Story by: Katarina Mutiara Kasih
XI-IIS 2
Aku selalu tertawa sambil menatapnya. Menatap
sosok yang akhir-akhir ini mewarnai hariku. Sebenarnya aku sangatlah malas untuk menghadiri latihan ini. Namun karena
kehadirannya, aku rela pulang malam hanya untuk sekedar melihatnya.
Dia seseorang yang sederhana dan karena kesederhanaannya
itu dia mampu membuatku tak memalingkan padanganku darinya. Pribadinya memiliki karakter
hingga selalu bisa membuat semua orang yang berada di sekitarnya
tertawa. Sungguh membuatku sangat nyaman. Setiap dia berbicara, pasti bisa
membuatku tersenyum. Sungguh dia mampu mewarnai hariku dengan canda dan
tawanya.
Hari ini salah satu guru pembimbing menyuruhku untuk
melakukan latihan vokal. Sebenarnya aku merasa bosan, tapi aku tetap saja
menyanggupinya. Dia ditunjuk sebagai pengiring untuk lomba antar sekolah bulan
depan dan aku yang akan diiringinya. Sungguh menyenangkan, bukan? Berlatih
selama sebulan bersamanya, itu artinya aku bisa menatap wajahnya setiap hari.
Namanya Dika. Dika Aditya. Dia Kakak kelasku dan merupakan
salah satu gitaris terbaik di sekolah. Wajahnya memang tak setampan orang-orang
di luar sana. Namun entah mengapa dia mampu menciutkan hatiku.
Lagi-lagi aku tertawa karena ulahnya bersama
teman-temannya. Sungguh ada saja tingkahnya yang mampu membuatku tertawa.
“Sudah! Jangan bercanda terus. Fokus!” tegas guru pembimbing
kami. Dika dan teman-temannya terlihat langsung diam, begitupun
denganku.
“Ayo Shania. Lanjutkan latihannya,” kata guru pembimbing tersebut. Dia menunjuk Dika yang sedang duduk sambil memangku gitarnya.
“Ayo Shania. Lanjutkan latihannya,” kata guru pembimbing tersebut. Dia menunjuk Dika yang sedang duduk sambil memangku gitarnya.
Aku beranjak
dari dudukku, dengan hati berdebar aku mendekatinya. Tangannya perlahan memetik
gitarnya.
“Ada cinta yang kurasakan.. Saat bertatap dalam canda..”
aku mulai besenandung.
“Stop! Nggak cocok!” seru guru pembimbing itu yang membuat semangatku seketika menjadi buruk sekali. “Saya tinggal sebentar. Setelah saya kembali, suara dan gitarnya harus seirama!” kata guru tersebut sambil berjalan pergi.
“Stop! Nggak cocok!” seru guru pembimbing itu yang membuat semangatku seketika menjadi buruk sekali. “Saya tinggal sebentar. Setelah saya kembali, suara dan gitarnya harus seirama!” kata guru tersebut sambil berjalan pergi.
Aku menghela
napas sambil mengomel sendiri dalam hati. Sungguh sangat menyebalkan. Aku sudah
lelah seharian belajar, kenapa harus ditambah dengan kegiatan seperti ini?
“Dimaklumi
aja. Pak Effendi emang gitu..” kata Dika yang membuatku tak mampu menolak untuk
meliriknya.
Dia berbicara
sambil mengatur senar gitarnya. Hingga dia pun mengangkat tatapannya ke arahku.
Sontak aku kaget saat matanya tepat menatapku. Aku mengalihkan pandanganku
mencoba menetralkan detak jantung yang sempat berkerja dua kali lebih cepat
dari normalnya.
“Ayo kita coba lagi,” ujar Dika. Aku mengangguk. Perlahan
ia mulai memetik gitarnya.
“Ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda.. Ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap, oh indahnya, cinta..” kalimat demi kalimat lagu itu kunyanyikan dengan seluruh kemampuanku.
“Ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda.. Ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap, oh indahnya, cinta..” kalimat demi kalimat lagu itu kunyanyikan dengan seluruh kemampuanku.
Dika pun
menghentikan aktifitasnya. “Oke! Good!” seru Dika yang membuatku tersenyum
mengangguk. Aku menghela napas lega. “Kamu memang mood boosterku Dika..”
batinku tersenyum menatapnya.
Pulang
sekolah, seperti biasanya aku langsung berlari menuju ruang kesenian. Karena
bila aku telat beberapa menit saja, Pak Effendi pasti akan langsung
mengeluarkan jurus bibirnya, alias mengomeliku. Kali ini aku mencoba lagu yang
tak asing lagi di telingaku. Dengan fasih aku menyanyikan lagu itu. Dika yang
memang sudah profesional pun tak bisa diragukan lagi.
Saat kami
sedang beristirahat, terlihat Dika seperti sedang kesulitan. Aku bisa mendengar
itu dari celotehnya.
“Kenapa?” tanyaku mendekatinya.
“Senar gitarnya putus,” jawab Dika memperlihatkan senar gitarnya yang kini sudah menjadi dua bagian.
“Yah, terus gimana?” tanyaku polos.
“Ya harus diganti. Aku pergi beli senar gitar dulu ya,” pamitnya kini beranjak.
“Emang persediaannya nggak ada?” tanyaku lagi.
“Lagi habis,” jawabnya mulai melangkah.
“Eh, ikut!” ucapku sedikit berlari.
“Hah?” Dika menghentikan langkahnya lalu berbalik menatapku.
“Aku takut sendiri..” balasku.
“Senar gitarnya putus,” jawab Dika memperlihatkan senar gitarnya yang kini sudah menjadi dua bagian.
“Yah, terus gimana?” tanyaku polos.
“Ya harus diganti. Aku pergi beli senar gitar dulu ya,” pamitnya kini beranjak.
“Emang persediaannya nggak ada?” tanyaku lagi.
“Lagi habis,” jawabnya mulai melangkah.
“Eh, ikut!” ucapku sedikit berlari.
“Hah?” Dika menghentikan langkahnya lalu berbalik menatapku.
“Aku takut sendiri..” balasku.
Memang suasana
di ruang kesenian ini sedikit menyeramkan. Apalagi Pak Effendi sedang mengambil
sesuatu di kantor, jadi di sini hanya ada aku dan Dika.
“Ya sudah”
sahut Dika. Aku tersenyum kemudian mengikuti langkahnya.
Sebulan
berlalu. Selama sebulan ini aku semakin dekat dengan Dika. Setelah lebih
mengenalnya, ternyata dia lebih dari yang aku kira. Dia baik, lucu dan aku
sangat merasa nyaman saat sedang berada di dekatnya.
Hari ini, hari
di mana kegiatan itu diselenggarakan. Kegiatan ini memang terbagi dalam
berbagai cabang lomba olahraga dan seni. Aku dan Dika mengikuti lomba menyanyi
solo dengan iringan gitar. Aku meremas tanganku yang sudah berkeringat dingin.
Aku melirik Dika yang sedang duduk santai sambil memangku gitarnya.
“Dika, aku deg-degan nih..” ucapku menatapnya. Dika
mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Tenang aja, pesertanya cuma tiga orang kok,” katanya santai yang sontak membuatku menatapnya kaget.
“Hah? Pesertanya ada berapa orang?” tanyaku memastikan kembali.
“Tiga orang.. jadi kamu nggak usah tegang. Minimal kita bisa bawa piala juara tiga,” lagi-lagi Dika berkata santai.
“Tenang aja, pesertanya cuma tiga orang kok,” katanya santai yang sontak membuatku menatapnya kaget.
“Hah? Pesertanya ada berapa orang?” tanyaku memastikan kembali.
“Tiga orang.. jadi kamu nggak usah tegang. Minimal kita bisa bawa piala juara tiga,” lagi-lagi Dika berkata santai.
Aku menunduk.
Bagaimana jika aku dan Dika benar-benar menjadi juara tiga? Memalukan! Berarti
kita yang paling payah.
“Kalau aku tahu pesertanya hanya ada tiga orang, aku tidak
akan mengikuti latihan satu bulan ini. Tanpa latihan pun minimal kita dapat
juara tiga. Dapat piala juga kan?” seruku sungguh sangat jengkel.
Dika tertawa. “Bener juga sih. Kenapa kita harus berlelah-lelah latihan ya? Kalau udah tahu minimal kita dapat juara tiga?” timpal Dika.
“Jadi sebenarnya yang bego siapa sih?” tanyaku.
“Guru pembimbing kita,” bisik Dika. Aku langsung tertawa, begitupun dengannya. Entah mengapa rasa tegang yang tadi sempat muncul kini sirna seiring dengan candaan yang dilontarkan oleh Dika.
Dika tertawa. “Bener juga sih. Kenapa kita harus berlelah-lelah latihan ya? Kalau udah tahu minimal kita dapat juara tiga?” timpal Dika.
“Jadi sebenarnya yang bego siapa sih?” tanyaku.
“Guru pembimbing kita,” bisik Dika. Aku langsung tertawa, begitupun dengannya. Entah mengapa rasa tegang yang tadi sempat muncul kini sirna seiring dengan candaan yang dilontarkan oleh Dika.
Komentar:
Ceritanya bagus, tetapi menggantung sekali. Seakan belum
selesai. Ibu harap kamu punya waktu untuk menyelesaikannya, ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar