Story by: Nabila Rana S
XI IPS 2
Dulu
ketika usiaku masih sedikit, membaca koran bukan hal yang bisa dibilang lumrah.
Dulu ketika diam-diam aku menyolong dua lembaran koran yang menyampir di atas
rak piring, tak sengaja kulihat sub judul yang membikin kedua mataku terlihat
selebar panci penggorengan milik Ibu. Ngeri bukan kepalang terbayang-bayang
dalam pikiranku, nalarku belum bisa menerima.Waktu itu aku hanya bisa duduk
dengan mata berair, kubuang media berita dua dimensi itu jauh-jauh. Ajaibnya
memori yang kelam itu terhapus lamat-lamat dan baru kembali kini ketika aku
memulai studi di dunia yang sama sekali asing.
Setelah
menenggak kopi hitam yang miskin rasa, aku menyalakan radio ukuran mini di
pojokan. Sekali-sekali olah gerak tubuh dengan menggeliat biar badan tak
terlalu kaku pagi itu. Kulirik lagi halaman awal koran yang menjadi santapan
pagi. Dua orang ditemukan tak bernyawa dengan luka sayat di pergelangan tangan
keduanya. Berita itu sama sekali tak membuat perubahan mimik muka yang berarti,
malahan karena acap kali mendengar kasus yang serupa, tanganku sudah biasa
untuk membalik halaman selanjutnya dan mencari judul yang lebih menyegarkan
untuk dibaca. Meski rasanya tak ada yang keliru, perasaanku tetap mencelos. Perihal
mencabut nyawa sendiri barangkali bukan topik yang tabu dibicarakan di negeri
ini, tetapi sebaliknya, justru sangat sensitif bila diomongkan dalam negeri
kelahiranku. Dan pikiranku yang masih menyantol budaya menjunjung damai dari
negeri asalku ini masih saja bergetar merinding kala rekan sejawat membicarakan
topik itu denganku.
Aku
meraih tombol off radio dan kembali bergelung dalam kehangatan selimut.
Baru setelahnya kuputuskan untuk rebah sejenak di kubik yang cukup sempit itu.
Membayangkan seorang teman yang batal menemaniku merantau ke negeri orang.
***
Wangi
kesturi dari kain atasannya masih kuingat sampai sekarang.
Kalau
saja sore yang lalu mendung tak tiba, mungkin percakapan yang sarat emosi ini
tidak jadi menemui puncaknya. Aku dan temanku duduk menyila tungkai di depan beranda
rumahnya, menjatuhkan bokong di atas tikar anyaman. Semula kami cuma memandangi
sawah yang ronanya menguning keemasan.
Teh panas yang diseduh dari poci tanah liat oleh ibundanya hanya diam di depan
kami. Kami mengobrol ngalor ngidul dan banyak tertawa karena temanku
suka lelucon. Bincang-bincang tempo itu sampai menemui banyak cabang, dari
perkara kecil sampai cerita mengenai masalah yang serius. Sore itu matahari jingga
pulen, masih nampak benderang sebelum awan kelabu menggusur.
Sebelum pulang dengan baju yang kuyup lantaran kehujanan, aku segera pamit
dan menggondol sepasang sandal untuk dijinjing ke rumah.
“Nak,
ndak bawa payung?” suara ibu temanku terdengar dari dalam kamar.
“Ndak
usah, saya langsung pulang saja. Keburu hujan,” kujawab seadanya.
Ibunya
yang lembut kadang sangat kontras dengan tabiat anaknya yang hobi berbicara
keras dan aktif dalam tiap kegiatan. Aku selalu menghormatinya, memang sudah
menjadi kewajiban untuk menjaga perasaan sesama orang tua. Keluarganya adalah
yang paling sederhana. Hanya anak gadis dan seorang ibu kandungnya yang tinggal
dalam rumah kecil itu. Kondisi finansial yang seadanya juga tak begitu
mendukung kehidupan mereka. Kadang-kadang aku mencicip teh dengan rasa asin
bahkan hambar. Biskuit kalengan yang disuguhkan pada akhir bulan juga banyak
yang melempem.
Aku
memperhatikan bagaimana daster ibunya itu bergoyang ketika berjalan mendekati
kami sambil membawa payung. Kemudian ia tersenyum. Bibir pucatnya yang
melengkung serupa debur ombak yang meneduhkan. Aku ikut tersenyum dibuatnya,
tapi temanku tidak demikian.
“Kenapa
dibawakan payung, kan sudah dibilang ndak usah,” katanya. Harusnya ia tidak
perlu melontarkan suara dengan nada yang meninggi.
“Sudah
gerimis, siapa tahu di perjalanan nanti hujan.”
“Payungnya
bolong, bu. Pernya rusak, sudah karatan pula besinya.”
Gerimis
menderas sampai air yang berjatuhan membiasi teras rumahnya. Sedikit kaget, aku
mundur sedikit dengan hati-hati agar tak terpeleset lantai yang terbuat dari
semen tersebut. “Ya sudah ndak apa-apa, saya tunggu disini saja dulu sampai
hujannya reda,” ujarku.
Ibunya
hanya diam tapi masih memasang senyum yang khas, setelah itu masuk kembali, ke
dapur barangkali. Sedangkan temanku beringsut duduk pada kursi rotan, aku
mengikutinya sembari menaruh sandal yang tadi sempat kubawa.
Dialog
yang paling singkat tadi sudah menunjukkan bahwa ada masalah diantara mereka.
Aku tahu betul dari bicaranya yang singkat menusuk, dan ibunya yang hanya
sepatah dua patah menanggapi. Meski hanya obrolan biasa, ada sengit yang
menetap dalam bola mata temanku. Dia tak suka menyimpan benci. Aku kenal
sifatnya yang serba terbuka, biasanya dia selalu mengisahkan masalahnya padaku,
yang fisik maupun konflik batin.
Ia
menyesap teh yang tinggal separo pelan-pelan. Gelas bening yang menjadi wadah
tehku sudah tak lagi hangat. Aku memandangi jalan aspal yang sempit di depanku.
Meniti setiap air yang jatuh satu per satu dengan ketukan yang teratur
sementara temanku menatapnya kosong.
“Kenapa?”
Dia
tidak lekas menjawab. Hanya mengerling ke arahku sebentar.
“Ah,
bukan apa-apa. Cuma merutuki nasib.”
Tangannya
mengusap rok satin. Saban hari hampir selalu kujumpai kalimat itu. Tak jelas
apa sebabnya ia mengatakan sesuatu yang terdengar pesimis begitu. Aku tak
langsung berprasangka ketika wajahnya mulai masam dan enggan menampik murung.
Dia diam beberapa waktu sampai suara batuk menginterupsi dan timbul tenggelam
di antara kecipak hujan. Suara itu pastilah milik sang ibunda yang berusaha ia telan
sendiri agar tidak kentara. Temanku mendesah lelah, kaki-kaki jenjangnya ia
luruskan dan tangannya mengusap lutut yang kering.
“Ibu
hanya batuk biasa. Habis minum obat nanti juga seraknya hilang,” tuturnya
seakan tahu pertanyaan apa yang kusimpan rapat dalam benak.
Rahangku
mengetat mendengar jawabannya yang apatis. Kelihatan biasa namun kupikir ia
cukup lega bisa mengalihkan ide percakapan.
Sebenarnya
malam itu akan jadi malam yang mendebarkan buat kami. Esok waktunya untuk
mendaftarkan diri melalui surat elektronik. Aku dan temanku sepakat dan sepaham
untuk melesak dalam jalur studi yang lebih modern. Kami punya rencana yang
nekat, meski nyali belum teruji secara gamblang. Kami awalnya hanya anak muda
yang seperti pada umumnya. Mimpi kami termasuk dalam golongan mimpi-mimpi yang
konvensional. Sekolah tinggi dan membahagiakan orang tua. Sesederhana itu.
Kami
ingin mencecap rasanya menimba ilmu di negeri orang. Negeri yang ibarat dongeng
kalau kami diperdengarkan kisah-kisah heroik dari guru semasa sekolah dasar.
Dan ya, kami tetap ingin kesana, ke tempatnya orang pintar berkumpul.
Tentu
tidak ada yang salah. Kami hanya mengikuti naluri anak muda yang liar dengan
banyak simpangan macam benalu. Awalnya temanku yang benar-benar terbakar
semangat ketika mencetuskan ide untuk menuntut ilmu sampai ke luar tanah Jawa
itu. Sayang stigma masyarakat desa yang meski telah mendiami perkotaan itu
masih melekat kuat dalam diri masing-masing pribumi. Mereka tidak peduli soal
teknologi, pengetahuan, sains, astronomi, dan barang-barang sepaket lainnya.
Orang-orang―pada garis peralihan modern-kuno―itu cuma mau tahu bahwa tinggal
jauh dari tanah kelahiran hanya akan membawa celaka.
“Besok
kita pergi pagi-pagi sekali, ya. Warnet mungkin penuh kalau terlalu siang.
Dipakai untuk main sama anak-anak SD.” Aku menatapnya dari samping. Temanku
semakin terkubur jauh dalam lamunan.
“
Aku ndak bisa,” katanya pelan. Nyaris tersapu hujan yang kian deras mengguyur
atap sengnya.
“Ada
apa?”
“Rasanya
ndak mungkin….”
“Kenapa
begitu?”
Aku
malu dengan vokal yang malah kedengaran makin gemetar.
“Kamu
juga pasti sudah tahu, terlalu banyak yang menghalangi niatanku,” jawabnya. Aku
terus mencoba mengeraskan pandangan yang agak kabur. Miniatur debris yang
bergulingan di dekat kali kecil menambah debit air hingga meluber ke jalanan.
Sambil memandangi genangan yang mulai terbentuk, aku menepuk bahu temanku,
meremasnya ringan.
“Tidak
ada yang bisa menghentikan kalau kita belum mencoba. Jangan langsung hilang
antusias begitu, semua masalah selalu punya jalan keluar.”
Lalu
diam lagi. Nampaknya ia merenung dalam diam yang panjang.
Kudengar
lagi suara batuk yang kian menggigil. Temanku merendahkan pandangannya dan
jarinya yang kurus ramping itu mengepal hingga berawarna keputihan. Melihatnya
aku baru mengerti. Barangkali aku memang telah salah menilai pilihan hidupnya
selama ini.
Ketika
batang pohon yang tinggi menjulang makin ke atas maka angin semakin giat menyapa.
Aturannya sama. Mimpi yang tinggi selalu punya aral melintang. Bahkan tak
jarang kasus pohon yang terlalu sehat akan lebih cepat ditebang. Mimpi yang
terlalu sempurna, niat yang terlalu kokoh, kadang bisa jatuh terjerembab. Mengakibatkan
nyeri yang sangat sebab jatuh dari tempat yang terlalu tinggi.
Ibunda
temanku adalah sosok wanita yang begitu penyabar dan suka bekerja keras kendati
usianya sudah semakin bertambah. Tubuhnya sehat bugar meski punggungnya sedikit
bungkuk saat berjalan tanpa alas di pematang sawah. Sifatnya amat baik, anak
gadis satu-satunya selalu ia ajarkan kebaikan dan membantu sesamanya. Tetapi
temanku punya jiwa pemberontak dalam dirinya. Barangkali seperti aku dan
anak-anak lain yang baru mentas dari masa remaja, ia kerap lalai dalam
menangkap maksud baik ibunya dan suka membuatnya makin sukar, justru mencari
yang bukan untuk dicari, menghindari yang sebenarnya membawa manfaat untuknya
sendiri.
Waktu
itu aku lantas memikirkan suatu kesimpulan. Keluarga itu sebenarnya memliki
relasi yang sangat baik, begitu harmonis. Temanku selalu menghormati apapun
keputusan ibunya meski berlainan dengan kehendaknya sendiri. Sejak terdengar
suara batuk dari dalam, aku memperhatikan ekspresi temanku yang berubah
sewaktu-waktu. Dia gelisah. Dan kini aku tahu apa sebabnya.
“Aku
akan tinggal disini, belajar di sekolah lokal sampai jadi pegawai negeri atau
apa. Aku harus jaga ibu,” jelasnya tanpa kuminta.
Itu
sudah cukup menerangkan bahwa ia telah menanggalkan hasratnya yang paling
besar. Aku bisa berbuat apa selain tersenyum. Kulihat matanya berkilat-kilat
mantap dengan pilihan yang diambilnya. Ia mungkin sudah berhenti dan mencari
alternatif mimpi lainnya. Aku hanya bisa mendukung. Aku hanya bisa mendorong
punggungnya, hanya bisa membantunya berdiri tegap. Karena alasannya memang
sangat klasik. Awam.Yang ia lakukan semata-mata demi keluarga tunggalnya, ibu
kandungnya sendiri.
“Kalau
begitu, biar aku yang membawa mimpimu.”
Kalimat
itu yang bisa kusampaikan terakhir kali. Memang, omongan sahabat kadang terasa
pahit, tapi kulihat temanku tersenyum selepasnya.
***
Weker
di atas nakas menunjuk pukul 9.30. Di sampingnya kalender harian memproyeksikan
angka 15 dengan kanji matahari. Hari minggu. Aku menuju ke kamar mandi untuk
membasuh lengan, hidung, muka, telinga, kaki, dan berkumur. Lalu kugelar
sajadah untuk sembahyang. Setelah kuingat tahun-tahun silam sebelum mengadu
nasib di negeri orang-orang ras Mongoloid ini, rasanya perjuangan begitu berat.
Dulu banyak orang bilang, hidup di tanah ini sama saja sengaja mengurangi umur.
Sendirian di tanah orang dengan budaya dan sosial yang sama sekali berbeda
hanya akan menambah stres. Tapi aku tetap menjalaninya dengan ikhlas hati. Ada
secuil rasa sesal dan kecewa karena temanku tak jadi memenuhi mimpinya untuk
belajar disini bersamaku.
Tapi
aku tidak menyalahkan siapapun. Mana bisa aku menyalahkan keadaan? Andai waktu
lalu aku berada dalam posisi yang sama dengan temanku, mungkin aku akan
melakukan hal yang sama. Andai ibuku sendiri masih ada di rumah dan menyambutku
setiap pulang dari sekolah, mungkin aku juga akan tetap tinggal di bumi
pertiwi. Setiap orang punya jalannya masing-masing. Kuulang dan kuulang dalam
hati bahwa pilihanku adalah benar. Upaya intensif yang selama ini kukerahkan
patut menuai hasilnya.
Kembali
kuciumi sisa wangi kesturi dari saputangan yang diberikan temanku.
Di
atas sajadah songket bercorak masjid itu, aku berdoa untuk ibuku disana agar
selalu tenang. Aku yakin ia selalu membantuku tiap apa-apa meski tak dapat
kulihat jasadnya.
Hai, Nabila.
Ibu suka ceritamu. Tapi rasanya menggantung ya? Kamu memilih kata dengan sangat cermat, membuat cerpenmu terasa tidak hambar saat dibaca. Tidak gampang lho seperti itu, butuh ketekunan dan jam terbang menulis yang tinggi. Semangat ya! Oh iya, sebaiknya cerpenmu diatur, rata kanan-kiri supaya rapi. Good job.. !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar