Pages

Minggu, 18 Oktober 2015

Behind The Scene


Short Story by: Septiana Sari

            Aku ingin mengakhiri hidupku saat ini juga. Apa gunanya hidup kalau kehadiranmu tidak benar-benar diinginkan.
            Orangtuaku sering bertengkar akhir-akhir ini, entah apa yang membuat mereka berubah semenjak Jane, kakak satu-satuku, menikah dengan Andrew. Suaminya mengajak kakakku untuk tinggal di rumah yang sudah dibuatnya, sayangnya rumah itu ada di luar kota. Andrew bilang di daerah Virginia. Sedangkan kami tinggal di Union Township, New Jersey.
            Di rumah, kini tersisa tiga orang saja, hanya ada aku, mom, dan dad. Kami memang bisa dibilang keluarga harmonis, meskipun tetap ada masalah yang berujung percekcokan tapi semuanya bisa kembali dengan baik. Hidup tidak akan pernah sempurna, seharmonis apapun pasti selalu ada masalah didalamnya. Aku begitu menyayangi mereka, karena mereka lah satu-satunya keluarga yang kupunya. Tapi, bagaimana jika satu malam saja menghancurkan seluruh rasa cintamu pada mereka selama bertahun-tahun.
            Bukannya sengaja mendengar, tapi saat itu aku akan mencari minuman di dapur, aku melewati depan pintu kamar mereka.

            “ Sudah kubilang, aku tidak ingin memiliki anak lagi sejak dulu. Lalu sekarang kau menyalahkanku tidak bisa mengurus Andrea,” Refleks kakiku berhenti didepan pintu kamar saat aku mendengar namaku disebut. Nada suara mom dengan aksen inggris yang begitu ditekan setiap kalimatnya menunjukkan bahwa mereka sedang bertengkar hebat namun berusaha agar tidak terdengar olehku.
            “ Siapa yang menyalahkanmu?! Aku hanya memintamu untuk mengendalikan Andrea, aku tidak suka dia sering pulang malam. Dan apa tadi yang kau bilang? Kau tidak menginginkan anak lagi? Lalu untuk apa kau besarkan dia sampai sekarang?! ” Dad berusaha untuk membela diri. Aku masih diam di tempat, jantungku mulai berdetak tak karuan.
            “ Hey kau ini lupa atau apa?! Dulu aku juga berusaha untuk menggugurkan kandunganku, bahkan kau juga mencoba mendapatkan berbagai obat-obatan agar…” Belum selesai mom berkata, Dad sudah menyelanya. Aku benar-benar terkejut pada apa yang baru saja ku dengar. Aku berusaha menahan air mata.
            “ Diam kau! Apa gunanya mengungkit masa lalu, sudah tujuh belas tahun kita besarkan Andrea, jangan pernah mengungkap semua itu lagi. Aku tidak suka…”  Belum selesai dad berbicara, aku berlari menuju kamarku. Aku tidak percaya dengan apa yang mereka bicarakan, aku tidak diinginkan oleh orangtuaku? Bagaimana bisa mereka menyembunyikan kebusukan ini begitu rapat hingga usiaku kini yang sudah beranjak dewasa. Mereka begitu menyayangiku selama ini, tidak pernah membedakan antara aku dan kakakku, tak ada tanda-tanda pula bahwa aku ini sebenarnya anak yang ‘tidak diinginkan’ oleh kedua orangtuaku, mana mungkin aku bisa mempercayai apa yang kudengar tadi. Ini tidak mungkin. Aku harap ini hanya mimpi buruk, dan aku ingin segera terbangun. Tapi..tidak. Ini kenyataan Andrea, kenyataan pahit yang harus kau terima. Jika seperti ini, bagaimana aku bisa percaya lagi pada orangtua ku. Aku terdiam di sudut tempat tidur, menatap keluar jendela, memandangi sorot lampu keemasan New Jersey yang yang terkadang kabur dari pandangan karena air mata yang  terus mendesak keluar.

**
Hari-hariku selalu terasa tak berguna, langkah demi langkah kakiku tak ada artinya lagi di dunia ini semenjak apa yang kudengar malam itu. Aku mulai membenci diriku sendiri. Keesokannya mom dan dad masih berlagak bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa pertengkaran mereka malam itu bagaikan sandiwara penuh khayal, dan perkataan mereka itu hanya mereka yang tahu. Mereka tidak tahu bahwa aku telah mendengar percakapan mereka.
            “ Are you okay buddy? ” Mom mengusap rambutku dengan kecupan kecil dikening. Sepertinya mom merasa ada yang berbeda dengan sikapku, raut wajahnya sedikit cemas.
            “ I’m fine mom, don’t worry.” Jawabku yang terdengar seperti bergumam. Aku bukan tipe orang yang pandai menyembunyikan perasaan, sepertinya kemampuan menyimpan rahasia jitu yang dimiliki orangtua ku tidak mendarah daging padaku.
            Selesai kami sarapan. Bukan kami, lebih tepatnya hanya mom dan dad ku. Aku muak untuk makan bersama semua sandiwara mereka. Aku meninggalkan mereka dahulu sambil menyambar slingbag hitam di meja panjang ruang makan tanpa meninggalkan kata-kata. Cepat-cepat aku mengenakan sepatu booth dan hendak membuka pintu rumah.
            “ Andrea mau kemana ?” Teriak dad dari ruang makan.
            Aku memutar bola mata “ Pergi sebentar.” Sekali lagi aku menjawab tak berantusias.
            “ Jangan pulang malam-malam, ingat hanya sampai pukul delapan malam.” Aku tidak peduli dengan kata-kata dad yang masih terdengar meskipun aku sudah keluar. Aku jadi ingat pertengkaran itu, aku memang terkadang pulang malam, tapi aku tidak seburuk apa yang mereka pikirkan. Aku pergi hanya untuk  menghibur diri karena tidak ada Jane lagi di rumah, biasanya Jane yang menemaniku kemana-mana, toh mom dad orang sibuk, mereka sering lembur, jadi untuk apa aku menunggu rumah kosong seorang diri. Ini New Jersey, jalanan selalu terang meskipun sudah malam, aku tidak akan tersesat. Lagi pula untuk apa mereka memperdulikanku padahal mereka tidak menginginkanku. Oh ya, ingat Andrea, itu sandiwara. Aku merasa sekarang mindset ku telah berubah, aku seperti tidak lagi dapat kepedulian orangtuaku dengan pikiran positif. Aku ingin keluar dari semua ini.

**
            Musim gugur selalu begitu indah, aku menyusuri jalanan pusat kota New Jersey. Melintasi trotoar demi trotoar yang dihiasi dedaunan kering warna-warni yang berjatuhan bebas, mengikuti langkah-langkah cepat orang sibuk. Maklum, aku tidak punya kesibukan. Aku baru saja lulus dari SMA, tapi aku belum menemukan universitas yang cocok dengan passion ku. Aku suka menggambar, lebih tepatnya mendesain pakaian. Jadi, aku ingin menjadi seorang desainer. Dan kelihatannya aku cukup ahli disitu, buktinya pernikahan kakakku akulah yang mendesain bajunya. Aku berharap dapat menemukan universitas yang mau menerima kebodohanku, tapi mana ada yang mau menerima murid bodoh pula. Ya seperti itu, prestasi ku pas-pasan, bisa masuk ranking sepuluh besar saja sudah istimewa. Dulu, aku berusaha untuk meningkatkan prestasiku, berusaha membuat orangtuaku bangga tapi setelah aku tahu semua ini, mungkin otakku yang pas-pasan karena obat-obatan yang diminum mom untuk menggugurkanku, mom dad harusnya bersyukur aku tetap lahir normal secara fisik dan mental. Berbeda sekali dengan kakakku, Jane sangat pandai, dia sering ranking satu kalau tidak ya dua, dia suka belajar dengan teori dan menghafal, hidupnya penuh kedisiplinan. Jane juga perempuan tulen, sikapnya yang lemah lembut cocok dengan pekerjaannya sekarang. Dan..dia terlahir karena diinginkan oleh mom dan dad. Setidaknya aku bangga kakakku adalah seorang dokter anak. Nah aku? Perempuan dengan masa depan yang tidak jelas, tidak ada yang bisa dibanggakan dariku, hidup sesuka hatiku ditambah lagi kehadiranku yang tidak diinginkan di dunia ini, orangtuaku saja hampir ingin membuangku bahkan sebelum aku bisa bernafas. Itu yang paling buruk. Tiba-tiba lamunanku buyar dengan dering ponsel di genggamanku. Aku melihat nama di layar ponsel yang membuat senyumku mengembang.
            “ Andreaaa..” Suara nyaring kakakku disana serasa meluruhkan beban hatiku.
            “ Jane” Suaraku tercekat. Aku hampir saja meneteskan air mata jika tanganku tidak cepat-cepat menutup mulut. Aku menutup mataku sejenak, berusaha mengatur nafas. Aku begitu merindukan kakakku, lebih lagi suasana sedang seperti ini.
            “ Haloo Andrea kau masih disana ? Andrea kau baik-baik saja ?” Jane mulai cemas karena aku membiarkan jeda sejenak.
            Aku berusaha membuat nadaku terdengar ceria “ Jane, apa kabar ?”
            “ Aku baik-baik saja. Kenapa kau tidak pernah meneleponku ? Kau ini jahat sekali.” Suaranya seperti anak kecil pura-pura menangis. Kakakku ini memang terkadang seperti anak kecil di usia kami yang terpaut lima tahun.
            “ Maafkan aku Jane, aku takut mengganggumu disana. Kau sedang apa? Andrew kerja ?”
            “ Yaampun, memangnya kakakmu ini tidak mau mengangkat telepon dari adik tercintanya. Aku sedang istirahat, lumayan sibuk sih. Andrew lagi ngerjain projectnya buat akhir tahun.”
Apa kamu benar-benar menganggapku adikmu Jane?Apa kamu menginginkanku ada?
            “ Oh..” Aku tidak tahu lagi harus menjawab apa
            “ Kamu lagi dimana kok kayaknya rame banget?” Telinga Jane terlalu jeli dengan lingkungan sekitarku. Aku juga sedang berada di Riverside Cafe , duduk di kursi putih di luar cafe , jadi orang-orang berlalu lalang begitu dekat.
            “ Iya, aku lagi di cafe, nggaktau mau ngapain. Di rumah sepi, mom dad bakal pulang malem. Jane aku kangen kamu di rumah, kapan kamu pulang kesini?”
            “ Sejak kapan adikku yang tomboy sok mellow gini sih?” terdengar Jane terkekeh disana “ Aku belum tau kapan pulang, aku sama Andrew juga nggak ada hari libur, gimana kalau kamu kesini aja? Kan kamu nggak ada kerjaan.”
            “ Ya kapan-kapan kalau ada...” Belum selesai, Jane sudah memotong.
            “ Eh, udah dulu ya ada pasien baru, telepon balik kalau perlu.” Nada terputus.

            Sebenarnya aku ingin sekali menceritakan semua ini pada Jane, rasanya tinggal Jane yang masih bisa kuharapkan. Aku yakin Jane belum tahu tentang semua ini.

**
            Akhir-akhir ini aku benar-benar kacau, aku sering pulang malam. Aku selalu kabur saat sarapan, aku tidak suka berkumpul dengan orang rumah, mengobrol saja jarang. Aku merasa diriku benar-benar berubah buruk, tidak pernah aku bertingkah brutal seperti ini, dulu aku sering disebut teman-teman dad ‘gadis kecil Christoper (nama dad)’, karena aku anak yang begitu penurut dan lebih dekat dengan dad. Kini semuanya berubah karena rahasia itu. Aku pulang sekitar pukul sebelas malam bersama Scott, temanku. Kami baru saja pergi dari pesta ulangtahun teman. Baru saja akan membuka pintu terdengar mom dan dad bertengkar. Aku berniat untuk kembali ke mobil Scott yang masih menunggu di seberang dan menginap di rumahnya, tidak akan tenang tinggal di rumah seperti itu. Tapi aku berpikir resiko yang lebih buruk bila aku tidak pulang. Aku menganggukkan kepala ke arah Scott sebagai isyarat bahwa aku baik-baik saja dan dia bisa meninggalkanku. Scott melambaikan tangan dan mulai memacu mobilnya pergi.
            “ Dari mana saja kau Andrea?” Bentakan dad langsung menyambar saat aku hendak meletakkan sepatuku di rak balik pintu “ Kau pikir kelakuanmu itu sudah baik? Pulang malam bersama laki-laki. Pergi saja tidak usah pulang! Aku tidak suka dengan anak seperti itu” Dad mungkin melihat dari jendela aku pulang bersama Scott.
            “ Lihat anakmu Lucy, kau ini memang tidak becus mengurus anak!” Dad masih mendominasi pertengkaran ini.
            “ Teruskan saja kau menyalahkanku! Kau pikir hanya aku yang harus mengurus anak? Dia juga anakmu! Kau juga gagal mengurus keluarga.” Mom berteriak di depan wajah dad sambil mengarahkan jarinya pada dad.
            Aku masih terdiam disudut ruang tamu melihat mom dan dad bertengkar, tak ada rasa apapun melihat mereka bertengkar, hatiku juga memanas dengan apa yang terus mereka lakukan. Aku benar-benar ingin kabur dari rumah ini sekarang juga.
            “ Sudah kubilang aku tidak ingin memiliki anak...” Mom berteriak pada kami semua, aku memotongnya karena aku tahu apa yang akan dikatannya.
            “ Mom tidak ingin memiliki anak lagi, mom tidak ingin melahirkanku. Kalian ingin menggugurkan aku agar aku tidak hidup kan? Itu yang akan mom bilang, iya kan mom? Aku ini salah apa mom sampai kau ingin membuangku? ” Sambil terisak aku mengutarakan kalimat itu, hatiku perih merasakan semua ini. Mom dan dad yang masih kaget terdiam kaku tanpa kata dengan ucapanku.
            “ Aku sudah tahu, aku mendengar pertengkaran kalian malam itu. Kalian pikir aku tuli? Kalian pikir aku masih kecil? Aku akan pergi karena kalian memang tidak menginginkan aku hidup. Dad tidak perlu malu dengan ulah anakmu ini lagi yang selalu pulang malam, aku akan pergi dari rumah ini dad.  Aku memang tidak bisa dibanggakan seperti Jane. Tapi aku akan membuktikan bahwa anak yang tidak kalian inginkan ini..” Aku kembali berteriak sambil menunjuk diriku sendiri “ akan menjadi orang hebat, kalian akan menyesal tidak menginginkanku ada. Lihat saja, aku akan berhasil.”

            Aku mengemasi barang-barangku kedalam koper, dokumen-dokumen penting termasuk ijasah berusaha untuk tidak kulupakan. Sambil mengusap air mata yang terus berjatuhan aku merapikan tempat tidur yang masih berantakan, tak mau meninggalkan beban bagi mom untuk membersihkannya. Aku keluar membawa koper dan tas ransel di punggung, mom yang sudah menungguku sejak tadi berusaha mencegahku pergi.
            “ Jangan tinggalkan mom Andrea, siapa lagi yang akan menemani mom.” Mom menangis begitu kencang tanpa melepas tanganku dari genggaman. Hatiku semakin tak karuan untuk meninggalkan rumah ini.
            “ Mom sayang sekali padamu Andrea, itu hanya masa lalu. Maafkan mom Andreaa..maafkan mom..” Aku berusaha melepas tangan mom, mom yang sudah terduduk di lantai sambil terus menarik tanganku dan memohon agar aku tidak pergi membuat tangisku semakin menjadi. Dad juga berusaha menghentikanku tapi bagaimanapun juga tekadku sudah bulat. Maafkan anakmu ini mom, dad.
            Aku terus menyeret koperku menyusuri jalanan malam New Jersey, punggungku semakin pegal dengan tas ransel, entah sudah berapa lama aku berjalan meninggalkan rumah tapi ini sudah sampai di jalanan besar. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi kepadaku dengan berjalan sendiri ditengah malam, meskipun kehidupan malam masih berlangsung ramai tidak mustahil kejahatan bisa menghampiri. Sejak keluar dari rumah aku tidak tahu kemana tempat yang akan kutuju. Badanku benar-benar berantakan, rambut sebahu yang terlihat seperti diterpa badai, baju lengan panjang tak beraturan, tinggal celana jeans panjang kebiruan yang masih terlihat rapi. Malam musim gugur yang hampir habis mulai menghadirkan rasa dingin, aku terus berjalan sambil sesekali mengusap air mata.
            Aku mengikuti bus sampai di bandara Liberty Newark. Aku memikirkan untuk ke bandara karena aku tadi sempat berpikir untuk menemui Jane di Virginia. Mataku begitu sembab, segelintir orang yang berlalu lalang melihatku dengan tatapan aneh, mungkin mereka mengira aku korban pengusiran. Syukurlah masih ada satu penerbangan terakhir menuju Virginia, lima belas menit lagi akan berangkat. Selesai check-in, aku melihat seorang wanita paruh baya duduk sendiri di seberang ruangan, ia terlihat sedang menunduk sambil menangis, apakah ia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Saat aku berjalan ke arah wanita itu untuk duduk, aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Wanita itu…Mom.
            Mom terlihat kaget melihatku berdiri di depannya“ Andrea.. Andrea kemari, kau mau pergi kemana?” Suara itu membuatku tak bisa berkata. Bagaimana bisa mom ada disini. Mom terus menangis menatapku.
            “ Kenapa mom disini? Mom tidak perlu pergi, pulang mom..sekarang tidak ada yang perlu mom khawatirkan. Aku akan baik-baik saja.” Aku terus menahan air mataku. Bagaimana perasaanmu bila keadaan seperti ini, disaat kau ingin menjauh dari orang yang kau sayang kau justru bertemu dengannya sebelum kepergianmu. Tepat saat itu pemberitahuan pesawat akan berangkat, aku tidak tahu lagi apakah harus pergi atau.. membiarkan mom menangis sendiri disana. Dengan langkah berat aku menguatkan hati meninggalkan mom yang masih duduk menatapku menjauh darinya, penyesalan terlihat jelas di wajahnya. Sebenarnya aku tidak bisa melakukan ini, aku begitu menyayangi mom.

**
            “ Halo, Jane?” Aku langsung menyambar begitu terdengar telepon diangkat.
            “ Sorry, aku Andrew, siapa?” Aku terkejut bahwa Andrew yang mengangkat, aku harap dia tidak menyadari suaraku yang terdengar panik.
            “ Maaf, bisa aku bicara dengan kakakku. Aku Andrea.” Jawabku cemas.
            “ Oh..Andrea. Oke..sebentar aku panggilkan.” Terdengar di seberang sana ia memanggil nama kakakku.
            “ Ya halo, ada apa menelepon pagi-pagi?” Aku melirik jam tangan untuk memastikan ini pagi, ternyata benar aku sampai lupa waktu.
            “ Jane, temui aku sekarang di Dulles International Airport.” Kataku sambil mengeja nama bandara itu. “Aku sampai di Virginia. Cepat!” Pintaku dengan nada mendesak. Aku mendengar Jane sedikit terkejut.
            “ Kau kenapa tiba-tiba. But, oke-oke.” Jane langsung menutup ponselnya.
            Aku menunggu Jane sambil melihat sekeliling, ternyata benar ini masih sangat pagi. Udara masih begitu dingin, lebih lagi aku masih memakai baju semalam yang tipis. Tidak ada jaket yang ku bawa.
            20 menit kemudian
“ Andrea!” Seseorang berteriak kencang memanggilku. Wanita berbaju merah selutut itu begitu cantik, rambut lurus kecoklatan ia biarkan terurai di belakang, dan dibelakangnya laki-laki bertubuh atletis dengan sweater kecoklatan yang bagian lengannya ditarik hingga ke siku, memperlihatkan tangannya yang kekar, tampan sekali.
            “ Jane!” Aku memeluk kakakku erat, ingin sekali menumpahkan air mata saat itu juga.
            “ Hello Andrea, senang bisa bertemu kamu lagi.” Andrew memelukku saat aku melepas Jane, sayangnya aku harus berjinjit karena tubuh laki-laki itu yang terlalu tinggi. Atau mungkin aku yang terlalu mungil.

            Rumah Jane yang terletak di Vienna, Virginia begitu nyaman. Ada taman luas di bagian belakangnya. Rumah itu didominasi perpaduan warna putih dan hitam memberikan kesan vintage yang elegan. Aura bahagia sudah terasa saat aku memasuki rumah ini. Ada tangga kecil menuju lantai atas, bagian dinding tangga dipasang foto-foto pernikahan Jane dan Andrew. Tentu saja ada aku, mom, dan dad disana. Kami semua masih bahagia saat itu, tidak seperti sekarang. Miris.
            Kami duduk  di halaman belakang rumah yang mengahadap taman,  hampir setengah jam lebih aku bercerita tentang semuanya yang kurasakan, sebab aku pergi, dan pastinya rahasia itu. Aku meluapkan segalanya pada Jane. Jane tak dapat menahan tangisnya juga karena aku yang terus menangis sepanjang cerita, Andrew yang duduk di samping Jane terus mendengar dengan raut muka begitu sedih. Mereka benar-benar tidak menyangka. Akhirnya, hatiku lega dapat bercerita semuanya.

**
            Aku sampai di New York bersama Andrew. Saat aku di rumah Jane tiba-tiba ia mendapat telepon bahwa mom akan tinggal bersama mereka sementara waktu. Tidak mungkin mom menemukanku di rumah Jane. Aku berpesan pada Jane untuk tidak menceritakan apapun pada mom tentangku. Aku segera melancarkan misiku untuk pergi, …Aku akan membuktikan bahwa anak yang tidak kalian inginkan ini akan menjadi orang hebat, kalian akan menyesal tidak menginginkanku ada. Lihat saja, aku akan berhasil…kata-kata itu terus terngiang di otakku, menjadikan sesuatu yang harus kutebus, aku tidak mungkin mengkhianati diriku sendiri karena perkataan itu.
            Selesai menemukan apartemen, Andrew meninggalkanku karena ia harus segera pulang. Biaya apartemen akan dibayar kakakku, selain itu aku akan melakukannya sendiri, termasuk membiayai kuliahku. Ini bagian dari lembaran baru hidupku, aku akan hidup sendiri. Akan kubuktikan pada mom dan dad bahwa aku bisa. Selesai merapikan kamar, aku menyalakan ponsel yang belum ku nyalakan sejak aku pergi dari rumah. 21 misscall dari dad dan mom. Aku masih menyayangimu dad, mom. Biarkan aku mewujudkan mimpiku sendiri.
           
**
            Kali ini saatnya menata masa depan. Tiga hari mencari universitas disini, akhirnya aku menemukan tempat yang sangat cocok denganku. Berbagai tahap aku lalui, dan akhirnya kini aku resmi menjadi murid baru di Parsons The New School for Design, NY. Aku mengambil mata kuliah Fashion Design selama tiga tahun, sesuai apa yang kuinginkan.
            New York terasa asing bagiku, aku belum pernah kesini sebelumnya. Apalagi ini hari pertamaku menjadi anak kuliah, aku tidak pernah menyangka untuk kuliah di New York dengan nilaiku yang pas-pasan, tapi kali ini aku benar-benar ingin memperbaiki diri yang sempat tenggalam saat masih di New Jersey. Andrea yang baru akan dimulai. Dan pastinya kata-kata itu yang menjadi penyemangat hidupku sekarang, kata-kata yang harus ku tebus.
            Aku menghidupi diriku sendiri dengan caraku, kerja part time ku lakukan demi membiayai kuliahku, dan untuk biaya sehari-hari. Sebenarnya Jane mau membiayai ku, tapi aku tidak mau, aku tidak ingin membebani siapapun. Aku kadang bekerja sebagai waiters di cafe, lalu menjadi guru les privat anak-anak di apartemen, setidaknya aku masih memahami pelajaran anak sekolah dasar. Aku menjalani pekerjaan apapun yang bisa ku bagi dengan waktu kuliah, dan yang penting pekerjaan itu baik.
            Selesai  bekerja di cafe hari sudah larut, lampu-lampu jalan dan iklan-iklan besar mulai menghiasi langit New York. Aku menyusuri jalan menuju apartemen, langkahku terhenti karena getaran ponselku dari dalam tas.
            “ Halo, ada apa Jane?” Jawabku saat melihat namanya di ponselku.
            “ Andrea…”
            “ Mm..mom. Mom kenapa?” Tubuhku bergetar mendengar suara mom yang lemah, aku mendudukkan diri di salah satu kursi cafe yang diletakkan di luar, tidak peduli meskipun aku tidak membeli apapun dari cafe itu.
Ada jeda disana, dan aku masih menunggu dengan khawatir “ Kamu kapan pulang? Mom rindu sama Andrea. Bagaimana keadaanmu?” Jawaban mom diiringi tangis kecil.
            “ Mom aku baik-baik saja. Aku belum tahu mom, secepatnya,” Mana mungkin tiga tahun itu akan cepat “Aku juga merindukanmu.” Satu butir air mata mengalir cepat dipipiku diikuti butiran lainnya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali mendengar suara mom. Dan kini aku mendengar suara itu tak berdaya.           
“ Andrea, mom sakit sekarang. Dia ingin kamu pulang,” Mendengar suara Jane mengambil alih,aku segera menghapus air mata.
            “ Mom masih di rumahmu sampai sekarang?” Teringat ini sudah enam bulan sejak kepergianku dan kedatangan mom di rumah Jane.
            “ Tidak, aku pulang ke Jersey saat dad telepon kalau mom sakit. Aku harap kamu bisa pulang cepat.” Suara Jane terdengar cemas disana.
            “ Aku belum tau, tolong jaga mom disana. Telepon aku nanti lagi, aku sedang di jalan.” Lagi-lagi air mataku mulai turun deras, aku kembali melanjutkan perjalanan dengan lemas. Selalu teringat suara lemah mom memanggil namaku.

            Ini adalah hal paling berat bagiku. Mendapatkan kabar bahwa mom sakit dan aku tidak bisa apa-apa untuknya. Sejak aku tinggal disini, sedikit demi sedikit kenyataan aku tidak diinginkan mulai hilang, aku mulai mengkhawatirkan mom dan dad disana. Tapi tidak mungkin aku kembali sekarang dengan tangan hampa pada mereka.

**
3 tahun kemudian…
            Seusai kelulusanku dari Parsons, aku mendapatkan kontrak kerjasama untuk desain pakaian artis-artis, aku juga bekerja sama dengan para perancang busana senior di Amerika. Tidak pernah ku sangka hidupku akan sampai pada titik ini, dimana namaku kini menjadi label brand fashion di Amerika. Andrea Luciana. Tidak pernah terbesit juga aku akan lulus dengan mengantongi sertifikat cumlaude. Sekarang saatnya aku kembali, Andrea dengan masa lalu suram bahkan tanpa arah, Andrea yang pernah ‘tak diinginkan’, Andrea yang bodoh dan selalu pulang malam kini telah berubah. Aku telah menebus perkataanku padamu mom, dad. Tunggu aku pulang.
            Seminggu ini aku bekerja sama dengan Jane dan Andrew untuk merayakan kepulanganku ke New Jersey, aku meminta Andrew yang merupakan seorang interior designer untuk menyiapkan tempat pertemuan dengan orangtua ku. Aku ingin memberikan kejutan untuk mereka. 
**
            Hari Minggu ini aku akan kembali ke New Jersey, jadi mom dan dad tidak bekerja. Andrew bilang dia sudah menyiapkan sebuah tempat istimewa di Passion Puddle, dia selalu bisa diandalkan.
            Sampai di bandara sore hari, aku dan Alex tidak langsung ke rumah. Menunggu hingga malam datang dan candle light dinner yang Andrew bilang unforgettable. Tentunya Jane sudah mengurus kedatangan mom dan dad.
            Aku datang ke tempat yang sudah dibilang Andrew. Luar biasa. Ternyata benar apa yang dikatakannya. Andrew menyiapkan sebuah tempat dinner yang sudah didesainnya dengan nuansa putih dihiasi lilin-lilin di meja dan juga lilin yang telah disusun membentuk sebuah jalan kecil. Bunga-bunga sengaja ditebarkan kesana kemari. Passion Puddle sungguh luar biasa, dinner kami menghadap ke danau dengan air mancur di tengahnya, pohon besar yang tinggal menyisakan ranting disulap Andrew menjadi pohon cahaya dengan lampu-lampu kecil keemasan.
            “ Perfect! Thanks udah buat kayak gini.” Aku memeluk Andrew yang menunggu responku begitu datang ke tempat itu.
            “ Aku merasa kau begitu mempercayakanku dengan semua ini, jadi aku tak mau mengecewakanmu.” Andrew berkata dengan bangga.
            Dari kejauhan Jane terlihat menuntun mom dan dad perlahan yang matanya tengah tertutup. Senyumnya mengembang begitu mendekat padaku.
            “ Mom..dad. Ini aku…” Aku berkata perlahan tepat saat mereka berhenti di depanku.
            Cepat-cepat mom dan dad membuka penutup kepalanya dengan kasar. Aku segera memeluk mereka bersamaan, mom langsung menumpahkan tangisnya di bahuku. Aku pun begitu. Sesaat suasana menjadi haru, tak ada yang berani bersuara, hanya terdengar suara tangisanku dan mom.
            “ Mom senang sekali kau pulang, mom tidak menyangka dengan semua ini. Kau sudah sukses Andrea, kau sudah berhasil, mom bangga padamu. Maafkan mom selama ini.”
            Dad juga menyusul “ Dad bangga padamu Andrea, dad sangat bersalah padamu. Dad sudah membiarkanmu pergi, tapi kau luar biasa. Ku kira kau akan melupakan kami semua.”
            Aku menarik mom dan dad mendekat padaku, sekarang aku ada di tengah-tengah mereka. “ Mom..dad..” Aku memandang mereka bergantian, ku lihat kulitnya yang mulai menua “ Aku seperti ini karena kalian, aku pergi dengan janjiku bahwa aku akan berhasil. Kalianlah yang menguatkan ku. Terimakasih mom dan dad yang masih mau menungguku selama ini.” Sekali lagi aku memeluk mom dan dad.
            “ Kau ini anak kita, tidak mungkin kita melepaskanmu Andrea.” Mom mencium keningku, aku melingkarkan tanganku di tubuh mom, dan rasanya semua beban ini telah berakhir.

            Semua ini benar-benar diluar dugaanku, kebahagiaan ini serasa menggantikan seluruh keterpurukan masa lalu, dan ternyata rencana Tuhan begitu indah untuk tetap membiarkanku hidup. Thanks God for everything!

***

           
           Komentar:
Hai, Septiana.
Cerita kamu bagus sekali! Settingnya di luar negeri. Kamu pasti riset sebelum menulis kan? Itu luar biasa. Hanya, cobalah untuk mengedit tulisanmu ya. Masih ada sedikit tata bahasa yang salah. Tapi menurut ibu secara keseluruhan sudah bagus. Semangat ya!
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar