Story by: Maria Sania
XI-IIS 2
Septi
duduk terdiam di kantin sekolah, menikmati semangkuk soto yang sudah tidak panas.
Ia hanya termenung, entah apa yang ada di pikirannya. Wajahnya pun nampak lesu,
tidak bersemangat, dan kurang bersahabat. Jauh sebelum hal ini terjadi, Septi
dikenal riang dan ceria.
Septi yang merupakan anak dari
seorang guru SD (Sekolah Dasar) ini pandai. Ia pun sekolah di salah satu
sekolah favorit di kota nya. Ia gemar mengikuti ekstrakulikuler, bahkan gemar
sekali menyanyi. Ia pun bertemu dengan sosok pria yang masih asing dimatanya.
Pria itu bernama Rio. Berbadan tinggi, berkacamata, dan juga ramah. Pertama
kali bertatap muka, semua terasa biasa karena memang belum saling mengenal.
Ekstrakulikuler ini makin disibukkan
dengan banyak hal. Entah mengisi penyambutan tamu, latihan untuk lomba, bahkan
untuk acara keagamaan. Mau tidak mau mereka berdua harus bisa saling kenal.
Karena kebetulan posisi mereka yang cukup dekat. Tetapi memang Septi belum
berani untuk memulai suatu percakapan dengan orang baru. Ia takut jika Rio
mengira Septi terlalu mencari perhatiannya saja.
Septi bergumam dan menyanyikan
sebuah lagu dengan lirih. “Suaramu merdu juga” kata Rio yang sedang kebetulan
lewat dihadapannya. “Oh, ya. Terima kasih” jawab Septi penuh malu.
“Ngomong-ngomong, namaku Rio dari kelas 12G. Kamu Septi kan?” “Iya Rio, aku
dari 12A” “Oh oke, salam kenal ya”
Mulai dari situ muncul banyak
pertanyaan di kepala Septi, dimana dia bisa tau namaku dan hal-hal lainnya.
Pada saat itu Septi belum berpikir hal-hal yang aneh. Ia masih menganggap
sebatas teman biasa. Beberapa hari kemudian, handphone Septi berbunyi. Ada notifikasi dari Sosial Media nya, dan ternyata dari Rio.
Rio memulai percakapan di Sosial Media dengan Septi. Pertama hanya
percakapan biasa, dan masih canggung. Lama kelamaan Septi sedikit terganggu
dengan Rio. Rio sering berkata kasar dan terkesan tidak sopan. Kadang juga
leluconnya terkesan menjatuhkan. Septi pun berniat untuk menjauh dari Rio
dengan cara menghapus kontaknya dan mulai untuk tidak berhubungan dengan Rio.
Dua hari menjelang, muncul
notifikasi dari Rio. Septi berniat untuk tidak membalasnya, tetapi dia
penasaran tentang Rio. Akhirnya mereka pun memulai kembali percakapannya.
“Septi, maaf ya sekiranya aku terlalu kasar dengan kamu. Aku tidak bermaksud
sama sekali” tulis Rio. Septi pun kaget, ternyata orang seperti Rio juga tau
caranya meminta maaf. “Oh tidak apa-apa. Aku sudah melupakan masalah itu” jawab
Septi.
Septi mulai merasakan ada sesuatu
antara dirinya dan Rio. Akhir-akhir ini Rio pun sering melakukan hal baik bagi
Septi sendiri maupun dengan teman yang lainnya. Setiap hari pun Rio selalu
menghubungi Septi, entah menanyakan jadwal latian atau tentang pelajaran.
Hari demi hari, bulan demi bulan Rio
dan Septi semakin akrab saja. Mereka semakin kenal dan juga saling tegur sapa.
Septi mulai terkagum dengan sosok Rio yang berparas tampan dan juga ramah. Rio
pun humoris dan makin membuat seorang Septi menjadi makin kagum.
Begitu juga dengan Rio, ia mulai
tertarik dengan Septi. Lalu ia memutuskan untuk mendekati Septi. Percakapan
mereka pun sudah mulai berbeda. Dari yang hanya membicarakan masalah lagu
menjadi ke hal yang pribadi. Jika dulu
bertanya “Apa kamu sudah hafal lagu ini?” menjadi “Apa lagu kesukaanmu?”
Banyak hal yang berubah dari diri
Rio dan juga Septi. Mereka lebih sering bersenda gurau dan tampak ceria. Teman
Septi pun sudah banyak yang mengira bahwa memang ada sesuatu di antara mereka.
Hingga suatu hari, tanggal 10
Desember 2014 Rio memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada Septi. Ia sudah
yakin bahwa Septi punya perasaan yang sama. “Septi, aku sudah sangat lama
menantikan hari ini. Hari yang akan menjadi sangat bersejarah untuk aku dan
kamu. Awalnya memang aku tidak berniat untuk kenal denganmu, tetapi semua
berlangsung sangat cepat dan sekarang aku sangat tertarik denganmu.”
Septi pun menjawab, “Ternyata kita
punya perasaan yang sama, dulu aku benar-benar tidak ingin mengenalmu karena
sifatmu yang sangat kasar. Namun, sekarang justru aku tertarik denganmu.”
“Lalu, maukah kau menjadi pasanganku Septi?” Septi langsung menjawab dengan
nada pasti, “Tentu Rio.”
Mulai sejak itu Septi menjadi lebih
ceria, mungkin karena ada kehadiran Rio di kehidupannya sekarang. Timbul juga
panggilan-panggilan sayang yang mungkin terkesan agak lucu bahkan aneh
dihadapan orang lain. Princess, baby, dan yang lain-lain.
Suatu hari mereka berdua sedang
duduk berdua di kantin, sambil menikmati nasi goreng yang dilengkapi dengan telur setengah matang. Mereka tertawa
terbahak-bahak, entah membicarakan hal apa. Mereka tampak sangat bahagia dan
banyak juga teman-teman Septi yang iri akan kebahagiaan mereka. Rio menatap
mata Septi penuh ketulusan, menggenggam tangannya, dan juga memeluknya. Sungguh
beruntung Septi bisa memiliki pria sebaik Rio.
Tak terasa sudah 4 bulan berjalan.
Hubungan mereka masih baik-baik saja bahkan makin erat. Ditambah lagi mereka
memiliki ekstrakulikuler yang sama, sehingga mereka bisa sering bertatap muka.
Rio pun juga tidak bosan untuk menghubungi Septi tiap harinya. Entah hanya
mengucapkan selamat pagi atau selamat malam. Selama ini juga belum ada konflik
yang cukup berarti.
Hingga suatu saat Septi merasa ada
sesuatu hal yang ganjil. Tiap kali ia bertemu dengan Rio, terkadang membuang
muka. Saat diajak berbicara, terkadang tidak fokus. Bahkan yang lebih parah,
Rio malah sibuk dengan handphone nya.
Dan saat ditanya, dia selalu menjawab “Aku sedang menghubungi orang tuaku”.
Mulai dari situ muncul banyak kecurigaan di hati Septi.
Septi tak tinggal diam, ia mencoba
berbicara masalah ini pada Rio. “Aku bingung denganmu, Rio. Akhir-akhir ini kau
berbeda, tak seperti biasanya.” “Apa yang salah denganku?” “Kamu tidak lagi
perhatian dan peduli, aku tidak tahu ini hanya perasaanku saja atau bagaimana.”
“Tenanglah Sep, aku tak akan berubah. Jika aku ada salah tolong maafkan,
mungkin aku secara tidak sengaja melukai hatimu.” Septi menganggukan kepalanya
tanda ia telah memaafkan Rio.
Masalah tidak selesai sampai disitu,
lama kelamaan Rio menjadi lebih cuek bahkan tidak lagi peduli dengan Septi.
Septi selalu menghubungi Rio, dengan harapan itu semua hanya perasaan Septi.
Namun ia merasa seperti seorang wartawan, selalu menanyakan dan mencari topik
tanpa diberi tanggapan yang baik. Dibalas sebatas ‘ya’ atau ‘tidak’. Wanita
mana yang ingin diperlakukan seperti itu. Septi mencurahkan isi hatinya pada
seorang sahabatnya, dan ia rasa hal ini sudah tidak bisa ditolerir. Septi tak
mau merasa sakit hati hanya karena seorang pria.
Septi memutuskan untuk berpisah dengan
Rio secara baik-baik. Ia tak ingin setelah ini mereka menjadi saling membenci
dan tak ingin mengenal lagi. Rio pun menerima dengan baik walaupun sebenarnya
ia tak rela melepas Septi. Anehnya Rio tidak menanyakan apa alasan Septi untuk
berpisah. Hal ini semakin meyakinkan Septi bahwa Rio sudah tidak menyayanginya.
Walaupun jauh di dalam lubuk hati Septi, masih sangat sayang dengan Rio. Tapi
keputusannya sudah bulat untuk berpisah dengan Rio.
Beberapa hari masih dirasa berat
oleh Septi. Rasa sedih, kecewa, marah tak kunjung hilang dari pikirannya. Jujur
memang Septi susah untuk melupakan Rio yang tiap hari selalu mendampinginya,
saat susah maupun senang. Namun Septi mencoba untuk melupakannya secara
perlahan.
Enam bulan berselang, Septi sudah
banyak melupakan tentang Rio. Bukannya Septi benci, hanya tak ingin merasa
sakit hati lagi. Sikap Septi pun masih normal kepada siapapun, termasuk dengan
Rio. Hubungan mereka terjalin dengan baik tanpa ada rasa benci. “Sep, nanti ada
latihan paduan suara jam berapa? Tadi aku kurang memperhatikan.” “Jam 3, Rio”
“Oh, baiklah.”
Mereka hanya bercakap-cakap kecil,
kembali lagi canggung seperti saat awal bertemu. Tetapi hal itu tidak terlalu
Septi pikirkan, ia sudah melupakannya walaupun masih ada sedikit perasaannya pada
Rio.
Suatu hari Rio menghubungiSepti,
memang ia menanyakan masalah paduan suara. Septi tak ingin terbawa perasaannya
hanya karena Rio. Tetapi lama kelamaan muncul Rio yang dulu, muncul Rio yang
perhatian dan humoris. Septi pun senang karena ia merasa dicintai lagi olehnya,
tapi ia pun tak berharap lebih.
Satu minggu terlewati, Septi
merasakan hal-hal yang ia rasakan dulu saat sebelum pacaran. Ia deg-degan dan grogi saat bertemu Rio,
tapi ia juga memikirkan masalahnya dulu. Rio pun menulis pesan singkat pada
Septi yang bertuliskan : “Nanti sepulang
sekolah, temui aku di depan gerbang sekolah. Aku ingin bicara.” Septi kaget
dan langsung bercerita pada sahabatnya.
Sepulang sekolah Septi langsung
menuju depan gerbang. Rio sudah menunggu disana sambil duduk dengan wajah yang
kelelahan. “Akhirnya kamu datang juga, Sep.” Dalam hati Septi senang sekaligus
bingung, mau ada urusan apa. “Ada keperluan apa menyuruhku datang kesini?”
“Kamu masih ingat kan masalah kita
sebelum ini.” “Aku sudah melupakan itu semua, Rio.” “Iya, aku tau. Disini aku
ingin mengatakan padamu bahwa aku sangat menyesal atas segala perbuatanku. Aku
ingin memperbaiki semuanya, maukah kamu menerimaku kembali untuk mendampingi
kamu?”
Septi tak menduga jika Rio akan
kembali padanya. Ia merasa sangat senang dan tersanjung. Tetapi ia juga
bingung, menerimanya kembali atau membiarkannya pergi. Di satu sisi, dia masih
menyimpan rasa pada Rio. Tapi ia juga tidak ingin merasa sakit hati lagi.
“Baiklah, aku bisa menerimamu kembali. Aku harap kita bisa menjalin hubungan
yang semakin baik lagi.” jawab Septi.
Septi berharap bahwa Rio bisa
menjadi sosok pria yang lebih baik dan juga lebih dewasa. Ia pun sudah merasa
senang bahwa ternyata Rio sadar atas segala perbuatannya. Namun, Septi merasa
sedih lagi. Nampaknya tidak ada yang berubah dari diri Rio. Dia tetap acuh dan
sibuk dengan dirinya. Septi bingung, ia tak tau harus bagaimana. Untuk
membicarakan masalah ini, Septi belum cukup berani. Tentu akan membuka luka
lama yang hampir sembuh.
Sept memutuskan untuk diam dan
menunggu Rio. Dan ternyata tidak terjadi apapun, Rio masih sibuk dan acuh
seakan-akan dia tidak mengenal Septi. “Lalu untuk apa dia memintaku untuk
menerimanya kembali jika sikapnya tidak berubah sama sekali.” ujar Septi dalam
hati. Dia gundah dan pasrah.
Berbulan-bulan berlalu, hubungan
mereka makin tidak karuan. Banyak yang tahu bahwa Rio sudah tidak berhubungan
dengan Septi, sungguh terbalik dengan kenyaataan yang ada. Ingin rasanya Septi
berbicara, namun ia tak cukup berani. Luka di hatinya, ia biarkan saja. Hingga
suatu saat, Rio memutuskan hubungannya dengan Septi. Pikiran Septi semakin tak
karuan. Bagai seseorang yang mengikat tali yang putus dan lantas memotongnya.Sungguh
perbuatan bodoh.
Apa lagi yang bisa Septi lakukan
selain menangis dan menerima kenyataan bahwa memang Rio tidak baik untuknya.
Banyak pelajaran yang dapat diambil Septi tentang kisah cintanya. Awalnya ia
sering murung dan kurang bersemangat dan akhirnya pun Septi memutuskan untuk
tidak memikirkan masalah percintaan dulu.
Komentar:
Ibu rasa kamu benar-benar paham dengan struktur cerpen
yang dahulu pernah kita pelajari. Cerita kamu menjadi buktinya! Semua alurnya
runtut, lancar, dan kamu mengetik sesuai dengan instruksi Ibu. Bagus, Maria!
Semangat, ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar