Story by: Shafira Aurelia
XI-IIS 2
Aku tahu, ada milyaran cinta Ayah kepada Bunda yang
terkenang dalam namaku.Aubrey. Kini, aku pun menyadari pada namaku, ada melodi
lain yang mengalun indah. Berbisik tentang mimpi-mimpi. Lewat tatap dingin dan
dunianya yang hening.
Pertama kali Aubrey menyadari kehadiran cowok itu, saat
ia sedang latihan voli bersama teman-teman satu timnya. Bola yang
dikembalikannya melambung tinggi, kemudain jatuh menggelinding menuju
bangku-bangku semen tempat para siswa biasa duduk, agak jauh dari pinggir
lapangan. Teman-temannya terdengar mengeluh bersamaan.
“Aubrey, kamu yang ambil, ya! Tanggung jawab pokoknya!”
seru Firas yang berada di seberangnya.
“Iya, iya…” Aubrey langsung berlari melesat menuju salah
satu bangku semen, tempat bola volinya menggelinding. Saat itu, ia baru
menyadari, ada seseorang yang sedang duduk menunduk, asyik membaca buku, di
bangku semen itu.
“Hai, lihat bola voli nyasar nggak?” tanua Aubrey pada
cowok itu. Cowok itu bergeming, seperti tidak menyadari kehadiran Aubrey di
dekatnya.
“Halo? Permisi? Tuan? Mister? Mas? Mbak?”
Cowok itu melirik sekilas kea rah Aubrey, dan—astaga, dia
kembali menunduk untuk melanjutkan bacaannya.
“Aubrey, sudah ketemu bolanya?” teriakan Firas dari
kejauhan menyadarkan Aubrey. Sambil menggerutu dan mondar-mandir, matanya
kembali jelalatan. Duh,kemana sih perginya bola itu?”
“Tolong, kamu jenis makhluk dari planet apa? Nggak ngerti
bahasaku, ya? Aku cari bola voli!”
Cowok itu kembali menatap Aubrey. Bergeming. Dan kebekuan
sikapnya itu menghabiskan kesabaran Aubrey.
“Autis!” Aubrey menggerutu tanpa sadar.
Dengan satu gerakan cepat yang nyaris tidak tertangkap
mata. Cowok itu sudah menendang barang yang Aubrey cari. Tersembunyi di
belakang dua kakinya yang menekuk selama itu.
Aubrey bisa melihat mata hitam cowok itu mengilat marah
saat ia berdiri tegak di hadapan Aubrey sebelum berlalu cepat. “jangan pernah
panggil aku autis!”
Aubrey tersentak oleh perasaan menyesal yang muncul
tiba-tiba.
“Dia Arkan, anak kelas 11 juga. Memang autis
anaknya,nggak pernah gaul. Ke mana-mana selalu sendiri. Seing bolos, pula!”
Firas menjelaskan sewaktu Aubrey bercerita tentang kejadian di bangku semen
beberapa waktu lalu.
Sejak kejadian itu, Aubrey memang menyimpan perasaan
bersalah yang terus menganggunya. Ia tidak menyangka, Arkan akan semarah itu
kepadanya. Tapi, gadis itu juga belum menemukan cara untuk meminta maaf pada
cowok itu. Lagi pula, sangat sulit untuk menemukan Arkan di sekolah sebesar
ini. Dia seperti hantu. Kadang muncul, kadang menghilang.
Tidak disangkanya, kesempatan itu justru dating di tempat
yang jauh dari kata favorit untuk di datangi. Perpustakaan.
“Duh, Firas, ngapain sih kita ke sini? Jangan
lama-lama,ya! Aku nggak bias…” bisik Aubrey, agak kencang. Ibu penjaga perpustakaan
melirik tajam Aubrey. Aubrey dan Firas tersenyum meminta maaf.
“Sssstttt,sudah, tenang
dulu. Jangan bikin heboh! Ini buat tugas Bahasa Indonesia kita. Lusa
dikumpulkan, tahu!”
“Tapi, Firas…” Aubrey belum sempat menjelaskan alasanya.
Firas sudah melotot sambil tersenyum manis pada gadis itu. Aubrey hanya bias
pasrah, sambil menahan gatal di hidungnya.
Firas menarik tangan Aubrey ke tempat rak buku berisi
novel-novel klasik. Sementara Firas asyik memilih novel untuk dibuat
resensinya, Aubrey sibuk mengosok-gosokan hidungnya yang semakin gatal dan
merag.
` Saat itulah ia melihat Arkan. Duduk
menunduk. Sibuk membaca buku di hadapannya. Di meja Arkan, ada sebungkus besar
tisu isi ulang yang terlihat masih penuh. Tanpa berpikir dua kali, Aubrey langsung
menghampiri Arkan,. Tisu itulah tujuan utama Aubrey.
Dengan cepat, Aubrey mengambil beberapa lembar tisu
sekaligus, lalu menutup hidung dan mulutnya. Segera saja, suara bersinnya
terdengar berkali-kali, sulit berhenti.
Arkan mengangkat wajahnya. Wajahnya yang tanpa ekspresi
memperhatikan Aubrey.
“Ups, sorry,” kata Aubrey setelah bersinnya mereda. Mata
mereka bertemu, tapi Arkan tetap bergeming sepeti batu.
“Aku Aubrey. Masih ingat?” Aubrey kembali bersin-bersin.
Gadis itu kembali mengambil tisu di hadapnnya. “bola voli?”
Arkan diam. Tapi, Aubrey melihat kilat keterkejutan di
mata Arkan saat ia menyebut namanya.
“Aku… mau minta maaf atas ucapanku waktu itu. Tentang
autis.” Aubrey bersin lagi. “Walau kamu juga seharusnya, kan, membantu aku. Minimal
menjawab pertanyaanku.”
Arkan tersenyum tipis. Aubrey terpana.
“sudah?” suara Arkan terdengar lebih ramah.
Aubrey mengangguk bingung.
“iya,sudah. Aku dimaafkan, kan?”
“maksudku, sudah tisunya? Aku mau balik ke kelas.”
“maksudku, sudah tisunya? Aku mau balik ke kelas.”
Aubrey merasakan wajahnya merah memanas. Gadis itu tidak
bersuara lagi, hanya mengangguk pelan. Dia piker, tis itu milik perpustakaan.
Dan hebatnya lagi, dia langsung menghabiskan separuh bungkus tisu isi ulang
milik Arkan.
“sudah aku maafkan.”bisik Arkan ketika berjalan melewati
Aubrey.
Firas yang menyaksikan mereka sampai susah payah menahan
tawanya.
“
jadi, Aubrey, siapa yang autis sekaranh?” goda Firas setelah Arkan berlalu.
Aubrey cemberut. “ aku enggak suka ke perpustakaan karena
buku-buku di sini berdebu. Aku alergi debu,tahu!”
Siang itu, saat sekolah sudah sepi, Aubrey mengangkap
nada-nada yang terdengar tidak asing di telinganya. Denting piano yang mengalun
lembut dari ruang music seperti menarik Aubrey. Melodinya membawa pikiran Aubrey
pada kenangan ketika Ayah bernyanyi untuk Bunda.
Gadis itu berdiri diam di depan pintu ruang music. Tanpa
suara, dibukanya pintu di hadapannya pelan. Sesorang di pojok ruangan duduk
bermain piano sambil bernyanyi lembut. Arkan.
And Aubrey was her name
A not so very ordinary girl or name
But who’s to blame?
For a love that wouldn’t bloom
For the hearts that never played in tune
Like a lovely melody that everyone can sing
Take away the words that rhyme, it doesn’t mean a thing
( Aubrey by David Gates. Dipopulerkan oleh Bread)
Aubrey menahan napas dan nyaris melayang di udara, kalau
saja badannya tidak kehilangan keseimbangan dan condong ke depan menabrak pintu
ruang music. Mata Arkan menangkap kejadian itu, dan melodi indah yang sedang
mengalun pun terhenti seketika.
Arkan mengangkat wajahnya dan mendapati Aubrey yang
berdiri di pintu, salah tingkah.
“Jangan berhenti,” pinta Aubrey.
“Sejak kapan kamu di situ?”
Aubrey tidak menjawab pertanyaan Arkan. “oh, lanjutkan
Arkan! Terakhir kali aku mendengar lagu ini dinyanyikan Ayah untuk Bunda tiga
tahun yang lalu.”
Arkan diam. Sedikit bingung dan malu. “aku tidak mau”
katanya akhirnya sambil berdiri dan menyambar tasnya yang tergeletak di lantai.
Dengan cepat, Arkan melewati Aubrey di pintu. Namun,
Aubrey terus mengikuti langkahnya.
“arkan,
aku nggak tahu kamu bias bermain piano seindah itu. Dan baru kali ini aku
mendengar Aubrey dinyanyikan dengan
cara seperti kamu.”
Arkan
diam tidak menjawab.
“arkan..”
Aubrey berusah memanggil, tapi cowok itu mengabaikannya, dan bersiap untuk
menyeberang jalan. Aubrey menyusul dan berhenti tepat di hadapan pemuda itu.
Mereka saling menatap.
“Dengar!
Kamu pasti akan jadi pemusik yang hebat. Aku yakin itu. Hanya saja, kamu harus
lebih banyak membuka dirimu. Cobalah peduli, sedikit saja, pada sekelilingmu!”
Dalam
diam,Aubrey berusaha menamai sorot mata Arkan. Sedih. Sepi. Luka.
Angin
pagi mempermainkan anak-anak rambut Aubrey,saat gadis itu tekun membaca buku
dit tangannya. Bangku semen yang didudukinya masih basah oleh embun. Tapi,
Audrey tidak peduli.
Gadis
itu sengaja datang lebih awal. Sudah beberapa pagi, Aubrey memergoki Arkan
membca buku di sini. Ada satu yang begitu ingin Aubrey tanyakan pada cowok itu.
Metika
Aubrey mengangkat wajah, matanya menangkap sosok Arkan yang sedang berjalan ke
arahnya. Kening cowok itu berkerut melihat Audrey. Seperti tidak senang melihat
tempat duduk favoritnya sudah terisi.
“Halo,”
Audrey menyapa Arkan sambil tersenyum, “ kamu dating terlambat pagi ini.”
Seperti
biasa, Arkan menatap Audrey tanpa ekspresi. Cowok itu tegak berdiri di hadapan
Aubrey.
“cukup
terlambat untuk seseorang menduduki tempatku.”
“hei,
ini bangku umum. Siapa pun bias duduk disini, termasuk aku.” Aubrey protes.
Arkan
mengedik, tidak peduli. Tapi,dia tidak beranjak, seakan menunggu Aubrey
berbicara lagi.
“kamu
tahu, tidak sopan berbicara sambil berdiri pada orang yang sedang duduk.”
“aku
lebih nyaman seperti ini.”
Aubrey
menghela napas. Sulit sekali memancing keramahan cowok ini. Arkan selalu
serius, tanpa senyum, dengan tatapan mata yang menghujam lawan bicaranya.
“boleh
aku menanyakan sesuatu?” Aubrey tiba-tiba teringat alasannya datangg sepagi itu
menunggu Arkan.
Sesaat,
mata tajam Arkan seperti hendak langsung menolak keinginan Aubrey. Tapi, sorotnya
kemudian perlahan melembut. “apa?”
“hmm,
mengapa kamu begitu marah dipanggil autis? Itu kan hal biasa diantara teman.
Aku pun terkadang dipanggil autis oleh mereka”
Arkan
terdiam sebentar.”aku pikir, kata itu tidak pantas digunakan untuk mengejek orang.
Tidak ada anak yang memilih untuk dilahirkan autis.”
“kalau
itu aku setuju. Tapi, kamu sadar nggak sih,bagaimana sikapmu? Kamu jarang
bergaul,tidak peduli pada sekelilingmu, seakan-akan duniamu berbeda dengan
kami. Kamu begitu…dingin.”
Arkan
tersenyum mengejak. “terkadang, kita begitu sibuk dan usil menilai orang lain,
menuduhnya tidak berperasaan. Sementara, tanpa sadar, kata-kata yang kita
lontarkan sendiri juga melukai orang lain. Tanpa perasaan”
Aubrey
terhenyak, kembali menyesal.”maafkan aku,Arkan. Tapi,kamu sebenarnya bisa tersenyum,kan?”
bisik gadis itu, belum menyerah.
“sulit
untuk tersenyum saat kamu berusaha untuk memahami orang lain.”
Mereka
kembali saling menatap dalam hening. Seperti gunung es yang menjulang tinggi.
Itulah Arkan di mata Aubrey.
Aubrey
tidak bisa mengerti dirinya sendiri. Seminggu tanpa melihat Arkan, bisa
membuatnya nekat menanyakan alamat cowok itu ke pihak sekolah. Mereka bilang
Arkan sakit. Dan Aubrey sungguh mengkhawatirkan Arkan.
Dan
di sinilah ia sekarang. Duduk di sofa ruang tamu yang nyaman. Sebuah piano
tampak manis terlihat di sudut ruangan. Sementarar beberapa pigura foto
menghiasi dinding ruang tamu. Semuanya berisis foto seorang anak lelaki kecil
yang sedang asyik bermain.
“itu
Abi, adik Arkan.” Mama Arkan
menjelaskan. Wanita cantik itu tersenyum lembut memperhatikan Aubrey.
“oh,di
mana dia sekarang, tante?”
Mama
Arkan terdiam sebentar. “Abi sudah tidak ada. Tertabrak mobil saat tiba-tiba
berlari keluar pagar. Abi itu autis. Kesadarannya akan bahaya kurang sekali.
Dia juga mininm kontak sosial dengan sekelilingnya. Asyik dengan dunianya
sendiri.”
Aubrey
tercekat. Sebuah kesadaran menyentaknya.
Menjelaskan
sebab Arkan begitu marah saat gadis itu menyebutnya autis. Pasti cowok itu
teringat adiknya. Ddan, oh, betapa teganya Aubrey terus menunggu Arkan dengan
kata itu.
“maaf
tante” bisik Aubrey menyesal.
“tidak
apa-apa sayang. Tante malah mau berterima kasih sama kamu.”
Aubrey
menatap Mama Arkan tidak mengerti.
“beberapa
minggu terakhir, tante dan om senang sekali Arkan mulai bermain piano lagi.
Padahal, sejak Abi meninggal dua tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi
menyentuh piano. Dan kamu tahu lagu apa yang selalu dimainkannya? Aubrey.
Lahu-lagu Bread memang favoritnya sejak dulu. Walau, rasanya, baru kali ini ia
begitu menaruh perhatian kepada Aubrey.”
Aubrey
menatap Mama Arkan tidak percaya. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.
“selama
ini,tante dan om selalu menyemangatinya. Menceritakan kisah Beethoven, Stevie
Wonder, bahkan Thomas Alva Edison. Kami percaya, tidak ada yang bisa menahan
mimpi-mimpi kita, kecuali diri kita sendiri. Dan Arkan harus tau itu.”
Melihat
wajah Aubrey yang terlihat bingung,Mama Arkan menggenggam tangan Aubrey hangat.
“sewaktu
Abi tertabrak, Arkan berusaha menyelamatkan adiknya. Kepalanya terbentur keras,
dan Arkan kehilangan satu pendengarannya. Sementara pendengarannya yang lain
juga tidak berfungsi dengan baik. Tapi, Arkan belajar cepat untuk bisa membaca
gerak bibir seseorang. Hanya saja, dia jadi seperti kehilangan semangat untuk
mengejar mimpinya selama ini. Bermain piano.”
Ah,
semuanya menjadi terang seperti matahari pagi yang menyinari bumi setelah gelap
malam. Aubrey sesak oleh rasa haru yang memenuhi ruang hatinya.
Ketika
Arkan keluar dari kamarnya untuk menemui Aubrey, gadis itu bisa melihat bola
matanya yang hitam, terasa hangat kini.
Aubrey
tersenyum menatap Arkan
Berbicara
lewat matanya.
Aku
rindu melodi Aubrey-mu!!
Komentar:
Ceritanya
baguuus, sekali! Hanya kurang panjang. Sebagai pembaca, Ibu merasa sepertinya
kamu harus menuntaskan kisah ini… selamat, Shafira!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar