Pages

Senin, 19 Oktober 2015

Jatuh di Lubang yang Sama

Story by: Maria Sania
XI-IIS 2

Septi duduk terdiam di kantin sekolah, menikmati semangkuk soto yang sudah tidak panas. Ia hanya termenung, entah apa yang ada di pikirannya. Wajahnya pun nampak lesu, tidak bersemangat, dan kurang bersahabat. Jauh sebelum hal ini terjadi, Septi dikenal riang dan ceria.
            Septi yang merupakan anak dari seorang guru SD (Sekolah Dasar) ini pandai. Ia pun sekolah di salah satu sekolah favorit di kota nya. Ia gemar mengikuti ekstrakulikuler, bahkan gemar sekali menyanyi. Ia pun bertemu dengan sosok pria yang masih asing dimatanya. Pria itu bernama Rio. Berbadan tinggi, berkacamata, dan juga ramah. Pertama kali bertatap muka, semua terasa biasa karena memang belum saling mengenal.
            Ekstrakulikuler ini makin disibukkan dengan banyak hal. Entah mengisi penyambutan tamu, latihan untuk lomba, bahkan untuk acara keagamaan. Mau tidak mau mereka berdua harus bisa saling kenal. Karena kebetulan posisi mereka yang cukup dekat. Tetapi memang Septi belum berani untuk memulai suatu percakapan dengan orang baru. Ia takut jika Rio mengira Septi terlalu mencari perhatiannya saja.

            Septi bergumam dan menyanyikan sebuah lagu dengan lirih. “Suaramu merdu juga” kata Rio yang sedang kebetulan lewat dihadapannya. “Oh, ya. Terima kasih” jawab Septi penuh malu. “Ngomong-ngomong, namaku Rio dari kelas 12G. Kamu Septi kan?” “Iya Rio, aku dari 12A” “Oh oke, salam kenal ya”
            Mulai dari situ muncul banyak pertanyaan di kepala Septi, dimana dia bisa tau namaku dan hal-hal lainnya. Pada saat itu Septi belum berpikir hal-hal yang aneh. Ia masih menganggap sebatas teman biasa. Beberapa hari kemudian, handphone Septi berbunyi. Ada notifikasi dari Sosial Media nya, dan ternyata dari Rio.
            Rio memulai percakapan di Sosial Media dengan Septi. Pertama hanya percakapan biasa, dan masih canggung. Lama kelamaan Septi sedikit terganggu dengan Rio. Rio sering berkata kasar dan terkesan tidak sopan. Kadang juga leluconnya terkesan menjatuhkan. Septi pun berniat untuk menjauh dari Rio dengan cara menghapus kontaknya dan mulai untuk tidak berhubungan dengan Rio.
            Dua hari menjelang, muncul notifikasi dari Rio. Septi berniat untuk tidak membalasnya, tetapi dia penasaran tentang Rio. Akhirnya mereka pun memulai kembali percakapannya. “Septi, maaf ya sekiranya aku terlalu kasar dengan kamu. Aku tidak bermaksud sama sekali” tulis Rio. Septi pun kaget, ternyata orang seperti Rio juga tau caranya meminta maaf. “Oh tidak apa-apa. Aku sudah melupakan masalah itu” jawab Septi.
            Septi mulai merasakan ada sesuatu antara dirinya dan Rio. Akhir-akhir ini Rio pun sering melakukan hal baik bagi Septi sendiri maupun dengan teman yang lainnya. Setiap hari pun Rio selalu menghubungi Septi, entah menanyakan jadwal latian atau tentang pelajaran.
            Hari demi hari, bulan demi bulan Rio dan Septi semakin akrab saja. Mereka semakin kenal dan juga saling tegur sapa. Septi mulai terkagum dengan sosok Rio yang berparas tampan dan juga ramah. Rio pun humoris dan makin membuat seorang Septi menjadi makin kagum.
            Begitu juga dengan Rio, ia mulai tertarik dengan Septi. Lalu ia memutuskan untuk mendekati Septi. Percakapan mereka pun sudah mulai berbeda. Dari yang hanya membicarakan masalah lagu menjadi ke hal yang pribadi.  Jika dulu bertanya “Apa kamu sudah hafal lagu ini?” menjadi “Apa lagu kesukaanmu?”
            Banyak hal yang berubah dari diri Rio dan juga Septi. Mereka lebih sering bersenda gurau dan tampak ceria. Teman Septi pun sudah banyak yang mengira bahwa memang ada sesuatu di antara mereka.
            Hingga suatu hari, tanggal 10 Desember 2014 Rio memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada Septi. Ia sudah yakin bahwa Septi punya perasaan yang sama. “Septi, aku sudah sangat lama menantikan hari ini. Hari yang akan menjadi sangat bersejarah untuk aku dan kamu. Awalnya memang aku tidak berniat untuk kenal denganmu, tetapi semua berlangsung sangat cepat dan sekarang aku sangat tertarik denganmu.”
            Septi pun menjawab, “Ternyata kita punya perasaan yang sama, dulu aku benar-benar tidak ingin mengenalmu karena sifatmu yang sangat kasar. Namun, sekarang justru aku tertarik denganmu.” “Lalu, maukah kau menjadi pasanganku Septi?” Septi langsung menjawab dengan nada pasti, “Tentu Rio.”
            Mulai sejak itu Septi menjadi lebih ceria, mungkin karena ada kehadiran Rio di kehidupannya sekarang. Timbul juga panggilan-panggilan sayang yang mungkin terkesan agak lucu bahkan aneh dihadapan orang lain. Princess, baby, dan yang lain-lain.
            Suatu hari mereka berdua sedang duduk berdua di kantin, sambil menikmati nasi goreng yang  dilengkapi dengan telur  setengah matang. Mereka tertawa terbahak-bahak, entah membicarakan hal apa. Mereka tampak sangat bahagia dan banyak juga teman-teman Septi yang iri akan kebahagiaan mereka. Rio menatap mata Septi penuh ketulusan, menggenggam tangannya, dan juga memeluknya. Sungguh beruntung Septi bisa memiliki pria sebaik Rio.
            Tak terasa sudah 4 bulan berjalan. Hubungan mereka masih baik-baik saja bahkan makin erat. Ditambah lagi mereka memiliki ekstrakulikuler yang sama, sehingga mereka bisa sering bertatap muka. Rio pun juga tidak bosan untuk menghubungi Septi tiap harinya. Entah hanya mengucapkan selamat pagi atau selamat malam. Selama ini juga belum ada konflik yang cukup berarti.
            Hingga suatu saat Septi merasa ada sesuatu hal yang ganjil. Tiap kali ia bertemu dengan Rio, terkadang membuang muka. Saat diajak berbicara, terkadang tidak fokus. Bahkan yang lebih parah, Rio malah sibuk dengan handphone nya. Dan saat ditanya, dia selalu menjawab “Aku sedang menghubungi orang tuaku”. Mulai dari situ muncul banyak kecurigaan di hati Septi.
            Septi tak tinggal diam, ia mencoba berbicara masalah ini pada Rio. “Aku bingung denganmu, Rio. Akhir-akhir ini kau berbeda, tak seperti biasanya.” “Apa yang salah denganku?” “Kamu tidak lagi perhatian dan peduli, aku tidak tahu ini hanya perasaanku saja atau bagaimana.” “Tenanglah Sep, aku tak akan berubah. Jika aku ada salah tolong maafkan, mungkin aku secara tidak sengaja melukai hatimu.” Septi menganggukan kepalanya tanda ia telah memaafkan Rio.
            Masalah tidak selesai sampai disitu, lama kelamaan Rio menjadi lebih cuek bahkan tidak lagi peduli dengan Septi. Septi selalu menghubungi Rio, dengan harapan itu semua hanya perasaan Septi. Namun ia merasa seperti seorang wartawan, selalu menanyakan dan mencari topik tanpa diberi tanggapan yang baik. Dibalas sebatas ‘ya’ atau ‘tidak’. Wanita mana yang ingin diperlakukan seperti itu. Septi mencurahkan isi hatinya pada seorang sahabatnya, dan ia rasa hal ini sudah tidak bisa ditolerir. Septi tak mau merasa sakit hati hanya karena seorang pria.
            Septi memutuskan untuk berpisah dengan Rio secara baik-baik. Ia tak ingin setelah ini mereka menjadi saling membenci dan tak ingin mengenal lagi. Rio pun menerima dengan baik walaupun sebenarnya ia tak rela melepas Septi. Anehnya Rio tidak menanyakan apa alasan Septi untuk berpisah. Hal ini semakin meyakinkan Septi bahwa Rio sudah tidak menyayanginya. Walaupun jauh di dalam lubuk hati Septi, masih sangat sayang dengan Rio. Tapi keputusannya sudah bulat untuk berpisah dengan Rio.
            Beberapa hari masih dirasa berat oleh Septi. Rasa sedih, kecewa, marah tak kunjung hilang dari pikirannya. Jujur memang Septi susah untuk melupakan Rio yang tiap hari selalu mendampinginya, saat susah maupun senang. Namun Septi mencoba untuk melupakannya secara perlahan.
            Enam bulan berselang, Septi sudah banyak melupakan tentang Rio. Bukannya Septi benci, hanya tak ingin merasa sakit hati lagi. Sikap Septi pun masih normal kepada siapapun, termasuk dengan Rio. Hubungan mereka terjalin dengan baik tanpa ada rasa benci. “Sep, nanti ada latihan paduan suara jam berapa? Tadi aku kurang memperhatikan.” “Jam 3, Rio” “Oh, baiklah.”
            Mereka hanya bercakap-cakap kecil, kembali lagi canggung seperti saat awal bertemu. Tetapi hal itu tidak terlalu Septi pikirkan, ia sudah melupakannya walaupun masih ada sedikit perasaannya pada Rio.
            Suatu hari Rio menghubungiSepti, memang ia menanyakan masalah paduan suara. Septi tak ingin terbawa perasaannya hanya karena Rio. Tetapi lama kelamaan muncul Rio yang dulu, muncul Rio yang perhatian dan humoris. Septi pun senang karena ia merasa dicintai lagi olehnya, tapi ia pun tak berharap lebih.
            Satu minggu terlewati, Septi merasakan hal-hal yang ia rasakan dulu saat sebelum pacaran. Ia deg-degan dan grogi saat bertemu Rio, tapi ia juga memikirkan masalahnya dulu. Rio pun menulis pesan singkat pada Septi yang bertuliskan : “Nanti sepulang sekolah, temui aku di depan gerbang sekolah. Aku ingin bicara.” Septi kaget dan langsung bercerita pada sahabatnya.
            Sepulang sekolah Septi langsung menuju depan gerbang. Rio sudah menunggu disana sambil duduk dengan wajah yang kelelahan. “Akhirnya kamu datang juga, Sep.” Dalam hati Septi senang sekaligus bingung, mau ada urusan apa. “Ada keperluan apa menyuruhku datang kesini?”
            “Kamu masih ingat kan masalah kita sebelum ini.” “Aku sudah melupakan itu semua, Rio.” “Iya, aku tau. Disini aku ingin mengatakan padamu bahwa aku sangat menyesal atas segala perbuatanku. Aku ingin memperbaiki semuanya, maukah kamu menerimaku kembali untuk mendampingi kamu?”
            Septi tak menduga jika Rio akan kembali padanya. Ia merasa sangat senang dan tersanjung. Tetapi ia juga bingung, menerimanya kembali atau membiarkannya pergi. Di satu sisi, dia masih menyimpan rasa pada Rio. Tapi ia juga tidak ingin merasa sakit hati lagi. “Baiklah, aku bisa menerimamu kembali. Aku harap kita bisa menjalin hubungan yang semakin baik lagi.” jawab Septi.
            Septi berharap bahwa Rio bisa menjadi sosok pria yang lebih baik dan juga lebih dewasa. Ia pun sudah merasa senang bahwa ternyata Rio sadar atas segala perbuatannya. Namun, Septi merasa sedih lagi. Nampaknya tidak ada yang berubah dari diri Rio. Dia tetap acuh dan sibuk dengan dirinya. Septi bingung, ia tak tau harus bagaimana. Untuk membicarakan masalah ini, Septi belum cukup berani. Tentu akan membuka luka lama yang hampir sembuh.
            Sept memutuskan untuk diam dan menunggu Rio. Dan ternyata tidak terjadi apapun, Rio masih sibuk dan acuh seakan-akan dia tidak mengenal Septi. “Lalu untuk apa dia memintaku untuk menerimanya kembali jika sikapnya tidak berubah sama sekali.” ujar Septi dalam hati. Dia gundah dan pasrah.
            Berbulan-bulan berlalu, hubungan mereka makin tidak karuan. Banyak yang tahu bahwa Rio sudah tidak berhubungan dengan Septi, sungguh terbalik dengan kenyaataan yang ada. Ingin rasanya Septi berbicara, namun ia tak cukup berani. Luka di hatinya, ia biarkan saja. Hingga suatu saat, Rio memutuskan hubungannya dengan Septi. Pikiran Septi semakin tak karuan. Bagai seseorang yang mengikat tali yang putus dan lantas memotongnya.Sungguh perbuatan bodoh.
            Apa lagi yang bisa Septi lakukan selain menangis dan menerima kenyataan bahwa memang Rio tidak baik untuknya. Banyak pelajaran yang dapat diambil Septi tentang kisah cintanya. Awalnya ia sering murung dan kurang bersemangat dan akhirnya pun Septi memutuskan untuk tidak memikirkan masalah percintaan dulu.
           
Komentar:

Ibu rasa kamu benar-benar paham dengan struktur cerpen yang dahulu pernah kita pelajari. Cerita kamu menjadi buktinya! Semua alurnya runtut, lancar, dan kamu mengetik sesuai dengan instruksi Ibu. Bagus, Maria! Semangat, ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar