Pages

Senin, 19 Oktober 2015

Pelajaran 1: Cerita Pendek

A. Pengertian Teks Cerita Pendek
Cerita pendek atau yang lebih dikenal dengan cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Sebuah cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa, dan pengalaman. Tokoh dalam cerpen tidak mengalami perubahan nasib (Depdiknas, 2014:6).
Cerita pendek, sesuai dengan namanya, memperlihatkan cirri bahasa yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan (Priyanti, 2013:5).  Adapun ciri-ciri sebuah cerpen adalah sebagai berikut.
  1. Bentuk tulisan singkat, padat, dan lebih pendek daripada novel.
  2. Tulisan kurang dari 10.000 kata.
  3. Sumber cerita dari kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri maupun orang lain.
  4. Tidak melukiskan seluruh kehidupan pelakunya karena mengangkat masalah tunggal atau sarinya saja.
  5. Habis dibaca sekali duduk dan hanya mengisahkan sesuatu yang berarti bagi pelakunya.
  6. Tokoh-tokohnya dilukiskan mengalami konflik sampai pada penyelesaiannya.
  7. Penggunaan kata-katanya sangat ekonomis dan mudah dikenal masyarakat.
  8. Meninggalkan kesan mendalam dan efek pada perasaan pembaca.
  9. Menceritakan satu kejadian dari terjadinya perkembangan jiwa dan krisis, tetapi tidak sampai menimbulkan perubahan nasib.
  10. Beralur tunggal dan lurus.
  11. Penokohannya sangat sederhana, singkat, dan tidak mendalam.
B. Struktur Teks Cerita Pendek
Selain mengetahui defenisi dan ciri umum sebuah cerpen, penting bagi kita mengenal struktur di dalamnya. Secara garis besar struktur cerpen adalah sebagai berikut (Depdiknas, 2014:17-19).
  1. Tahapan abstrak merupakan ringkasan atau inti cerita. Abstrak pada sebuah teks cerita pendek bersifat opsional. Artinya sebuah teks cerpen bisa saja tidak melalui tahapan ini.
  2. Tahapan orientasi merupakan struktur yang berisi pengenalan tokoh dan latar cerita. Pengenalan tokoh berkaitan dengan pengenalan perlaku (terutama pelaku utama) yang meliputi apa yang dialami. Pengenalan latar berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerpen. Latar digunakan pengarang untuk menghidupkan cerita dan meyakinkan pembaca. Dengan kata lain, latar merupakan sarana pengekspresian watak, baik secara fisik maupun psikis.
  3. Komplikasi muncul diakibatkan oleh munculnya konflik. Pada tahap ini ditandai dengan reaksi pelaku dalam cerpen terhadap konflik. tahapan penjalinan konflik dimulai dari munculnya konflik, peningkatan konflik, hingga konflik memuncak (klimaks).
  4. Tahap evaluasi ditandai dengan adanya konflik yang mulai diarahkan pada pemecahannya. Setelah konflik mencapai puncaknya tokoh (penulis) akan mengupayakan solusi bagi pemecahan konflik sehingga mulai tampak penyelesaiannya.
  5. Resolusi adalah suatu keadaan di mana konflik terpecahkan dan menemukan penyelesaiannya. Pada tahapan ini ditandai dengan upaya pengarang yang mengungkakan solusi dari berbagai konflik yang dialami tokoh.
  6. Koda adalah bagian akhir sebuah cerita pendek yang diberikan oleh pengarang yang menyuarakan pesan moral sebagai tanggapan terhadap konflik yang terjadi. Ada juga yang menyebut koda dengan istilah reorientasi. Koda merupakan nilai-nilai atau pelajaran yang dapat dipetik oleh pembaca dari sebuah teks. Sama halnya dengan tahapan abstrak, koda ini bersifat opsional.
C. Ciri Kebahasaan Teks Cerita Pendek
  1. Menggunakan penggambaran waktu lampau
  2. Mencantumkan Penyebutan tokoh (nama, kata ganti, julukan, dan sebutan)
  3. Menggunakan Kata-kata yang menggambarkan latar
  4. Memuat kata-kata yang mendiskripsikan pelaku, penampilan fisik, dan kepribadiannya.
  5. Memuat kata-kata yang merujuk pada peristiwa yang dialami pelaku.
  6. Menunjukan sudut pandang pengarang.
D.   Gaya Bahasa

Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu yang membuat cerita itu semakin hidup. Dengan majas, kita dapat mengetahui betapa kayanya perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia.

A. Majas Perbandingan
Majas Perbandingan ialah kata-kata berkias yang menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca”. Ditinjau dari cara pengambilan perbandingannya, Majas Perbandingan dibagi menjadi:

1) Metafora
Dalam KBBI: Me•ta•fo•ra /métafora/ : Pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan, misalnya tulang punggung dalam kalimat pemuda adalah tulang punggung negara. Kata kunci: ada idiomnya.
Contoh:
  • Engkau belahan jantung hatiku sayangku. à sangat penting
  • Raja siang keluar dari ufuk timur à matahari
  • Dia dianggap anak emas majikannya. à anak kesayangan
  • Kambing hitam à penyebab masalah
  • Dewi malam à bulan

2) Personifikasi
Personifikasi adalah majas yang membandingkan benda-benda tak bernyawa (mati) seolah-olah mempunyai sifat seperti manusia (hidup).
Contoh:
  • Badai mengamuk dan merobohkan rumah penduduk.
  • Ombak berkejar-kejaran ke tepi pantai.
  • Peluit wasit menjerit panjang menandai akhir dari pertandingan tersebut.

3) Alegori
Alegori adalah majas yang menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. Alegori biasanya berbentuk cerita yang penuh dengan simbol-simbol bermuatan moral. Kata kunci: mengandung filosofi, biasanya berbentuk kalimat. 
Contoh: 
  • Suami sebagai nahkoda, istri sebagai juru mudi à kehidupan rumah tangga
  • Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut. à filosofi hidup manusia

4) Simbolik
Simbolik adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan benda, binatang, atau tumbuhan sebagai simbol atau lambang.
Contoh:
  • Ia terkenal sebagai buaya darat.
  • Rumah itu hangus dilalap si jago merah.
  • Bunglon, à lambang orang yang tak berpendirian
  • Melati à lambang kesucian
  • Teratai à lambang pengabdian

5) Metonimia
Metonimia adalah majas yang menggunakan ciri atau label dari sebuah benda untuk menggantikan benda tersebut. Pengungkapan tersebut berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Kata kunci: label.
Contoh:
  • Di kantongnya selalu terselib gudang garam. (Mengacu pada à rokok)
  • Setiap pagi Ayah selalu menghirup kapal api. (Mengacu pada à kopi)
  • Ayah pulang dari luar negeri naik garuda (Mengacu pada à pesawat)

6) Sinekdok
Sinekdok adalah majas yang menyebutkan bagian untuk menggantikan benda secara keseluruhan atau sebaliknya. Majas sinekdoke terdiri atas dua bentuk berikut.

Pars pro toto, yaitu menyebutkan sebagian untuk keseluruhan.
    Contoh:
  • Hingga detik ini ia belum kelihatan batang hidungnya.
  • Per kepala mendapat Rp. 300.000.

Totem pro parte, yaitu menyebutkan keseluruhan untuk sebagian.
    Contoh:
  • Dalam pertandingan final bulu tangkis Rt.03 melawan Rt. 07.
  • Indonesia akan memilih idolanya malam nanti.


7) Simile
Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, laksana, bagaikan, umpama, bak, bagai.
Contoh: 
  • Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa saja.

B. Majas Pertentangan 

Majas Pertentangan adalah “Kata-kata berkias yang menyatakan pertentangan dengan yang dimaksudkan sebenarnya oleh pembicara atau penulis dengan maksud untuk memperhebat atau meningkatkan kesan dan pengaruhnya kepada pembaca atau pendengar.” Jenis-jenis Majas Pertentangan dibedakan menjadi berikut.

1) Antitesis
Antitesis adalah majas yang mempergunakan pasangan kata yang berlawanan artinya. (Yang bertentangan adalah kata-katanya)
Contoh:
  • Tua muda, besar kecil, ikut meramaikan festival itu.
  • Miskin kaya, cantik buruk sama saja di mata Tuhan.

2) Paradoks
Paradoks adalah majas yang mengandung pertentangan antara pernyataan dan fakta yang ada. (Yang bertentangan adalah keadaannya)
Contoh:
  • Aku merasa sendirian di tengah kota Jakarta yang ramai ini.
  • Hatiku merintih di tengah hingar bingar pesta yang sedang berlangsung ini.

3) Hiperbola
Majas hiperbola adalah majas yang berupa pernyataan berlebihan dari kenyataannya dengan maksud memberikan kesan mendalam atau meminta perhatian.
Contoh:
  • Suaranya menggelegar membelah angkasa.
  • Tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang.

4) Litotes
Litotes adalah majas yang menyatakan sesuatu dengan cara yang berlawanan dari kenyataannya dengan mengecilkan atau menguranginya. Kata kunci: merendahkan diri.
Contoh:
  • Makanlah seadanya hanya dengan nasi dan air putih saja.
  • Marilah singgah sejenak di gubukku yang sederhana ini.

C. Majas Sindiran
Majas sindiran ialah kata-kata berkias yang menyatakan sindiran untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca”. Majas sindiran dibagi menjadi:

1) Ironi
Ironi adalah majas yang menyatakan hal yang bertentangan dengan maksud menyindir.
Contoh:
  • Ini baru siswa teladan, setiap hari pulang malam.
  • Bagus sekali tulisanmu, sampai tidak dapat dibaca.

2) Sinisme
Sinisme adalah majas yang menyatakan sindiran secara langsung.
Contoh :
  • Perkataanmu tadi sangat menyebalkan, tidak pantas diucapkan oleh orang terpelajar sepertimu.
  • Lama-lama aku bisa jadi gila melihat tingkah lakumu itu.

3) Sarkasme
Sarkasme adalah majas sindiran yang paling kasar. Majas ini biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah.
Contoh:
  • Mau muntah aku melihat wajahmu, pergi kamu!
  • Dasar kerbau dungu, kerja begini saja tidak becus!

D. Majas Penegasan
Majas penegasan ialah kata-kata berkias yang menyatakan penegasan untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca. Majas penegasan terdiri atas tujuh bentuk berikut.



1) Pleonasme
Pleonasme adalah majas yang menggunakan kata-kata secara berlebihan dengan maksud menegaskan arti suatu kata.
Contoh:
  • Semua siswa yang di atas agar segera turun ke bawah. (Kata turun sudah pasti ke bawah. Tidak perlu ditambah ‘ke bawah’ lagi)
  • Mereka mendongak ke atas menyaksikan pertunjukan pesawat tempur.

2) Repetisi
Repetisi adalah majas perulangan kata-kata sebagai penegasan.
Contoh:
  • Dialah yang kutunggu, dialah yang kunanti, dialah yang kuharap.


3) Klimaks
Klimaks adalah majas yang menyatakan beberapa hal berturut-turut dan makin lama makin meningkat.
Contoh:
  • Semua orang dari anak-anak, remaja, hingga orang tua ikut antri minyak.
  • Ketua RT, RW, Kepala Desa, Gubernur, bahkan Presiden sekalipun tak berhak mencampuri urusan pribadi seseorang.

4) Antiklimaks
Antiklimaks adalah majas yang menyatakan beberapa hal berturut-turut yang makin lama semakin menurun.
Contoh:
  • Kepala sekolah, guru, dan siswa juga hadir dalam acara syukuran itu.
  • Di kota dan desa hingga pelosok kampung semua orang merayakan HUT ke-70 RI.

5) Retorik
Retorik adalah majas yang berupa kalimat tanya namun tak memerlukan jawaban. Tujuannya memberikan penegasan, sindiran, atau menggugah.
Contoh:
  • Kata siapa cita-cita bisa didapat cukup dengan sekolah formal saja?
  • Apakah ini orang yang selama ini kamu bangga-banggakan ?

Tambahan:
  1. Majas Eufemisme: Majas ini digunakan untuk menghaluskan nilai rasa yang terkandung dalam suatu kata.
Contoh: Tuna karya à pengangguran
              Lapas à penjara
              Prodeo  à hotel

  1. Majas Alusio. Majas ini mengandung peristiwa atau tokoh-tokoh yang artinya sudah diketahui umum.
Contoh: Sekarang dibutuhkan Kartini-kartini baru untuk menghadapi persaingan global.



Contoh Cerita Pendek:

Pelajaran Mengarang

oleh: Seno Gumira Ajidarma



Pelajaran mengarang sudah dimulai.


Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.

Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.


Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.


Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.


Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.


Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.


“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.


***


Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.


“Mama, apakah Sandra punya Papa?”


“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”


Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.


Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.


“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”

Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.


Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.


“Anak siapa itu?”


“Marti.”


“Bapaknya?”


“Mana aku tahu!”


Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.


“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”


“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”


Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.


***


Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.


Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.


“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”


Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”


Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.


“Mama kerja apa, sih?”


Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.


Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”


Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.


“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”


“Seperti Mama?”


“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”


Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …


Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.


     


DITUNGGU DI MANDARIN

KAMAR: 505, PKL 20.00


     


Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.


***


Empat puluh menit lewat sudah.


“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.


Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.


Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.


“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.


Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.


Ia  juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.


“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.


Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.



Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.

Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:


Ibuku seorang pelacur…


                     


Palmerah, 30 November 1991


*) Dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992.  Terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1993. Dikutip dari http://sukab.wordpress.com/2008/02/03/pelajaran-mengarang/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar