Pages

Minggu, 18 Oktober 2015

Melodi Aubrey

Story by: Shafira Aurelia
XI-IIS 2

            Aku tahu, ada milyaran cinta Ayah kepada Bunda yang terkenang dalam namaku.Aubrey. Kini, aku pun menyadari pada namaku, ada melodi lain yang mengalun indah. Berbisik tentang mimpi-mimpi. Lewat tatap dingin dan dunianya yang hening.
            Pertama kali Aubrey menyadari kehadiran cowok itu, saat ia sedang latihan voli bersama teman-teman satu timnya. Bola yang dikembalikannya melambung tinggi, kemudain jatuh menggelinding menuju bangku-bangku semen tempat para siswa biasa duduk, agak jauh dari pinggir lapangan. Teman-temannya terdengar mengeluh bersamaan.
            “Aubrey, kamu yang ambil, ya! Tanggung jawab pokoknya!” seru Firas yang berada di seberangnya.
            “Iya, iya…” Aubrey langsung berlari melesat menuju salah satu bangku semen, tempat bola volinya menggelinding. Saat itu, ia baru menyadari, ada seseorang yang sedang duduk menunduk, asyik membaca buku, di bangku semen itu.
            “Hai, lihat bola voli nyasar nggak?” tanua Aubrey pada cowok itu. Cowok itu bergeming, seperti tidak menyadari kehadiran Aubrey di dekatnya.
            “Halo? Permisi? Tuan? Mister? Mas? Mbak?”
            Cowok itu melirik sekilas kea rah Aubrey, dan—astaga, dia kembali menunduk untuk melanjutkan bacaannya.

            “Aubrey, sudah ketemu bolanya?” teriakan Firas dari kejauhan menyadarkan Aubrey. Sambil menggerutu dan mondar-mandir, matanya kembali jelalatan. Duh,kemana sih perginya bola itu?”
            “Tolong, kamu jenis makhluk dari planet apa? Nggak ngerti bahasaku, ya? Aku cari bola voli!”
            Cowok itu kembali menatap Aubrey. Bergeming. Dan kebekuan sikapnya itu menghabiskan kesabaran Aubrey.
            “Autis!” Aubrey menggerutu tanpa sadar.
            Dengan satu gerakan cepat yang nyaris tidak tertangkap mata. Cowok itu sudah menendang barang yang Aubrey cari. Tersembunyi di belakang dua kakinya yang menekuk selama itu.
            Aubrey bisa melihat mata hitam cowok itu mengilat marah saat ia berdiri tegak di hadapan Aubrey sebelum berlalu cepat. “jangan pernah panggil aku autis!”
            Aubrey tersentak oleh perasaan menyesal yang muncul tiba-tiba.
            “Dia Arkan, anak kelas 11 juga. Memang autis anaknya,nggak pernah gaul. Ke mana-mana selalu sendiri. Seing bolos, pula!” Firas menjelaskan sewaktu Aubrey bercerita tentang kejadian di bangku semen beberapa waktu lalu.
            Sejak kejadian itu, Aubrey memang menyimpan perasaan bersalah yang terus menganggunya. Ia tidak menyangka, Arkan akan semarah itu kepadanya. Tapi, gadis itu juga belum menemukan cara untuk meminta maaf pada cowok itu. Lagi pula, sangat sulit untuk menemukan Arkan di sekolah sebesar ini. Dia seperti hantu. Kadang muncul, kadang menghilang.
            Tidak disangkanya, kesempatan itu justru dating di tempat yang jauh dari kata favorit untuk di datangi. Perpustakaan.
            “Duh, Firas, ngapain sih kita ke sini? Jangan lama-lama,ya! Aku nggak bias…” bisik Aubrey, agak kencang. Ibu penjaga perpustakaan melirik tajam Aubrey. Aubrey dan Firas tersenyum meminta maaf.
“Sssstttt,sudah, tenang dulu. Jangan bikin heboh! Ini buat tugas Bahasa Indonesia kita. Lusa dikumpulkan, tahu!”
            “Tapi, Firas…” Aubrey belum sempat menjelaskan alasanya. Firas sudah melotot sambil tersenyum manis pada gadis itu. Aubrey hanya bias pasrah, sambil menahan gatal di hidungnya.
            Firas menarik tangan Aubrey ke tempat rak buku berisi novel-novel klasik. Sementara Firas asyik memilih novel untuk dibuat resensinya, Aubrey sibuk mengosok-gosokan hidungnya yang semakin gatal dan merag.
`           Saat itulah ia melihat Arkan. Duduk menunduk. Sibuk membaca buku di hadapannya. Di meja Arkan, ada sebungkus besar tisu isi ulang yang terlihat masih penuh. Tanpa berpikir dua kali, Aubrey langsung menghampiri Arkan,. Tisu itulah tujuan utama Aubrey.
            Dengan cepat, Aubrey mengambil beberapa lembar tisu sekaligus, lalu menutup hidung dan mulutnya. Segera saja, suara bersinnya terdengar berkali-kali, sulit berhenti.
            Arkan mengangkat wajahnya. Wajahnya yang tanpa ekspresi memperhatikan Aubrey.
            “Ups, sorry,” kata Aubrey setelah bersinnya mereda. Mata mereka bertemu, tapi Arkan tetap bergeming sepeti batu.
            “Aku Aubrey. Masih ingat?” Aubrey kembali bersin-bersin. Gadis itu kembali mengambil tisu di hadapnnya. “bola voli?”
            Arkan diam. Tapi, Aubrey melihat kilat keterkejutan di mata Arkan saat ia menyebut namanya.
            “Aku… mau minta maaf atas ucapanku waktu itu. Tentang autis.” Aubrey bersin lagi. “Walau kamu juga seharusnya, kan, membantu aku. Minimal menjawab pertanyaanku.”
            Arkan tersenyum tipis. Aubrey terpana.
            “sudah?” suara Arkan terdengar lebih ramah.
            Aubrey mengangguk bingung.
            “iya,sudah. Aku dimaafkan, kan?”
            “maksudku, sudah tisunya? Aku mau balik ke kelas.”
            Aubrey merasakan wajahnya merah memanas. Gadis itu tidak bersuara lagi, hanya mengangguk pelan. Dia piker, tis itu milik perpustakaan. Dan hebatnya lagi, dia langsung menghabiskan separuh bungkus tisu isi ulang milik Arkan.
            “sudah aku maafkan.”bisik Arkan ketika berjalan melewati Aubrey.
            Firas yang menyaksikan mereka sampai susah payah menahan tawanya.
“ jadi, Aubrey, siapa yang autis sekaranh?” goda Firas setelah Arkan berlalu.
            Aubrey cemberut. “ aku enggak suka ke perpustakaan karena buku-buku di sini berdebu. Aku alergi debu,tahu!”
            Siang itu, saat sekolah sudah sepi, Aubrey mengangkap nada-nada yang terdengar tidak asing di telinganya. Denting piano yang mengalun lembut dari ruang music seperti menarik Aubrey. Melodinya membawa pikiran Aubrey pada kenangan ketika Ayah bernyanyi untuk Bunda.
            Gadis itu berdiri diam di depan pintu ruang music. Tanpa suara, dibukanya pintu di hadapannya pelan. Sesorang di pojok ruangan duduk bermain piano sambil bernyanyi lembut. Arkan.
            And Aubrey was her name
            A not so very ordinary girl or name
            But who’s to blame?
            For a love that wouldn’t bloom
            For the hearts that never played in tune
            Like a lovely melody that everyone can sing
            Take away the words that rhyme, it doesn’t mean a thing
            ( Aubrey by David Gates. Dipopulerkan oleh Bread)
            Aubrey menahan napas dan nyaris melayang di udara, kalau saja badannya tidak kehilangan keseimbangan dan condong ke depan menabrak pintu ruang music. Mata Arkan menangkap kejadian itu, dan melodi indah yang sedang mengalun pun terhenti seketika.
            Arkan mengangkat wajahnya dan mendapati Aubrey yang berdiri di pintu, salah tingkah.
            “Jangan berhenti,” pinta Aubrey.
            “Sejak kapan kamu di situ?”
            Aubrey tidak menjawab pertanyaan Arkan. “oh, lanjutkan Arkan! Terakhir kali aku mendengar lagu ini dinyanyikan Ayah untuk Bunda tiga tahun yang lalu.”
            Arkan diam. Sedikit bingung dan malu. “aku tidak mau” katanya akhirnya sambil berdiri dan menyambar tasnya yang tergeletak di lantai.
            Dengan cepat, Arkan melewati Aubrey di pintu. Namun, Aubrey terus mengikuti langkahnya.
“arkan, aku nggak tahu kamu bias bermain piano seindah itu. Dan baru kali ini aku mendengar Aubrey dinyanyikan dengan cara seperti kamu.”
Arkan diam tidak menjawab.
“arkan..” Aubrey berusah memanggil, tapi cowok itu mengabaikannya, dan bersiap untuk menyeberang jalan. Aubrey menyusul dan berhenti tepat di hadapan pemuda itu. Mereka saling menatap.
“Dengar! Kamu pasti akan jadi pemusik yang hebat. Aku yakin itu. Hanya saja, kamu harus lebih banyak membuka dirimu. Cobalah peduli, sedikit saja, pada sekelilingmu!”
Dalam diam,Aubrey berusaha menamai sorot mata Arkan. Sedih. Sepi. Luka.
Angin pagi mempermainkan anak-anak rambut Aubrey,saat gadis itu tekun membaca buku dit tangannya. Bangku semen yang didudukinya masih basah oleh embun. Tapi, Audrey tidak peduli.
Gadis itu sengaja datang lebih awal. Sudah beberapa pagi, Aubrey memergoki Arkan membca buku di sini. Ada satu yang begitu ingin Aubrey tanyakan pada cowok itu.
Metika Aubrey mengangkat wajah, matanya menangkap sosok Arkan yang sedang berjalan ke arahnya. Kening cowok itu berkerut melihat Audrey. Seperti tidak senang melihat tempat duduk favoritnya sudah terisi.
“Halo,” Audrey menyapa Arkan sambil tersenyum, “ kamu dating terlambat pagi ini.”
Seperti biasa, Arkan menatap Audrey tanpa ekspresi. Cowok itu tegak berdiri di hadapan Aubrey.
“cukup terlambat untuk seseorang menduduki tempatku.”
“hei, ini bangku umum. Siapa pun bias duduk disini, termasuk aku.” Aubrey protes.
Arkan mengedik, tidak peduli. Tapi,dia tidak beranjak, seakan menunggu Aubrey berbicara lagi.
“kamu tahu, tidak sopan berbicara sambil berdiri pada orang yang sedang duduk.”
“aku lebih nyaman seperti ini.”
Aubrey menghela napas. Sulit sekali memancing keramahan cowok ini. Arkan selalu serius, tanpa senyum, dengan tatapan mata yang menghujam lawan bicaranya.
“boleh aku menanyakan sesuatu?” Aubrey tiba-tiba teringat alasannya datangg sepagi itu menunggu Arkan.
Sesaat, mata tajam Arkan seperti hendak langsung menolak keinginan Aubrey. Tapi, sorotnya kemudian perlahan melembut. “apa?”
“hmm, mengapa kamu begitu marah dipanggil autis? Itu kan hal biasa diantara teman. Aku pun terkadang dipanggil autis oleh mereka”
Arkan terdiam sebentar.”aku pikir, kata itu tidak pantas digunakan untuk mengejek orang. Tidak ada anak yang memilih untuk dilahirkan autis.”
“kalau itu aku setuju. Tapi, kamu sadar nggak sih,bagaimana sikapmu? Kamu jarang bergaul,tidak peduli pada sekelilingmu, seakan-akan duniamu berbeda dengan kami. Kamu begitu…dingin.”
Arkan tersenyum mengejak. “terkadang, kita begitu sibuk dan usil menilai orang lain, menuduhnya tidak berperasaan. Sementara, tanpa sadar, kata-kata yang kita lontarkan sendiri juga melukai orang lain. Tanpa perasaan”
Aubrey terhenyak, kembali menyesal.”maafkan aku,Arkan. Tapi,kamu sebenarnya bisa tersenyum,kan?” bisik gadis itu, belum menyerah.
“sulit untuk tersenyum saat kamu berusaha untuk memahami orang lain.”
Mereka kembali saling menatap dalam hening. Seperti gunung es yang menjulang tinggi. Itulah Arkan di mata Aubrey.
Aubrey tidak bisa mengerti dirinya sendiri. Seminggu tanpa melihat Arkan, bisa membuatnya nekat menanyakan alamat cowok itu ke pihak sekolah. Mereka bilang Arkan sakit. Dan Aubrey sungguh mengkhawatirkan Arkan.
Dan di sinilah ia sekarang. Duduk di sofa ruang tamu yang nyaman. Sebuah piano tampak manis terlihat di sudut ruangan. Sementarar beberapa pigura foto menghiasi dinding ruang tamu. Semuanya berisis foto seorang anak lelaki kecil yang sedang asyik bermain.
“itu Abi, adik Arkan.”  Mama Arkan menjelaskan. Wanita cantik itu tersenyum lembut memperhatikan Aubrey.
“oh,di mana dia sekarang, tante?”
Mama Arkan terdiam sebentar. “Abi sudah tidak ada. Tertabrak mobil saat tiba-tiba berlari keluar pagar. Abi itu autis. Kesadarannya akan bahaya kurang sekali. Dia juga mininm kontak sosial dengan sekelilingnya. Asyik dengan dunianya sendiri.”
Aubrey tercekat. Sebuah kesadaran menyentaknya.
Menjelaskan sebab Arkan begitu marah saat gadis itu menyebutnya autis. Pasti cowok itu teringat adiknya. Ddan, oh, betapa teganya Aubrey terus menunggu Arkan dengan kata itu.
“maaf tante” bisik Aubrey menyesal.
“tidak apa-apa sayang. Tante malah mau berterima kasih sama kamu.”
Aubrey menatap Mama Arkan tidak mengerti.
“beberapa minggu terakhir, tante dan om senang sekali Arkan mulai bermain piano lagi. Padahal, sejak Abi meninggal dua tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi menyentuh piano. Dan kamu tahu lagu apa yang selalu dimainkannya? Aubrey. Lahu-lagu Bread memang favoritnya sejak dulu. Walau, rasanya, baru kali ini ia begitu menaruh perhatian kepada Aubrey.”
Aubrey menatap Mama Arkan tidak percaya. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.
“selama ini,tante dan om selalu menyemangatinya. Menceritakan kisah Beethoven, Stevie Wonder, bahkan Thomas Alva Edison. Kami percaya, tidak ada yang bisa menahan mimpi-mimpi kita, kecuali diri kita sendiri. Dan Arkan harus tau itu.”
Melihat wajah Aubrey yang terlihat bingung,Mama Arkan menggenggam tangan Aubrey hangat.
“sewaktu Abi tertabrak, Arkan berusaha menyelamatkan adiknya. Kepalanya terbentur keras, dan Arkan kehilangan satu pendengarannya. Sementara pendengarannya yang lain juga tidak berfungsi dengan baik. Tapi, Arkan belajar cepat untuk bisa membaca gerak bibir seseorang. Hanya saja, dia jadi seperti kehilangan semangat untuk mengejar mimpinya selama ini. Bermain piano.”
Ah, semuanya menjadi terang seperti matahari pagi yang menyinari bumi setelah gelap malam. Aubrey sesak oleh rasa haru yang memenuhi ruang hatinya.
Ketika Arkan keluar dari kamarnya untuk menemui Aubrey, gadis itu bisa melihat bola matanya yang hitam, terasa hangat kini.
Aubrey tersenyum menatap Arkan
Berbicara lewat matanya.
Aku rindu melodi Aubrey-mu!!

Komentar:
Ceritanya baguuus, sekali! Hanya kurang panjang. Sebagai pembaca, Ibu merasa sepertinya kamu harus menuntaskan kisah ini… selamat, Shafira!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar