kelahiranku. Dan pikiranku yang masih menyantol budaya menjunjung damai dari negeri asalku ini masih saja bergetar merinding kala rekan sejawat membicarakan topik itu denganku.
Aku meraih tombol off radio dan kembali bergelung dalam kehangatan selimut. Baru setelahnya kuputuskan untuk rebah sejenak di kubik yang cukup sempit itu. Membayangkan seorang teman yang batal menemaniku merantau ke negeri orang.

***


Wangi kesturi dari kain atasannya masih kuingat sampai sekarang.
Kalau saja sore yang lalu mendung tak tiba, mungkin percakapan yang sarat emosi ini tidak jadi menemui puncaknya. Aku dan temanku duduk menyila tungkai di depan beranda rumahnya, menjatuhkan bokong di atas tikar anyaman. Semula kami cuma memandangi sawah yang  ronanya menguning keemasan. Teh panas yang diseduh dari poci tanah liat oleh ibundanya hanya diam di depan kami. Kami mengobrol ngalor ngidul dan banyak tertawa karena temanku suka lelucon. Bincang-bincang tempo itu sampai menemui banyak cabang, dari perkara kecil sampai cerita mengenai masalah yang serius. Sore itu matahari jingga pulen, masih nampak benderang sebelum awan kelabu menggusur.
Sebelum pulang dengan baju yang  kuyup lantaran kehujanan, aku segera pamit dan menggondol sepasang sandal untuk dijinjing ke rumah.
“Nak, ndak bawa payung?” suara ibu temanku terdengar dari dalam kamar.
“Ndak usah, saya langsung pulang saja. Keburu hujan,” kujawab seadanya.
Ibunya yang lembut kadang sangat kontras dengan tabiat anaknya yang hobi berbicara keras dan aktif dalam tiap kegiatan. Aku selalu menghormatinya, memang sudah menjadi kewajiban untuk menjaga perasaan sesama orang tua. Keluarganya adalah yang paling sederhana. Hanya anak gadis dan seorang ibu kandungnya yang tinggal dalam rumah kecil itu. Kondisi finansial yang seadanya juga tak begitu mendukung kehidupan mereka. Kadang-kadang aku mencicip teh dengan rasa asin bahkan hambar. Biskuit kalengan yang disuguhkan pada akhir bulan juga banyak yang melempem.
Aku memperhatikan bagaimana daster ibunya itu bergoyang ketika berjalan mendekati kami sambil membawa payung. Kemudian ia tersenyum. Bibir pucatnya yang melengkung serupa debur ombak yang meneduhkan. Aku ikut tersenyum dibuatnya, tapi temanku tidak demikian.
“Kenapa dibawakan payung, kan sudah dibilang ndak usah,” katanya. Harusnya ia tidak perlu melontarkan suara dengan nada yang meninggi.
“Sudah gerimis, siapa tahu di perjalanan nanti hujan.”
“Payungnya bolong, bu. Pernya rusak, sudah karatan pula besinya.”
Gerimis menderas sampai air yang berjatuhan membiasi teras rumahnya. Sedikit kaget, aku mundur sedikit dengan hati-hati agar tak terpeleset lantai yang terbuat dari semen tersebut. “Ya sudah ndak apa-apa, saya tunggu disini saja dulu sampai hujannya reda,” ujarku.
Ibunya hanya diam tapi masih memasang senyum yang khas, setelah itu masuk kembali, ke dapur barangkali. Sedangkan temanku beringsut duduk pada kursi rotan, aku mengikutinya sembari menaruh sandal yang tadi sempat kubawa.
Dialog yang paling singkat tadi sudah menunjukkan bahwa ada masalah diantara mereka. Aku tahu betul dari bicaranya yang singkat menusuk, dan ibunya yang hanya sepatah dua patah menanggapi. Meski hanya obrolan biasa, ada sengit yang menetap dalam bola mata temanku. Dia tak suka menyimpan benci. Aku kenal sifatnya yang serba terbuka, biasanya dia selalu mengisahkan masalahnya padaku, yang fisik maupun konflik batin.
Ia menyesap teh yang tinggal separo pelan-pelan. Gelas bening yang menjadi wadah tehku sudah tak lagi hangat. Aku memandangi jalan aspal yang sempit di depanku. Meniti setiap air yang jatuh satu per satu dengan ketukan yang teratur sementara temanku menatapnya kosong.
“Kenapa?”
Dia tidak lekas menjawab. Hanya mengerling ke arahku sebentar.
“Ah, bukan apa-apa. Cuma merutuki nasib.”
Tangannya mengusap rok satin. Saban hari hampir selalu kujumpai kalimat itu. Tak jelas apa sebabnya ia mengatakan sesuatu yang terdengar pesimis begitu. Aku tak langsung berprasangka ketika wajahnya mulai masam dan enggan menampik murung. Dia diam beberapa waktu sampai suara batuk menginterupsi dan timbul tenggelam di antara kecipak hujan. Suara itu pastilah milik sang ibunda yang berusaha ia telan sendiri agar tidak kentara. Temanku mendesah lelah, kaki-kaki jenjangnya ia luruskan dan tangannya mengusap lutut yang kering.
“Ibu hanya batuk biasa. Habis minum obat nanti juga seraknya hilang,” tuturnya seakan tahu pertanyaan apa yang kusimpan rapat dalam benak.
Rahangku mengetat mendengar jawabannya yang apatis. Kelihatan biasa namun kupikir ia cukup lega bisa mengalihkan ide percakapan.
Sebenarnya malam itu akan jadi malam yang mendebarkan buat kami. Esok waktunya untuk mendaftarkan diri melalui surat elektronik. Aku dan temanku sepakat dan sepaham untuk melesak dalam jalur studi yang lebih modern. Kami punya rencana yang nekat, meski nyali belum teruji secara gamblang. Kami awalnya hanya anak muda yang seperti pada umumnya. Mimpi kami termasuk dalam golongan mimpi-mimpi yang konvensional. Sekolah tinggi dan membahagiakan orang tua. Sesederhana itu.
Kami ingin mencecap rasanya menimba ilmu di negeri orang. Negeri yang ibarat dongeng kalau kami diperdengarkan kisah-kisah heroik dari guru semasa sekolah dasar. Dan ya, kami tetap ingin kesana, ke tempatnya orang pintar berkumpul.
Tentu tidak ada yang salah. Kami hanya mengikuti naluri anak muda yang liar dengan banyak simpangan macam benalu. Awalnya temanku yang benar-benar terbakar semangat ketika mencetuskan ide untuk menuntut ilmu sampai ke luar tanah Jawa itu. Sayang stigma masyarakat desa yang meski telah mendiami perkotaan itu masih melekat kuat dalam diri masing-masing pribumi. Mereka tidak peduli soal teknologi, pengetahuan, sains, astronomi, dan barang-barang sepaket lainnya. Orang-orang―pada garis peralihan modern-kuno―itu cuma mau tahu bahwa tinggal jauh dari tanah kelahiran hanya akan membawa celaka.
“Besok kita pergi pagi-pagi sekali, ya. Warnet mungkin penuh kalau terlalu siang. Dipakai untuk main sama anak-anak SD.” Aku menatapnya dari samping. Temanku semakin terkubur jauh dalam lamunan.
“ Aku ndak bisa,” katanya pelan. Nyaris tersapu hujan yang kian deras mengguyur atap sengnya.
“Ada apa?”
“Rasanya ndak mungkin….”
“Kenapa begitu?”
Aku malu dengan vokal yang malah kedengaran makin gemetar.
“Kamu juga pasti sudah tahu, terlalu banyak yang menghalangi niatanku,” jawabnya. Aku terus mencoba mengeraskan pandangan yang agak kabur. Miniatur debris yang bergulingan di dekat kali kecil menambah debit air hingga meluber ke jalanan. Sambil memandangi genangan yang mulai terbentuk, aku menepuk bahu temanku, meremasnya ringan.
“Tidak ada yang bisa menghentikan kalau kita belum mencoba. Jangan langsung hilang antusias begitu, semua masalah selalu punya jalan keluar.”
Lalu diam lagi. Nampaknya ia merenung dalam diam yang panjang.
Kudengar lagi suara batuk yang kian menggigil. Temanku merendahkan pandangannya dan jarinya yang kurus ramping itu mengepal hingga berawarna keputihan. Melihatnya aku baru mengerti. Barangkali aku memang telah salah menilai pilihan hidupnya selama ini.
Ketika batang pohon yang tinggi menjulang makin ke atas maka angin semakin giat menyapa. Aturannya sama. Mimpi yang tinggi selalu punya aral melintang. Bahkan tak jarang kasus pohon yang terlalu sehat akan lebih cepat ditebang. Mimpi yang terlalu sempurna, niat yang terlalu kokoh, kadang bisa jatuh terjerembab. Mengakibatkan nyeri yang sangat sebab jatuh dari tempat yang terlalu tinggi.
Ibunda temanku adalah sosok wanita yang begitu penyabar dan suka bekerja keras kendati usianya sudah semakin bertambah. Tubuhnya sehat bugar meski punggungnya sedikit bungkuk saat berjalan tanpa alas di pematang sawah. Sifatnya amat baik, anak gadis satu-satunya selalu ia ajarkan kebaikan dan membantu sesamanya. Tetapi temanku punya jiwa pemberontak dalam dirinya. Barangkali seperti aku dan anak-anak lain yang baru mentas dari masa remaja, ia kerap lalai dalam menangkap maksud baik ibunya dan suka membuatnya makin sukar, justru mencari yang bukan untuk dicari, menghindari yang sebenarnya membawa manfaat untuknya sendiri.
Waktu itu aku lantas memikirkan suatu kesimpulan. Keluarga itu sebenarnya memliki relasi yang sangat baik, begitu harmonis. Temanku selalu menghormati apapun keputusan ibunya meski berlainan dengan kehendaknya sendiri. Sejak terdengar suara batuk dari dalam, aku memperhatikan ekspresi temanku yang berubah sewaktu-waktu. Dia gelisah. Dan kini aku tahu apa sebabnya.
“Aku akan tinggal disini, belajar di sekolah lokal sampai jadi pegawai negeri atau apa. Aku harus jaga ibu,” jelasnya tanpa kuminta.
Itu sudah cukup menerangkan bahwa ia telah menanggalkan hasratnya yang paling besar. Aku bisa berbuat apa selain tersenyum. Kulihat matanya berkilat-kilat mantap dengan pilihan yang diambilnya. Ia mungkin sudah berhenti dan mencari alternatif mimpi lainnya. Aku hanya bisa mendukung. Aku hanya bisa mendorong punggungnya, hanya bisa membantunya berdiri tegap. Karena alasannya memang sangat klasik. Awam.Yang ia lakukan semata-mata demi keluarga tunggalnya, ibu kandungnya sendiri.
“Kalau begitu, biar aku yang membawa mimpimu.”
Kalimat itu yang bisa kusampaikan terakhir kali. Memang, omongan sahabat kadang terasa pahit, tapi kulihat temanku tersenyum selepasnya.

***

Weker di atas nakas menunjuk pukul 9.30. Di sampingnya kalender harian memproyeksikan angka 15 dengan kanji matahari. Hari minggu. Aku menuju ke kamar mandi untuk membasuh lengan, hidung, muka, telinga, kaki, dan berkumur. Lalu kugelar sajadah untuk sembahyang. Setelah kuingat tahun-tahun silam sebelum mengadu nasib di negeri orang-orang ras Mongoloid ini, rasanya perjuangan begitu berat. Dulu banyak orang bilang, hidup di tanah ini sama saja sengaja mengurangi umur. Sendirian di tanah orang dengan budaya dan sosial yang sama sekali berbeda hanya akan menambah stres. Tapi aku tetap menjalaninya dengan ikhlas hati. Ada secuil rasa sesal dan kecewa karena temanku tak jadi memenuhi mimpinya untuk belajar disini bersamaku.
Tapi aku tidak menyalahkan siapapun. Mana bisa aku menyalahkan keadaan? Andai waktu lalu aku berada dalam posisi yang sama dengan temanku, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Andai ibuku sendiri masih ada di rumah dan menyambutku setiap pulang dari sekolah, mungkin aku juga akan tetap tinggal di bumi pertiwi. Setiap orang punya jalannya masing-masing. Kuulang dan kuulang dalam hati bahwa pilihanku adalah benar. Upaya intensif yang selama ini kukerahkan patut menuai hasilnya.
Kembali kuciumi sisa wangi kesturi dari saputangan yang diberikan temanku.
Di atas sajadah songket bercorak masjid itu, aku berdoa untuk ibuku disana agar selalu tenang. Aku yakin ia selalu membantuku tiap apa-apa meski tak dapat kulihat jasadnya.


Hai, Nabila.
Ibu suka ceritamu. Tapi rasanya menggantung ya? Kamu memilih kata dengan sangat cermat, membuat cerpenmu terasa tidak hambar saat dibaca. Tidak gampang lho seperti itu, butuh ketekunan dan jam terbang menulis yang tinggi. Semangat ya! Oh iya, sebaiknya cerpenmu diatur, rata kanan-kiri supaya rapi. Good job.. !!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar