Pages

Minggu, 18 Oktober 2015

Izinkan Aku

Story by: Katarina Mutiara Kasih
XI-IIS 2
Aku selalu tertawa sambil menatapnya. Menatap sosok yang akhir-akhir ini mewarnai hariku. Sebenarnya aku sangatlah malas untuk menghadiri latihan ini. Namun karena kehadirannya, aku rela pulang malam hanya untuk sekedar melihatnya.
Dia seseorang yang sederhana dan karena kesederhanaannya itu dia mampu membuatku tak memalingkan padanganku darinya. Pribadinya memiliki karakter hingga  selalu bisa  membuat semua orang yang berada di sekitarnya tertawa. Sungguh membuatku sangat nyaman. Setiap dia berbicara, pasti bisa membuatku tersenyum. Sungguh dia mampu mewarnai hariku dengan canda dan tawanya.
Hari ini salah satu guru pembimbing menyuruhku untuk melakukan latihan vokal. Sebenarnya aku merasa bosan, tapi aku tetap saja menyanggupinya. Dia ditunjuk sebagai pengiring untuk lomba antar sekolah bulan depan dan aku yang akan diiringinya. Sungguh menyenangkan, bukan? Berlatih selama sebulan bersamanya, itu artinya aku bisa menatap wajahnya setiap hari.

Namanya Dika. Dika Aditya. Dia Kakak kelasku dan merupakan salah satu gitaris terbaik di sekolah. Wajahnya memang tak setampan orang-orang di luar sana. Namun entah mengapa dia mampu menciutkan hatiku.
Lagi-lagi aku tertawa karena ulahnya bersama teman-temannya. Sungguh ada saja tingkahnya yang mampu membuatku tertawa.
“Sudah! Jangan bercanda terus. Fokus!” tegas guru pembimbing kami. Dika dan teman-temannya terlihat langsung diam, begitupun denganku.
“Ayo Shania. Lanjutkan latihannya,” kata guru pembimbing tersebut. Dia menunjuk Dika yang sedang duduk sambil memangku gitarnya.
Aku beranjak dari dudukku, dengan hati berdebar aku mendekatinya. Tangannya perlahan memetik gitarnya.
“Ada cinta yang kurasakan.. Saat bertatap dalam canda..” aku mulai besenandung.
“Stop! Nggak cocok!” seru guru pembimbing itu yang membuat semangatku seketika menjadi buruk sekali. “Saya tinggal sebentar. Setelah saya kembali, suara dan gitarnya harus seirama!” kata guru tersebut sambil berjalan pergi.
Aku menghela napas sambil mengomel sendiri dalam hati. Sungguh sangat menyebalkan. Aku sudah lelah seharian belajar, kenapa harus ditambah dengan kegiatan seperti ini?
“Dimaklumi aja. Pak Effendi emang gitu..” kata Dika yang membuatku tak mampu menolak untuk meliriknya.
Dia berbicara sambil mengatur senar gitarnya. Hingga dia pun mengangkat tatapannya ke arahku. Sontak aku kaget saat matanya tepat menatapku. Aku mengalihkan pandanganku mencoba menetralkan detak jantung yang sempat berkerja dua kali lebih cepat dari normalnya.
“Ayo kita coba lagi,” ujar Dika. Aku mengangguk. Perlahan ia mulai memetik gitarnya.
“Ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda.. Ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap, oh indahnya, cinta..” kalimat demi kalimat lagu itu kunyanyikan dengan seluruh kemampuanku.
Dika pun menghentikan aktifitasnya. “Oke! Good!” seru Dika yang membuatku tersenyum mengangguk. Aku menghela napas lega. “Kamu memang mood boosterku Dika..” batinku tersenyum menatapnya.
Pulang sekolah, seperti biasanya aku langsung berlari menuju ruang kesenian. Karena bila aku telat beberapa menit saja, Pak Effendi pasti akan langsung mengeluarkan jurus bibirnya, alias mengomeliku. Kali ini aku mencoba lagu yang tak asing lagi di telingaku. Dengan fasih aku menyanyikan lagu itu. Dika yang memang sudah profesional pun tak bisa diragukan lagi.
Saat kami sedang beristirahat, terlihat Dika seperti sedang kesulitan. Aku bisa mendengar itu dari celotehnya.
“Kenapa?” tanyaku mendekatinya.
“Senar gitarnya putus,” jawab Dika memperlihatkan senar gitarnya yang kini sudah menjadi dua bagian.
“Yah, terus gimana?” tanyaku polos.
“Ya harus diganti. Aku pergi beli senar gitar dulu ya,” pamitnya kini beranjak.
“Emang persediaannya nggak ada?” tanyaku lagi.
“Lagi habis,” jawabnya mulai melangkah.
“Eh, ikut!” ucapku sedikit berlari.
“Hah?” Dika menghentikan langkahnya lalu berbalik menatapku.
“Aku takut sendiri..” balasku.
Memang suasana di ruang kesenian ini sedikit menyeramkan. Apalagi Pak Effendi sedang mengambil sesuatu di kantor, jadi di sini hanya ada aku dan Dika.
“Ya sudah” sahut Dika. Aku tersenyum kemudian mengikuti langkahnya.
Sebulan berlalu. Selama sebulan ini aku semakin dekat dengan Dika. Setelah lebih mengenalnya, ternyata dia lebih dari yang aku kira. Dia baik, lucu dan aku sangat merasa nyaman saat sedang berada di dekatnya.
Hari ini, hari di mana kegiatan itu diselenggarakan. Kegiatan ini memang terbagi dalam berbagai cabang lomba olahraga dan seni. Aku dan Dika mengikuti lomba menyanyi solo dengan iringan gitar. Aku meremas tanganku yang sudah berkeringat dingin. Aku melirik Dika yang sedang duduk santai sambil memangku gitarnya.
“Dika, aku deg-degan nih..” ucapku menatapnya. Dika mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Tenang aja, pesertanya cuma tiga orang kok,” katanya santai yang sontak membuatku menatapnya kaget.
“Hah? Pesertanya ada berapa orang?” tanyaku memastikan kembali.
“Tiga orang.. jadi kamu nggak usah tegang. Minimal kita bisa bawa piala juara tiga,” lagi-lagi Dika berkata santai.
Aku menunduk. Bagaimana jika aku dan Dika benar-benar menjadi juara tiga? Memalukan! Berarti kita yang paling payah.
“Kalau aku tahu pesertanya hanya ada tiga orang, aku tidak akan mengikuti latihan satu bulan ini. Tanpa latihan pun minimal kita dapat juara tiga. Dapat piala juga kan?” seruku sungguh sangat jengkel.
Dika tertawa. “Bener juga sih. Kenapa kita harus berlelah-lelah latihan ya? Kalau udah tahu minimal kita dapat juara tiga?” timpal Dika.
“Jadi sebenarnya yang bego siapa sih?” tanyaku.
“Guru pembimbing kita,” bisik Dika. Aku langsung tertawa, begitupun dengannya. Entah mengapa rasa tegang yang tadi sempat muncul kini sirna seiring dengan candaan yang dilontarkan oleh Dika.



Komentar:

Ceritanya bagus, tetapi menggantung sekali. Seakan belum selesai. Ibu harap kamu punya waktu untuk menyelesaikannya, ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar